Pustaka
Bahasa Indonesia

GAIRAH LIAR WANITA KONGLOMERAT (TAMAT)

46.0K · Tamat
Ayu Wandira
23
Bab
11.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

21+ AREA DEWASA DI BAWAH UMUR MENYINGKIR Anja memahami apa yang diinginkan oleh Richad, ia berjinjit kemudian melingkarkan tangannya ke leher pria itu. Ia membalas ciuman Richad tidak kalah mengebu-ngebu. Gerakan Anja membuat Richad hilang kendali, ciuman seperti ini membuat ingin melakukan hal yang tidak seharunya ia lakukan. Bibir Anja dan Richad saling berpangutan, bermain lidah, bertukar saliva. Ciuman-ciuman itu berubah menjadi memabukan, Richad tidak menyangka kalau Anja dapat menciumnya seperti ini. Ciuman mereka sangat memangut, saling mengigit, dan bermain lidah. Tidak ada yang saling ingin melepaskan. Richad menyentuh bokong Anja tanpa melepaskan lumatannya. Ia meremas, bokong Anja sangat padat, sementara Anja memejamkan mata menikmati setiap ciuman yang diberikan oleh Richad. Ciuman mereka semakin tidak terkendali.

RomansaMetropolitanPresdirDokterBillionairePerselingkuhanOne-night StandPernikahanCLBKTuan Muda

BAB 1

BAB 1

HAPPY READING

***

“Pak, nanti bertemu dengan ibu Anjani manager Marketing dari Semen Indonesia,” ucap Tiara mengingatkan Willi bahwa sebentar lagi akan bertemu klien.

“Terima kasih sudah mengingatkan saya,” ucap William memandang sekretarisnya, setelah itu staff-nya pergi kembali ke ruangannya.

William menarik nafas beberapa detik, ia melihat jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 09.00. Entahlah ada angin apa ia ingin bertemu dengan ibu Anjanji selaku manager marketing Semen Grup. Biasanya staff nya mengurus ini semua. Namun menggelitik di hatinya, bahwa ia ingin terjun langsung bertemu dengan seorang wanita yang menawarkan kualitas harga bahan baku pembuatan propertynya, kualitasnya sangat baik dan memang yang terbaik. Ia tidak mempermasalahkan soal harga, ia ingin kualitasnya bagus untuk pembangun hunian, tidak hanya itu ia juga ingin melihat penawaran marmer untuk lantai dan dinding yang akan digunakan pada bangunan eksklusive nantinya. Ia perlu sesuatu yang terjamin kualitasnya.

Willi sadar bahwa harga property tetap akan terus bertumbuh, ia menjadi pengusaha real estat ini sudah bertahun-tahun lamanya, yang diturunkan langsung dari sang ayah. Ini bukan tentang hasil tapi butuh usaha yang panjang. Keluarganya konsisten membangun ini. Ia tahu kalau resiko gagal kerap menjadi perhatian besar darinya. Selama menjadi pengusaha pengembangan banyak tantangan tersendiri di dalamnya. Pertama yang harus ia perhhatikan, ia harus jeli dalam melihat peluang, ia memanfaatkan peluang yang ada di depan mata. Ia membuat perancanaan bisnis yang matang, lalu membangun kredibilitas dengan kejujuran, dan bangunan yang terpercaya oleh masyarakat.

Sekarang target yang ia bangun di kawasan komersial BSD City dan beberapa apartemen di sana mengalami peningkatan pesat, target tahun lalu marketing seles mencapai 7 triliun itu hanya di satu lokasi saja. Belum di berbagai daerah di Jabotabek dan luar daerah.

Willi kembali menekuri pekerjaanya. Saat ini ia sudah hampir berkepala empat dan ia tetap masih sendiri. Kedua orang tuanya kerap mempertanyakan kapan dirinya menikah. Rasanya cukup bosa mendengar itu semua. Baginya, Hidupnya terasa monoton begitu-begitu saja, pagi pergi kerja dan lalu pulang ke rumah, tidur, kadang pergi bersama teman-temannya, olahraga, mengisi waktu luar dengan berkuda, bermain golf, atau sekedar bersepeda di sore hari, kadang kalau bersemangat ia ke Afrika, ke USA, Eropa.

Sekarang temannya satu persatu sudah menikah kerap kali susah diajak bertemu. Ia ingat teman rekan kerjanya sesama pengembang Maikel, dia menikahi seorang artis, dengan kasus video skandal yang dibuatnya sendiri. Ia tidak habis pikir temannya menikah dengan cara berpikir seperti itu. Namun insting Maikel kuat dan dia bahagia dengan pernikahannya sekarang. Namun ia tidak ingin mengikuti cara Maikel menikah dengan kasus skandal tersebut. Ia memiliki cara tersendiri menentukan pasangan.

Menurutnya untuk sekarang ia sulit sekali mempercayai cinta apalagi pernikahan. Dua itu merupakan hal yang rumit, baginya cinta itu hanyalah reaksi kimia yang ada di dalam otak manusia. Malas untuk percaya lagi, karena dulu pernah dibuat kecewa, dan dibuat spechlees dengan prilaku dan rasa sakit

Lebih baik ia sibuk kerja, hingga akhirnya ia melupakan umur mereka sendiri. Kadang ada terasa bosan, wanita silih berganti bersamanya. Sebenarnya sangat melelahkan jatuh cinta, di dalamnya ada rasa sedih, senang, benci, dendam, dan capek. Hingga ia mempertanyakan keberadaan di tengah kegalauan, kenapa jika jatuh cinta selalu seperti itu. Membuktikan untuk cinta itu sungguh menyusahkan saja.

Namun untuk saat ini ia justru memikirkan tentang FWB (friend with benefit) dibanding pacaran. Karena tidak ada kejelasan hubungan maka ia tidak perlu mengorbankan perasaan terlalu dalam. Mungkin ia perlu mencari teman selayaknya suami istri namun mengurungkan niat untuk ke jenjang pernikahan. Masalahnya apakah ada wanita mau diajak seperti itu? Karena baginya pacaran belum menjadi prioritasnya. Prioritasnya saat ini menjadi kaya. Banyak yang bilang ia trauma dengan hubungan. Rasanya tidak juga, hanya saja ia belum menemukan pasangan yang tepat.

Sesungguhnya ia enggan pacaran, dengan alasan karena kebanyakan wanita enggan memberi dirinya ruang menjadi dirinya sendiri, kebanyakan mementingkan diri mereka sendiri, sama sekali tidak membantu menjadi versi terbaik untuk dirinya.

Ia tidak tahu kenapa ia berpikiran untuk mencari wanita yang bisa ia ajak friend with benefit saja, dengan alasannya tidak mau ribet, ia tidak akan deserve keberadaanya dengan alasan. Namun sesibuk-sibuknya dirinya jika memiliki rasa ia akan tetap mencari, but if not, ia akan berhenti buat suka dengan dia. Dan juga tidak mudah percaya dengan omongan seseorang yang mengatakan “Kita tidak usah pacaran, kita komitment saja” karena jika sayang maka akan memberi kepastian. Baginya komitmen itu menyusahkan, tidak bebas dan tidak bisa menjadi diri sendiri.

Jujur bukan pria suci, ia sering pacaran dan pernah melakukan hubungan intim dengan mantan-mantannya terdahulu. Ia ingin memilih jalur friend with benefit, karena tidak dituntut banyak hal, dengan segala drama yang menyertainya. Cara kerja friend with benefit yang sudah ia pelajari, hanya Cuma ‘saya butuh dia’ dan ‘dia butuh saya’ Selanjutnya kesepakatan seperti apa dan mau bagaimana. Itu yang ia tangkap secara pribadi, namun ia belum pernah melakukannya. Masih tahap ingin, jika ada wanita yang cocok dengannya, maka akan ia menawarkan hal seperti itu.

Beberapa jam kemudiann, setelah menyelesaikan pekerjaanya, William mengambil kunci mobilnya. Ia segera menemui kliennya, saat ini. William beranjak dari duduknya ia lalu memasukan kunci ke saku celana. Ia melihat sekretarisnya keluar dari ruangan, membawa berkas di tangannya.

“Bapak mau ke mana?” Tanya Tiara.

“Saya mau ketemu klien.”

Tiara melirik jam melingkar di tangannya sudah menunjukan pukul 10.10 menit. Ia menatap pak William, dan ia mengangguk.

“Baik pak.”

Tiara melihat kepergiann bos nya, pria itu meninggalkan ruangannya. Ah, siapa yang tidak kenal dengan dengan pak William, orang nomor satu di perusaah ini Statusnya sekarang masih single dan dia sangat tampan, seluruh wanita di kantor ini menginginkannya. Ia sebagai sekretaris yang sudah bekerja dua tahun, memiliki harapan untuk dekat. Namun kandas begitu saja, masalahnya bos nya itu sangat dingin, dia sepertinya sama sekali tidak percaya dengannya, mereka hanya memiliki hubungan sekedar pekerjaan saja.

Dan ia harus tahu kalau ia bukanlah selevel dengan pak Willi, dan ia ingat bahwa pria seperti pak Willi pasti mencari wanita setara dengannya, paling tidak artis ataupun sesama pengusaha. Ia tidak mau berharap karena jalurnya memang tidak sejalan. Ia hanya akan menyimpan itu diangan-angan saja.

William masuk ke dalam lift dan lift membawanya menuju lantai besement. Pintu lift terbuka, ia melangkah menuju parkiran mobilnya, setelah itu ia menekan tombol power window, ia masuk ke dalam mobil dan mobil meninggalkan area basemen menuju di Spectrum – Fairmont Jakarta, karena di sanalah ia akan bertemu dengan wanita bernama Anjani. Ada sesuatu yang menggelitik di dalam kepalanya entahlah sejak kemarin Tiara menyebutkan nama Anjani, dan ia penasaran seperti apa wanita itu. Namanya terdengar sangat unik di telinganya.

***

“Mau pergi bu?” Tanya Tio memandang Anjani, yang sudah mengemasi barang-barangnya di meja yang akan ia bawa ke tempat kliennya.

Anja melihat jam di tangannya, memastikan jarak kantor ke Six ounces coffee itu membutuhkan waktu 30 menit, bertemu dengan Juliet sekitar sejam, setelah itu melanjutkan ketemu klien di Spectrum – Fairmont.

“Iya nih, mau ngopi bentar, lalu jam sebelas ketemu pak Willi.”

“Pak Willi target utama kita.”

“Iya, yang punya Metropolitan Grup. Doain ya deal, biar kita langsung sampai target bulan ini.”

Tio tersenyum, “Baik bu, semangat ya.”

Anja lalu meninggalkan ruangannya, melewati koridor, ia melihat ada beberapa karyawan yang baru datang. Sejujurnya ia senang melihat suasana kesibukan di kantor. Sejak dulu ia memang bercita-cita menjadi wanita karir, alasan utamanya karena ia workaholic sejak lahir. Ia orangnya tidak bisa diam di rumah saja, dan ia juga tidak punya talenta sebagai ibu rumah tangga. Sejujurnya ia lebih baik kerja dari pagi hingga malam, bahkan lembur ia juga tidak masalah.

Dari pada ia mengerjakan pekerjaan rumah seperti laundry, masak, beres-beres rumah, berkebun, membersihkan rumput, kalaupun ia di rumah ia lebih baik menyuruh go-clean atau menyewa helper untuk membantunya menyelesaikan rumah.

Dan juga ia lebih senang berdandan dan mengenakan pakaian kerja terbaik dari pada di rumah menggunakan daster. Ia harus ingat bahwa ia tidak membutuhkan siapapun untuk membelikan dirinya skincare, skincare itu mahal-mahal, apalagi jajan makeup, tas, sepatu yang harganya jutaan. Ia tidak perlu suami untuk menyediakan itu semuanya, karena I’m my own sugar daddy.

Anja masuk ke dalam lift dan lift membawanya menuju lantai dasar. Ia menunggu beberapa detik, dan akhirnya melangkah menuju parkiran, menuju mobilnya. Ia mengingat bahwa ada sesuatu yang kurang pada dirinnya pagi ini. Ah, ia ingat bahwa ia belum minum kopi pagi ini. Biasa sebelum tiba di kantor ia menyempatkan waktu untuk minum kopi, biasa ia membeli di starbuck, namun bentar lagi ia akan ke six ounces coffee. Ia suka minum kopi jenis Arabika, lebih smooth yang variant speciality, karena biasanya diproses secara giling kering, lebih nyaman untuk lambung dan after taste-nya sangat enak.

Anja masuk ke dalam mobilnya, ia tidak lupa memasang sabuk pengaman. Setelah itu mobil meninggalkan area tower office. Ia memanuver mobil sambil memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapannya. Ia mendengar suara ponselnya bergetar, ia melihat ke arah layar ‘Juliet Calling’ Anja menggeser tombol hijau pada layar, ia memasang earphone.

“Iya, Juli,” ucap Anja.

“Lo di mana?”

“Ini lagi di jalan. Lo di mana?”

“Udah sampe nungguin lo.”

“Yaudah kalau gitu, pesenin gue coffee ya.”

“Iya. Lo nggak lama kan?”

“Enggak lah, palingan 20 menit nyampe, deket kok.”

“Oke, gue tunggu ya.”

“Iya, iya,” ia lalu mematikan sambungan telfonnya.

Juliet itu sahabatnya ketika kuliah di Jerman, dia sudah menikah dengan salah satu anak konglomerat di Jakarta karena perjodohan, namun pernikahannya kandas begitu saja. Ia sebenarnya iba melihat kejadian menimpa Juliet, semakin ke sini ia tidak ingin menikah. Tidak perlu jauh-jauh untuk melihat contoh, wanita perfect seperti Juliet dan suaminya saja yang sama sekali tidak kekurangan finansial, mereka bisa bercerai, umur pernikahan mereka bisa dikatakan sangat singkat hanya tiga bulan saja.

Apalagi ia melihat teman-teman sekantornya yang hidupnya lebih menyedihkan setelah menikah, ada yang terkena dampak KDRT, perselingkuhan, tidak dikasih nafkah, tekanan batin, stress, masih banyak lainnya. Gimana mau nikah ya? Ibaratnya menikah itu dengan upah kecil tapi tuntutan selangit. Ia sekarang sadar bahwa memperoleh pekerjaan itu sangat susah, apalagi sudah dibangun sejak awal. Ia tidak akan menyia-nyiakan karirnya hanya dengan menikah.

Kata temannya yang sudah menikah jika membicarakan impian punya rumah itu masih jauh. Belum lagi membeli prabotan rumah tangga, sekolah anak, pangan, hobi, mobil, anggaran jajan anak, belum lagi menyisihkan rejeki untuk merawat ibu dan bapak yang ditampung, menganggarkan ongkos mudik setiap tahun. Bagi-bagi rejeki di arisan keluarga dengan begitu tuntutannya selangit.

Membayangkan betapa repotnya hidup berumah tangga, sebagai kelas menangah miskin, apa mending pacaran saja sampai tua. Gajinya lebih baik buat nonton konser, beli tiket bioskop, makan, ngasih orang tua, memfasilitasi hobi sendiri, bayar kostan, dan sewa hotel berbintang sesekali. Nikmati hidup saja selagi punya waktu, lagian ini hidup tidak memiliki umur panjang-panjang banget kan, karena telalu banyak makan makanan olahan, udara yang tercemar emisi gas kendaraan, kadar kaporit PAM yang tidak baik untuk tubuh, perawatan tubuh kimiawi, itu semua cukup berhasil membuat penyakitan di mulai usia tiga puluhan. Dan ia mengalami sendiri, karena gampang capek menginjak di usia ini.

Rasanya memang tepat, tidak memilih berumah tangga apalagi menikah. Lebih baik ia menikmati hidup saja. Ia tidak akan membuang-buang waktunya dengan percuma. Lagi pula seandainya hidup adalah tentang menemukan jati diri dan bermakna, maka itu bukanlah tentang pernikahan. Banyak pilihan selain menikah, bukan berarti ia ingin jomblo selamanya, paling tidak ia butuh teman, karena afeksi salah satu kebutuhan manusia. Untuk itu ia butuh orang yang bisa menjadi relasi sebagai kekasih, namun tidak perlu dengan pengakuan dari negara dan pengesahan.

Akhirnya ia tiba di Six ounces coffee ia memarkir mobilnya dipelataran, ia lalu keluar dari mobil lalu menuju lobby, ia mengedarkan pandangannya kesegala area, di dalam coffeeshop ada beberapa table terisi. Ia memandang sahabatnya di sana, dia tidak sendiri melainkan bersama seorang pria. Ia tidak tahu siapa pria itu. Ia lalu melangkah mendekati Juliet.

***