Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Pesona Daniel (++)

Aku bisa menuliskan adegan yang tetap menggambarkan intensitas dan ketegangan emosional tanpa terlalu eksplisit. Aku akan fokus pada perasaan, konflik batin, dan bagaimana momen itu terjadi dengan atmosfer yang mendalam.

---

Ayumi tidak lagi berpikir. Napasnya memburu, dadanya naik turun seiring dengan sentuhan Daniel yang semakin menuntut. Kamar yang semula sunyi kini dipenuhi oleh suara napas mereka yang berpadu, saling mencari, saling menyesuaikan.

Daniel menatapnya dalam, seolah ingin memastikan bahwa ini benar-benar keputusan yang Ayumi inginkan. Namun, ketika wanita itu tidak menjauh, hanya menatapnya dengan mata yang penuh keraguan sekaligus keinginan, Daniel tahu bahwa batas itu telah dilewati.

"Ayumi…" bisiknya, suaranya terdengar berat, penuh dengan ketegangan yang siap meledak.

Alih-alih menjawab, Ayumi hanya membiarkan jemarinya menyentuh wajah pria itu, seolah membenarkan segala hal yang mereka lakukan. Tak ada lagi jalan untuk mundur.

Ketika ciuman itu kembali jatuh, lebih dalam dan lebih menuntut, Ayumi merasakan tubuhnya menegang sejenak sebelum akhirnya pasrah dalam dekapan Daniel. Jemari pria itu menjelajah, membawa mereka semakin hanyut dalam pusaran yang tak terhindarkan.

Desahan lirih lepas dari bibir Ayumi saat tubuh mereka menyatu dalam gelombang yang semakin menghangatkan ruangan. Erangan tertahan Daniel menyusul, tangannya menggenggam erat, seolah takut Ayumi akan menarik diri.

Tapi tidak.

Malam itu, tak ada yang ingin melepaskan. Tak ada yang ingin berhenti. Mereka telah jatuh dalam godaan yang selama ini berusaha dihindari—dan kini, sudah terlambat untuk kembali.

Cahaya matahari pagi merayap masuk melalui celah tirai, menerangi kamar yang masih diselimuti kehangatan malam sebelumnya. Ayumi mengerjap pelan, kelopak matanya terasa berat, tubuhnya masih enggan bergerak, seolah ingin tetap terbuai dalam kenyamanan yang baru pertama kali ia rasakan seperti ini.

Di sampingnya, Daniel masih terlelap, napasnya teratur, dada bidangnya naik turun dengan tenang. Lengan pria itu masih melingkari pinggangnya, seolah menolak membiarkannya pergi. Ayumi menoleh, menatap wajah yang begitu dekat dengannya, mengamati setiap garis tegas yang mencerminkan ketenangan.

Hanya selembar selimut yang membalut tubuh mereka, menyisakan kehangatan yang masih tersisa dari malam panjang yang penuh godaan dan bisikan terlarang. Ayumi menggigit bibirnya, menyadari betapa jauhnya ia telah melangkah—betapa ia telah kehilangan batas yang dulu ia jaga dengan erat.

Namun, anehnya, tidak ada penyesalan. Yang ada hanya denyut lembut di dadanya, sebuah kesadaran bahwa sesuatu telah berubah di antara mereka.

Daniel bergerak perlahan, matanya yang tajam mulai terbuka, menatap Ayumi dengan sorot yang sulit diartikan. Bibirnya melengkung dalam senyum samar sebelum ia menarik Ayumi lebih dekat, menempelkan dahinya ke dahi wanita itu.

"Pagi," gumamnya, suaranya masih serak karena kantuk.

Ayumi menghela napas pelan, membiarkan dirinya tenggelam sejenak dalam kehangatan yang ditawarkan pria itu. Ia tahu dunia di luar sana akan kembali menuntut kenyataan dari mereka, tetapi untuk saat ini—hanya untuk saat ini—ia ingin menikmati detik-detik yang tersisa sebelum semuanya berubah.

Ayumi menghela napas pelan, membiarkan kehangatan pagi itu menyelimuti mereka. Jari-jarinya tanpa sadar menyentuh dada Daniel, merasakan detak jantung pria itu yang stabil. Semua terasa begitu tenang, begitu nyaman, seolah dunia luar tidak lagi ada.

Namun, kenyataan selalu menemukan jalannya untuk menyusup masuk.

Daniel mengecup puncak kepala Ayumi, lalu bergumam pelan, "Apa kau menyesal?"

Ayumi terdiam. Matanya menatap langit-langit, mencoba mencari jawaban yang tepat. Apakah ia menyesal? Seharusnya. Tapi yang ia rasakan sekarang hanyalah kehangatan, sebuah perasaan yang tak bisa ia definisikan dengan kata-kata.

"Aku tidak tahu," akhirnya ia menjawab, suaranya nyaris seperti bisikan. "Tapi aku juga tidak ingin berpikir terlalu jauh."

Daniel mengangkat dagunya, membuat Ayumi menatapnya langsung. Sorot matanya tajam, seolah menelusuri setiap emosi yang tersembunyi di balik mata wanita itu.

"Aku tidak akan membiarkanmu lari," ucapnya dengan suara rendah.

Ayumi menelan ludah, merasakan detak jantungnya yang kembali berpacu. Ada sesuatu dalam nada bicara Daniel yang membuatnya merasa seolah ia sudah benar-benar terikat.

"Aku tidak lari," jawabnya pelan. "Tapi… kita tidak bisa terus seperti ini."

Daniel menghela napas, lalu menggenggam jemari Ayumi dengan erat. "Kau tahu kita tidak bisa berpura-pura. Apa yang terjadi semalam… itu bukan sekadar kesalahan."

Ayumi terdiam. Ia tahu. Ia tahu betul bahwa sesuatu dalam dirinya telah berubah sejak Daniel menyentuhnya, sejak pria itu menatapnya bukan sebagai ibu tiri, melainkan sebagai wanita yang benar-benar ia inginkan.

Tapi apa yang bisa mereka lakukan sekarang?

Sebelum Ayumi sempat menjawab, suara ponsel berdering memecah keheningan. Daniel meraih ponselnya dari meja nakas, menatap layar yang menampilkan nama Radit Vladimir—ayahnya.

Suasana seketika berubah. Ayumi merasakan jantungnya mencelos, realitas menghantamnya dengan keras.

Daniel menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Sepertinya permainan ini akan segera dimulai."

Ayumi menatap layar ponsel yang masih berdering, menampilkan nama suaminya—Radit Vladimir. Jantungnya berdegup kencang, jemarinya sedikit gemetar saat meraih ponsel itu dari meja nakas.

Baru saja ia hendak menggeser ikon hijau, Daniel lebih dulu menarik tubuhnya, membuatnya kembali terhimpit dalam dekapan hangat pria itu. Napas Ayumi tercekat saat tubuh polosnya bersentuhan dengan kulit Daniel yang sama sekali tak berlapis kain, hanya dilindungi selimut tipis yang menyelimuti mereka.

"Apa yang kau lakukan?" bisiknya tajam, tapi suaranya bergetar.

Daniel tersenyum samar, wajahnya begitu dekat hingga napasnya terasa hangat di kulit Ayumi. "Aku hanya ingin mendengar bagaimana kau berbicara dengan suamimu setelah apa yang terjadi di antara kita."

Ayumi menatapnya tajam, tetapi bel pintu pikirannya tak bisa menyangkal getaran aneh yang menjalar di tubuhnya. Ponsel masih berdering, memaksanya untuk segera menjawab. Dengan tarikan napas dalam, ia akhirnya menekan tombol hijau dan membawa ponsel ke telinganya.

"Halo?" suaranya terdengar serak, mungkin karena sisa-sisa malam panjang yang masih melekat di tenggorokannya.

"Sayang, kau baru bangun?" Suara Radit terdengar di seberang, terdengar lembut tetapi juga tegas seperti biasa. "Suaranya terdengar lelah. Kau baik-baik saja?"

Ayumi menelan ludah. "Aku... Aku baik-baik saja. Hanya sedikit mengantuk."

Daniel tersenyum miring, lalu dengan santai menelusuri punggung telanjang Ayumi dengan jemarinya. Ayumi tersentak, tubuhnya menegang seketika, tetapi Daniel hanya semakin mempererat pelukannya, seolah menantang wanita itu untuk tetap bersikap wajar.

"Bagus kalau begitu," lanjut Radit. "Aku ingin memberitahumu kalau mungkin aku akan lebih lama di sini. Ada urusan tambahan yang harus kuselesaikan."

Ayumi mengangguk meski tahu Radit tak bisa melihatnya. "Berapa lama?"

"Mungkin beberapa bulan lagi."

Ayumi nyaris menghela napas lega, tetapi detik berikutnya Daniel justru menempelkan bibirnya di bahu telanjang wanita itu, memberi kecupan kecil yang membuatnya nyaris kehilangan fokus.

"Tapi aku akan pulang sebentar minggu depan untuk menemuimu," tambah Radit. "Aku merindukanmu."

Dada Ayumi berdegup lebih kencang, bukan karena rindu pada suaminya, tetapi karena sentuhan Daniel yang terus bermain di kulitnya, seolah sengaja menguji batas kesabaran.

"Aku juga," jawab Ayumi pelan, lebih kepada agar Radit tidak curiga.

Daniel terkekeh tanpa suara di belakangnya, tangannya merayap ke pinggang Ayumi di bawah selimut, mengusapnya dengan lembut tetapi penuh intensitas. Napas Ayumi tercekat, tetapi ia harus tetap tenang.

"Baiklah, aku akan mengabarimu lagi nanti. Jangan lupa jaga dirimu," kata Radit sebelum menutup panggilan.

Begitu telepon berakhir, Ayumi langsung menyingkirkan ponselnya, menatap Daniel dengan sorot mata yang campur aduk antara marah dan frustasi.

"Kau gila," desisnya.

Daniel tersenyum puas, menelusuri garis wajah Ayumi dengan jemarinya. "Aku hanya ingin tahu apakah kau bisa tetap tenang setelah malam itu."

Ayumi menghela napas berat, menutup matanya sejenak untuk mengatur emosi. Ia tahu ini berbahaya. Ia tahu seharusnya tidak membiarkan dirinya terjebak lebih jauh.

Tapi satu hal yang pasti—Daniel tidak akan berhenti sampai ia benar-benar hancur dalam permainan ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel