Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8. Make Over Grace

Keinginan Grace untuk bekerja di sebuah klub malam sudah sangat bulat, beberapa bulan kemudian Grace mengajukan resign. Melalui bantuan James yang kebetulan kenal dengan salah satu manager klub tersebut, Grace bisa dengan sangat mudah masuk dan bekerja di sana. Grace melamar penjadi penari pool dance.

Perihal hutang dengan Nathan—pemilik kasino—masih belum juga beres, dan kedua bodyguard bertampang jelek dan menyeramkan itu sesekali masih datang mengganggu Grace saat Grace ada di rumah.

Bel rumah berbunyi berkali-kali, dan Grace yakin, pasti kedua orang itu lagi. Karena hanya mereka berdua yang sangat barbar menekan tombol bel semaunya.

“Sudah kubilang—“

Grace terdiam tak melanjutkan kata-katanya ketika yang dilihatnya di depan pintu bukan kedua orang gila tersebut melainkan Edward. Edward terlihat tampan dengan pakaian casual. Musim dingin sudah berlalu beberapa bulan yang lalu, dan sudah beberapa bulan pula dia masuk ke dalam lingkaran ke empat pemuda itu.

“Kenapa hanya melihatku tanpa menyuruh masuk?”

Grace agak terkejut dengan kedatangan Edward, karena sudah hampir dua minggu dia tak bertemu dengan Edward.

“Ma-masuklah, aku tak punya apa pun untuk disuguhkan padamu,” jawab Grace merendah mempersilakan Edward masuk ke dalam rumah.

“Di mana adik-adik juga kedua orangtuamu?”

“Ayahku sedang ada pekerjaan, ibuku pun sama, kedua adikku sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah minimarket tak jauh dari sini. Ada keperluan apa menemuiku?”

“Aku ke sini ingin menawarkan sesuatu padamu,” jawab Edward dengan mimik wajah yang sangat serius.

Grace menarik sebuah bangku dan duduk menghadap Edward. “Apa itu, katakan.”

“Ini,” kata Edward seraya menyerahkan sebuah map berwarna coklat.

Grace membuka map dengan sangat hati-hati, dan dia melihat di atas kop surat sebuah tulisan yang cukup besar ‘WINSTON UNIVERSITY’ dan ada namanya di sana berikut nomor induk terdaftar.

“Eh, sejak kapan aku melamar di universitas ini?” tanya Grace keheranan.

“Sejak aku yang mendaftarkannya,” jawab Edward enteng.

Grace menjadi salah tingkah, bagaimana orang susah seperti dia masuk ke universitas ternama dan bergengsi seperti itu. Lalu bagaimana dia membagi waktu nanti dengan pekerjaannya?

“Tapi, siapa yang akan membayar ke depannya nanti? A-aku sudah resign dari toko kue, dan aku bekerja di klub malam yang waktu itu—“

Kuping Edward terasa panas mendengar kalimat terakhir Grace, “Klub malam? Jadi kau benar-benar melamar bekerja di sana?”

Grace menggaruk-garuk kepalanya lalu tertawa salah tingkah, dia bingung bagaimana menjelaskannya pada Edward yang sudah pasti tak menyukai apa yang baru saja dia katakan.

“Ada masalah? Aku butuh uang, aku bukan orang kaya sepertimu. Mengedip saja puluhan juta dollar ada di depan mata, aku harus berbuat sesuatu agar kami bisa membayar sewa, makan, dan lainnya.”

 “Lalu, kalau kau kerja di klub malam, kemudian banyak laki-laki menggoda, atau bahkan mengajakmu tidur, belum lagi mereka menyentuhmu, meremas bokong atau payudaramu, aku pasti akan membunuh mereka semua!”

“Ey ... Ed, kenapa harus membunuh mereka?”

“Itu, ka-karena ....” Edward tergagap, tak tahu mau melanjutkan apa kalimatnya, sebenarnya dia ini sedang berbicara apa, memangnya ada hak apa dia atas kehidupan Grace? 

“Karena apa?”

“Karena kau harus ikut aku sekarang,” jawab Edward mengalihkan pertanyaan Grace, kemudian menyuruh Grace mengganti pakaiannya. 

Grace sama sekali tak bisa menebak apa yang ada di pikiran Edward, pemuda dengan segala kesempurnaan yang ada padanya terkadang seperti mengajaknya bermain teka-teki. Grace hanya bisa diam sepanjang jalan ketika Edward menyuruhnya masuk ke dalam mobil, dan membawanya pergi ke suatu tempat.

Meski sedang bersama Edward, pikirannya justru melayang ke tempat lain membayangkan Kevin. Ya, lelaki muda yang juga tak kalah tampan, yang selalu bersikap tenang seolah dunia tak sanggup menggoyahkan dirinya, pemuda yang sangat manis di mata Grace. Dia harus mengakui, dia menyukai pemuda itu. 

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Edward berusaha mencairkan suasana. 

"Ehmmm, aku tak memikirkan apa pun. Kenapa?"

"Kenapa? Kau ini bodoh tingkat akut, kau tak sadar sejak tadi kita sudah sampai!" bentak Edward. 

"Eh, tak usah pakai urat, Bodoh!" balas Grace kemudian menepuk jidat Edward. 

Edward menarik tangan Grace keluar dari dalam mobil, membuat Grace berjalan terseok-seok.

Edward mengajak Grace masuk ke sebuah salon mahal yang selalu menjadi langganan para artis ternama.

"Wah, kau mengajakku ke sini untuk apa?"

"Bisakah sehari saja kau menuruti apa kemauanku? Kau selalu bertanya ini dan itu, terkadang membuat moodku menjadi hilang."

"Ya, ya, baiklah Tuan Muda, aku siap mengikuti kemauanmu. Puas?"

Senyum kemenangan mengembang di wajah Edward. "Antonio! Buat gadis ini secantik mungkin!" Edward berteriak memanggil seorang stylish bernama Antonio, lelaki penuh brewok, berwajah cukup tampan, tetapi berjalan dengan gemulai. Dia satu jenis dengan James, bartender gay yang akrab dengan Grace. 

"Sesuai perintahmu, Ed. Hey, ikut aku!" sahut Antonio, menyuruh Grace mengikutinya. Tanpa banyak tingkah, Grace mengikuti Antonio dengan raut wajah kesal tanpa bisa membantah lebih.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel