Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab.2. Asisten Arsitek Baru

"Sudah lama aku nggak menginjakkan kaki di Jakarta, ternyata ada yang nggak berubah juga. Hmm!" ujar Emmy menatap lautan kendaraan bermotor bagaikan sekumpulan cendol di minuman favoritnya; es cendol.

William tertawa mendengar perkataan sarkastik gadis mungil di sampingnya dalam taksi yang terjebak kemacetan lalu lintas kota metropolitan. "Welcome to Jekardah, Emmy!" tukasnya.

"Om William aslinya mana sih? Bule blasteran 'kan, Om?" tanya Emmy terkesan kepo.

"Aku kelahiran Birmingham, Inggris. Papaku asli sana, mama yang orang Indonesia. Sejak usia tiga tahun, aku dibawa menetap di Jakarta jadi fasih berbahasa Indonesia begini sekalipun juga setiap hari masih ngomong pake bahasa Inggris terkait pekerjaanku," tutur William santai seolah tak keberatan dengan keingin tahuan gadis belia itu tentang asal usulnya.

Emmy pun ber-oh beberapa kali. Dia mencerna setiap patah kata William dengan baik karena terbiasa mengikuti kuliah yang sulit di Harvard University, Massachussets. Sementara itu taksi kembali melaju usai kemacetan lalu lintas terurai.

"Kalau kamu gimana, Emmy? Om juga pengin denger dong tentang keluarga kamu," ujar William menatap gadis itu dengan sepasang mata cokelat madunya yang teduh.

"Ehm ... aku yatim piatu, digedein sama kakek nenekku sejak usia tiga tahun sampai remaja. Aku sekolah ke Amrik pake jalur beasiswa penuh, Om. Kalau nggak mana mampu kakek nenek biayainnya, itu mahal banget. Dan aku part time jadi tukang cuci piring selama tinggal di Amrik!" jawab Emmy tanpa menutup-nutupi asal usulnya dari keluarga yang sederhana.

Tentu saja informasi yang mencengangkan bagi William baru saja membuat pria itu menjadi simpatik. Ternyata di balik tubuh mungil dan muka imut Emmy tersembunyi kegigihan bak wonder woman. 'Itu artinya selama sekitar empat tahun pendidikan, gadis belia tersebut menghidupi dirinya sendiri sembari berkuliah. Keren!' batin William terkesan dengan kerja keras Emmy.

"Terus kamu pulang ke Indonesia apa sudah dapat pekerjaan?" tanya William yang makin tertarik mengenal Emmy.

"Sudah dong, Om. Kalau nggak mendingan aku kerja jadi tukang cuci piring aja di sono, gede bayarannya kok!" sahut Emmy tanpa merasa malu.

"Ohh good luck kalau begitu buat kerjaan baru kamu ya!" ujar William lalu dia mengarahkan sopir taksi karena rumahnya sudah dekat lokasinya.

Akhirnya mobil sedan biru itu berhenti di depan sebuah pintu gerbang besi tempa megah dengan ujung-ujung teralis runcing di atasnya. William pun berkata kepada Emmy, "Terima kasih buat traktiran di coffee shop dan tumpangan taksinya, Emmy Sayang!"

"Sama-sama, Om William. Sampai ketemu kapan-kapan ya, kali aja jodoh!" canda riang Emmy seolah tanpa beban.

Mendengar perkataan gadis itu, William sempat tercenung. Dia pun bertanya iseng sambil memegangi daun pintu taksi karena tadinya dia sudah mau turun, "Kamu mau jadi istriku?"

"Haaahh, nggak ... nggaklah, tadi cuma becandaan aja kok!" Emmy merutuki dirinya yang asal bicara dalam hatinya. Dia pun melanjutkan, "Om, nanti sopir taksinya nunggu kelamaan. Turun dulu deh!"

"Hmm ... okay. Byebye, Emmy!" William pun turun dari taksi biru itu dan menerima kopernya yang telah diturunkan sopir taksi dari bagasi belakang.

Sembari menunggu satpam membukakan pintu gerbang depan untuknya, William menatap kepergian taksi yang membawa Emmy. Mengobrol bersama gadis imut itu tak ada bosannya seolah mereka cocok satu sama lain, padahal ada jurang usia lima belas tahun.

"Pak—Pak William!" panggil satpam rumah karena majikannya malah bengong entah sedang melihat apa di depan pintu gerbang yang telah dibukakan.

"Ehh ... Pak Asep, iya. Makasih, Pak. Saya masuk dulu!" jawab William lalu menyeret kopernya melewati halaman depan rumahnya yang bagaikan istana Disneyland. Dia yang merancangnya sendiri. Sayangnya, pangeran yang satu ini tak kunjung menemukan sang puteri cantik nan baik hati.

