Bab 2 Suara di Kamar Sebelah
Arya pun segera membawa baki dari mbak Tini tersebut ke dalam kamarnya untuk segera menyantap makanan yang telah disajikan untuknya. Sementara mbak Tini telah beranjak dari depan kamar Arya tersebut.
Rasa lapar memang ternyata telah menyerang perut Arya yang sejak perjalanan dari Jogja hingga ke rumah ibu Sonya ini ia belum sempat makan besar lagi. Cuma sempat sarapan pagi di perjalanan dengan nasi uduk dengan lauk seadanya serta air teh hangat yang ia beli di stasiun sebelum tiba di rumah besar ini.
Setelah sekitar dua puluh menit ia menghabiskan makanannya dan baru saja usai minum untuk melepas dahaganya, pintu kamarnya ada yang mengetuk lagi.
“Tok..tok...tokkk...mas Arya, sudah selesai toh makannya?” terdengar kembali suara mbak Tini di balik pintu kamar itu.
“Owh, iya mbak! Ini baru saja selesai beres makannya mbak!” ujar Tomi sambil membuka pintu Kamarnya. Sejenak Arya tertegun karena kali ini mbak Tini sudah tidak memakai kebaya lagi melainkan kaos lengan pendek ketat yang membungkus tubuh montok berkulit sawo matang itu. Hanya saja tetap saja mbak Tini itu selalu memakai pakaian yang posisi dadanya terbuka agak lebar sehingga lagi-lagi Arya menelan salivanya melihat dua belahan gunung susu milik mbak Tini itu menggantung indah.
“Mas Arya koq malah bengong sih? Sinikan bakinya mo aku bawa kembali ke dapur!” ucapan mbak Tini itu menyentak sekejap lamunan Arya yang masih terkesiap melihat pemandangan indah di depannya itu.
“Owh yayaya...maaf mbak. Ini bakinya!” ujar Arya sambil menyerahkan baki itu ke tangan mbak Tini.
“Mas Arya sekarang ditunggu bu Sonya di lantai atas!” ucap mbak Tini sambil mengambil baki dari tangan Arya.
“Sekarang mbak? Kan ini sudah malam!” tanya Arya yang masih ragu karena ini sudah cukup malam saat itu.
“Kalo bu Sonya sudah panggil jangan mikir kelamaan loh! Soale beliau terkenal galak banget mas!” jelas mbak Tini yang kali ini memasang wajah yang agak serius.
“Owh gitu yo mbak? Yo wis aku segera ke latai atas deh ya!” balas Arya sambil bersiap mengganti bajunya dahulu untuk ia pake kaos. Mbak Tini pun berbalik badan untuk menuju kembali ke dapur. Saat berbalik badan Arya masih sempat melihat betapa bokong besar nan montok milik mbak Tini itu menari-nari di depan matanya dan menghilang di balik tembok menuju dapur di rumah mewah itu.
Setelah dirasa pas memaaki kaos dan celana panjangnya Arya pun bergegas menuju ke tangga besar di ruang tengah untuk menuju lantai atas.
Sesampainya disana ada semacam ruangan yang terdiri dari beberapa ofa besar dan mewah lagi seperti di lantai bawah dan ada pintu puith berukiran yang mungkin itu pintu kamar ibu Sonya. Dilihatnya bu Sonya sudah duduk di salah satu sofa sambil memangku laptop kecil di pahanya. Bu Sonya terlihat sangat cantik memakai baju tidurnya malam itu. Meski sudah mulai larut malam nampak sekali perempuan kaya itu sangat menjaga penampilannya yang menawan hati selayaknya mirip artis india Kareena Kapoor.
“Kemana saja sih kamu Arya?” bentak bu Sonya denagn suara cukup keras memandang melotot bakal sopir barunya itu namun tetap saja terlihat sangat cantik meski kali ini terlihat wajahnya cukup marah dengan kedatangan Arya di ruangan yang terletak depan kamarnya itu.
Anehnya mendengar dan melihat bagaimana bu Sonya membentak dirinya Arya malah tertegun sejenak melihat sang bos itu malah terlihat sangat menawan di matanya.
“Ya ampunnn...kenapa di rumah ini aku jadi terpesona mulu ini melihat dua pemandangan yang indah bergantian di depan mataku?” ucap Arya dalam hati. Ia membandingkan dengan manisnya wajah mantan pacarnya di kampus sana yang ternyata belum ada apa-apanya dengan wajah-wajh yang ia liat di rumah majikan barunya ini. Di desanya Sita adalah pacar pertama Arya tapi sayangnya karena ortu Sita minta Arya cepat-cepat untuk segera melamarnya Arya pun bingung karena ia merasa belumlah mapan. Sayangnya, ortu Sita gak mau menunggu lama sehingga akhirnya Sita dijodohkan dengan pemuda desa sebelah. Dengan kejadian itu membuat Arya cukup sakit hati sehingga memperkuat tekadnya untuk pergi merantau ke Jakarta ini mencari pekerjaan sekaligus melupakan kenangan pahitnya bersama Sita. Sita pun sebenarnya sangat mengharapkan Arya bisa jadi suaminya namun Sita tak bisa melawan kehendak kedua ortunya yang keburu menerima lamaran Dedi sang pemuda desa sebelah yang menurut kedua ortu Sita jauh lebih mapan dibanding Arya yang cuma seorang penjual sayuran di desanya. Dedi memiliki sejumlah toko kelontong di desa itu sehingga nampak lebih mapan daripada Arya dan dedi pun juga sudah memiliki rumah serta mobil. Hal itulah yang membuat kedua ortu Sita merasa lebih cocok ke Dedi dibanding Arya.
‘Heiii....aku kan sedang bicara denganmu Arya! Koq malah bengong?” kembali suara bentakan dan mata melotot si cantik bu Sonya.
“Owh yayaya maaf bu...maaf bu! Ada apakah ibu memanggil saya?” ucap Arya yang kini mulai berani menatap sang majikan karena lagi-lagi Arya justru tidak ada rasa takut melihat kegalakan bos cantiknya itu. Karena menurutnya makin galak malah terlihat makin cantik di mata Arya.
“Saya ini mo jelaskan detil tugas-tugasmu sebagai sopir pribadi saya! Jadi cankan baik-baik!”
“Baik bu, saya siap mendengarkan koq!” ucap Arya sambil menatap kagum wajah cantik sang majikan.
Heiii...kamu meledek saya ya? Koq mata kamu melotot seperti itu?”
“Owh gak bu, kan saya bermaksud menuruti perintah ibu untuk mendengarkan baik-baik ucapan ibu!” balas Arya dengan wajah tenang meski sang majikan sudah terlihat galak di depannya. Sementara itu Sonya dalam hatinya merasa ini anak muda ganteng di depannya sungguh berbeda dengan sopir-sopir sebelumnya yang cenderung takut-takut kala meghadap dirinya. Arya ini nampak tak ada takutnya melihat perangai dirinya. Sonya dalam hati mulai kagum dengan Arya dan ia merasa telah menemukan sosok sopir yang mungkin saja cukup bisa ia andalkan dalam beberapa tahun ke depan. Karena sopir-sopir sebelumnya tak ada yang bertahan lama bekerja dengan Sonya. Rata-rata mereka lari dan pergi atau mengajukan undur diri setelah merasakan bekerja sebagai sopir pribadi Sonya. Tak tahan dengan kegalakan perangai Sonya.
“Jadi, tugasmu setiap pagi jam 8 sudah harus standby mengantarkanku kemana saja ya!”
“Sampe jam berapa bu selesainya?” tanya Arya
“Saya kan belum selesai bicara! Mangapa kamu berani memotong kalimatku?’ Sonya kembali melotot tajam ke wajah Arya, namun yang membuat Sonya cukup kagum adalah Arya malah tetap datar memandang wajahnya saat ia terlihat jutek saat itu.
“Owh baik bu...saya akan diam saja sampe ibu selesai ngomong!”
“Nah, gitu! Jadi begini, kamu ini kan sopir pribadi saya, jadi kamu harus standby kapan pun selama 5 hari kerja kecuali sabtu minggu kamu saya bebaskan dari tugas sopir,” ucap Sonya memberikan penjelasan.
“Baik bu, saya paham bu!”
“Kamu harus mau mengantar kemana pun saya pergi dan menuju dan tidak boleh membantah perintahku!”
“Baik bu Sonya!”
“Jika nanti hasil pekerjaan kamu bisa memuaskan saya, maka saya akan berikan bonus!” ucap Sonya lagi menambahkan penjelasannya namun kali Sonya lah yang menunduk sambil mengetik sesuatu di layar laptopnya. Karena perlahan Sonya mulai menyadari kalo bakal sopir barunya ini terlihat ganteng dan dalam hatinya ia berkata bahwa Arya lebih cocok jadi artis dibanding seorang sopir.
“Bonusnya apa bu?” Arya memberanikan diri untuk menanyakan apa yang dimaksud bonus oleh sang calon majikan cantiknya itu.
“Kamu ini, bekerja saja belum malah sudah menanyakan bonus! Buktikan saja dulu pekerjaanmu dan barulah ngomongin bonus!” Sonya kembali melotot dengan bentakan suara kerasnya.
“Owh baiklah bu Sonya!” Arya dalam hati ngakak karena yang ngajak ngobrol bonus kan si majikan sendiri yang memulai.
“Sekarang kamu boleh istirahat di kamarmu. Besok jam 8 pagi sudah harus siap mengantarku pergi!”
“ok baik bu!”
Arya pun ijin turun ke lantai bawah untuk menuju kamarnya dan dilihatnya ruangan bawah yang cukup luas itu lampu-lampu sudah redup. Arya pun bermaksud menuju kamarnya
Sesampainya di lorong menuju kamarnya sesaat langkahnya sudah sampe depan pintu kamar sayup-sayup Arya mendengar suara aneh. Seperti suara desahan orang. Arya baru ingat kalo kamarnya bersebelahan dengan kamar pak Dirman yang tadi ia ketemu di depan pagar saat pertama kali tiba di rumah mewah itu.
Arya bertanya-tanya dalam hati, “Itu suara desahan siapa. Masak suara pak Dirman? Koq seperti suara desahan perempuan ya?”
