5. Salah Masuk Kamar
Juan tengah memeluk sebuah guling dengan begitu erat, seolah-olah benda itu adalah kekasihnya sendiri. Seluruh tubuhnya tenggelam dalam selimut tebal yang membungkusnya rapat.
Sesekali ia menggeliat, bibirnya meracau lirih, dan hembusan napasnya terdengar berat seperti seseorang yang masih larut dalam kenangan bercinta. Pria itu tidak berhenti mendesah sambil menyebut nama Naomi—wanita penjaja cinta yang beberapa jam lalu baru saja menguras seluruh tenaganya dan meninggalkan kepuasan memabukkan di kepalanya.
Terlalu tenggelam dalam fantasinya, Juan tidak menyadari sama sekali bahwa pintu kamarnya telah terbuka. Seseorang masuk begitu pelan, bahkan sampai lampu kamar dinyalakan, Juan tetap saja tidak memberikan reaksi apa pun. Ia masih terkunci dalam dunia khayalnya sendiri.
"Ahhhhh."
Pria itu menghela desahan panjang, seolah adegan panasnya bersama Naomi kembali memutar dengan jelas di kepalanya.
Namun detik berikutnya, lamunannya hancur seketika. Selimut tebal yang menutupi tubuhnya tiba-tiba tersingkap, ditarik dengan paksa oleh seseorang yang tak ia sadari keberadaannya sejak tadi.
"Aaaaa!"
Jeritan Juan memecah keheningan kamar, begitu matanya menangkap sesosok gadis bercadar yang juga ikut menjerit kaget ketika melihat kondisi Juan. Refleks, tatapan Juan langsung meluncur ke tubuhnya sendiri—bertelanjang dada, hanya mengenakan boxer ketat yang… jelas menunjukkan keadaan yang sangat memalukan.
"Hey, apa yang kamu lakukan?" sentak Juan kasar, buru-buru menarik selimut untuk menutupi dirinya dengan gerakan panik dan kesal.
Sementara itu, gadis bercadar itu—Jasmine—langsung menutup kedua matanya dengan cepat, wajahnya memerah hebat meski sebagian wajahnya tertutup. Ia memalingkan kepala setajam mungkin, seolah melihat Juan saja adalah dosa besar yang membuat lututnya gemetar.
Wajah Jasmine terasa panas luar biasa. Seluruh tubuhnya kaku. Ia tidak pernah, bahkan tidak pernah sekalipun, melihat pria dalam keadaan seperti itu. Ketakutan memenuhi dirinya, tetapi juga rasa bersalah yang menusuk dalam.
"Astaghfirullahaladzim. Astaghfirullahaladzim."
Ia terus mengulang istighfar, berharap hatinya mereda dan pikirannya tidak kacau balau seperti sekarang.
Jasmine merasa seperti baru saja melakukan kesalahan besar—tanpa sengaja melihat aurat laki-laki yang sama sekali bukan muhrimnya.
"Hey kamu! Cepat pakai bajumu, atau aku akan marah-marah sama kamu!" Jasmine berseru dengan lantang, meski matanya masih tertutup rapat.
"Hey, seharusnya aku yang marah sama kamu, karena kamu sudah berani masuk ke dalam kamarku dengan lancang tanpa seizin dariku," geram Juan, suaranya terdengar sangat murka. Ia buru-buru menyambar pakaiannya yang berserakan di lantai.
"Itu … aku … aku punya alasan kenapa aku sampai melakukannya." Jasmine menjawab dengan suara bergetar, jelas gugup.
"Alasan apa, hah? Katakan!" bentak Juan yang sudah selesai mengenakan pakaiannya dan kini menghampiri Jasmine dengan langkah besar penuh amarah.
Tanpa aba-aba, Juan meraih bahu Jasmine dan memutar tubuh gadis itu menghadap ke arahnya, gerakannya cepat dan mengejutkan.
"Katakan apa alasannya!" sentaknya sekali lagi.
"Aaaa! Apa yang kamu lakukan?"
Jasmine memekik lagi, tubuhnya gemetar ketika merasakan genggaman kuat di bahunya.
Ia buru-buru mundur, ingin menjauh sejauh mungkin dari pria itu. Tetapi gerakannya yang tergesa membuat telapak tangannya yang tadi menutup mata ikut terbuka tanpa sengaja.
"Jangan berani-berani menyentuhku! Kamu bukan muhrimku!" teriak Jasmine keras, memberi jarak sekaligus peringatan.
Tatapan Jasmine tanpa sengaja bertemu dengan wajah Juan. Seketika matanya terbelalak—wajah pria itu begitu tampan, dengan kulit putih bersih, mata tajam dan indah, hidung mancung, serta rahang terdefinisi kuat. Aura lelaki dewasa yang berbahaya. Pesonanya benar-benar seperti idol K-pop, tidak heran kalau banyak wanita mengincarnya.
"Ya Allah, apa yang sudah aku lakukan? Astaghfirullah."
Jasmine buru-buru menundukkan kepala dalam-dalam, menahan diri agar tidak melihat lebih jauh lagi. Sadar betapa dosanya tatapan itu, ia segera memalingkan wajah.
Juan sempat memicingkan mata ketika menatap Jasmine. Meski tertutup cadar, mata Jasmine yang terbingkai bulu lentik itu begitu indah, membuatnya yakin bahwa gadis ini pasti memiliki paras yang sangat cantik.
"Jauh-jauh dariku. Kita ini bukan muhrim dan juga nggak saling kenal. Kedatanganku kemari hanyalah untuk mencari adikku," sergah Jasmine cepat, melihat Juan melangkah mendekat lagi.
"Aku tidak mau tahu! Pokoknya kamu harus bertanggung jawab karena sudah berani masuk ke kamarku tanpa izin," balas Juan dengan suara bariton yang berat dan menggelegar.
"Aku minta maaf, tapi aku benar-benar nggak sengaja masuk kesini. Aku hanya ingin mencari adikku, karena sejak tadi dia belum pulang. Aku mendapat informasi kalau dia ada di hotel ini, dan tadi aku melihat dia masuk ke kamar ini." Jasmine menjelaskan dengan hati-hati, tanpa pernah menatap langsung ke Juan.
"Hah? Adikmu?"
Juan mengernyit, benar-benar bingung.
Kenapa gadis ini mencari adiknya di kamar seorang pria seperti dirinya? Apa dia mengira ada hubungan tertentu antara mereka?
"Iya, adikku. Namanya Rosa. Kamu pasti kenal dia kan? Karena aku yakin banget kalau tadi Rosa masuk ke kamar ini. Sekarang katakan, dimana Rosa?" desak Jasmine dengan nada cemas.
Juan hanya semakin bingung. Pria tiga puluhan itu mengangkat alis, memandang Jasmine dengan raut tidak percaya sambil berkacak pinggang.
"Hah? Rosa? Sorry, tapi aku sama sekali nggak kenal sama nama itu." Ia menggeleng.
"Jangan bohong! Udah jelas-jelas kalau tadi Rosa masuk ke kamar ini!" Jasmine tidak terima sama sekali.
"Loh, aku nggak bohong. Kamu bisa periksa sendiri, kalau adik kamu nggak ada di sini."
"Aku nggak percaya! Pasti kamu sudah menculik Rosa. Sekarang katakan, dimana Rosa?"
"Hey, gadis bercadar yang sangat religius. Aku yakin kalau agamumu mengajarkan supaya kamu tidak menuduh orang sembarangan. Seharusnya kamu tidak menuduhku, karena aku benar-benar tidak kenal dengan adikmu, dan aku juga tidak pernah menculik adikmu. Kamu paham?" ujar Juan, suaranya makin keras, terlihat jelas ia mulai jengah dengan tuduhan tanpa henti itu.
"Aku yakin kalau kamu pasti sudah salah kamar. Sekarang juga, keluar kamu dari kamarku!"