Di teras depan rumahnya, Haikal Sutrimo, kepala asisten rumah tangganya menyambut kepulangannya dengan heboh, "Ya ampun, Pak Willy. Ini kenapa sih, sudah dianter sampai bandara kok malah balik ke rumah lagi?!"

"Mo ... Mo ... udah pokoknya gue batal ke Amrik. Nih bawain koper ke kamar lagi buat dibongkar, jangan dibanting ya!" balas William geli melihat kepala ART-nya yang agak melambai itu menegurnya.

Kemudian dia melenggang masuk ke rumah dan langsung menuju ke dapur untuk menyiapkan makan siang yang terlambat itu sendirian. Koki rumahnya otomatis tidak memasak karena tahu majikannya akan bepergian ke luar negeri selama seminggu.

William mengocok dua butir telur dengan tambahan keju cheddar, tomat, dan daun bawang lalu menggorengnya di wajan teflon. Untungnya nasi putih selalu tersedia karena karyawan-karyawati di rumahnya ada selusin mengurusi pintu gerbang, halaman depan, hingga dapur.

Dalam sekejap menu sederhana yang lezat itu dapat dia santap. William pun mengambil ponselnya dan memeriksa email pribadinya. Nama Emmy Estelia Setiawan itu seperti tidak asing dalam benaknya. Hanya saja dia lupa pernah bersinggungan di mana?

Kotak email terkirim itu iseng dia buka dan William menemukan jawaban rasa penasarannya. Sendok yang tengah mengarah ke mulut urung mencapai tujuan dan diletakkan kembali ke piring di hadapannya. "Asisten arsitek baru itu namanya Emmy Estelia Setiawan. Ini pasti orang yang sama dengan gadis imut tadi!" gumamnya sendirian.

Senyuman lebar menghiasi wajah William, dia senang ternyata tak harus menunggu lama bertemu lagi dengan Emmy. Besok pagi gadis imut itu sendiri yang akan mendatanginya ke rumah karena kantor arsitek miliknya jadi satu dengan hunian pribadinya.

"Emmy, ternyata kita jodoh lho. Awas candaan iseng kamu tadi didenger malaikat lewat! HA-HA-HA," ujar William riang. Tak biasanya dia memerhatikan lawan jenis karena otaknya sudah bertahun-tahun tersetel ramah dengan penghitungan RAB dan desain bangunan.

(RAB: Rancangan Anggaran Belanja, untuk pengajuan tender proyek pembangunan gedung)

"Ehh, apa sih Pak Bos kok ketawa ketiwi sendiri? Jadi takut deh aku! Nggak kesambet Nini Lampir di bandara tadi 'kan?" tegur Haikal Sutrimo yang duduk di seberang island table tempat majikannya menikmati makan siang.

William pun menanggapinya ringan dengan kekehannya, tetapi dia ada tugas khusus untuk asisten andalannya itu. "Suka-suka gue dong, Mo! Pokoknya dibawa happy aja. Oya, gue ada tugas nih buat loe. Urusin KTP yang ilang sama surat kehilangan di kantor polisi buat dibawa ke customer service bank ntar gue list bank mana aja. Dompet gue dicopet di bandara tadi. Duitnya sih nggak seberapa cuma males ngurus kartu debit sama kredit plus KTP, SIM A, SIM C. RIBET!!"

"Amsiong deh, pusing tujuh keliling ngurus semua kartu itu, Pak Bos!" seru Haikal nyaris pingsan. Dia meletakkan kepalanya di atas meja.

"Jangan pura-pura pingsan loe! Pokoknya besok dari pagi loe urusin semua isi dompet gue yang raib dicopet itu, okay?!" desak William dengan bossy. Dia tersenyum-senyum ala onta padang gurun memamerkan sederet giginya yang rapi.

Dengan tampang memelas Haikal pun mematuhi perintah bos besarnya. Namun, belum selesai begitu saja titah William. Pria blasteran bermata cokelat madu itu berkata lagi, "Mo, besok pagi ada tamu spesial. Bilang ke Chef Juno buat masakin sarapan ala western. Bikin muffin isi selai blueberry yang enak. Ini spesial request dari gue langsung, inget ya!"

"Wah siapa tuh, Pak Bos? Cewek ya pasti?" Haikal menggoda William dengan bercieh-cieh heboh hingga pria ganteng itu merona wajahnya.

"Mau tahu aza deh loe!" tukas William jutek lalu menyuap sendok terakhir makan siangnya sebelum naik ke kamar tidurnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel