Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

01. His Hobby

Terkenal sudah genius sejak kecil, George Owens memandangi piagam serta piala penghargaan yang sudah ia peroleh sejak berumur tujuh tahun. Kebanyakan dari penghargaan yang telah ia dapatkan itu berasal dari keikutsertaannya dalam lomba-lomba ilmu pengetahuan dan juga berbagai acara debat seminar yang dilakukan di berbagai tempat di kota tempat tinggalnya berada.

Belum lagi dengan banyaknya kemenangan yang ia peroleh dalam turnamen olahraga yang sering dilaksanakan di sekolahnya. George juga aktif dalam organisasi dan ekstrakurikuler penting yang ada di sekolah. Dan hampir semua kegiatan yang ia lakukan, George selalu terdepan karena mendapat amanat langsung dari guru-gurunya. Meski mengikuti banyak kegiatan di luar rumah, George tetap bisa mengatur jadwalnya sehari-hari. Baik itu jadwal untuk belajar, ataupun untuk bersosialisasi bersama teman-teman sebaya.

George bahkan lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah, baginya sekolah dan perpustakaan itu adalah rumah tetapnya. Tak ada tempat untuk kembali pulang selain berada di tempat yang dipenuhi dengan lautan buku-buku. Toh, tak akan ada orang yang akan mencarinya jika ia tak ada di rumah. Sebab, orang tuanya hanya tahu jika ia berada di perkumpulan orang-orang yang suka dengan buku-buku.

"Ma, Pa, aku pergi ke sekolah dulu," ucap George Owens, anak laki-laki berusia tujuh tahun dan duduk di kelas tiga Elementary School. Putra pasangan Joly dan Erick dari keluarga Owens yang terkenal di bisnis perhiasan dan properti.

"Sayang, ini masih pukul setengah enam pagi, dan kamu sudah mau berangkat ke sekolah?" tanya Joly keheranan, anak tunggalnya mengangguk pelan dan berbalik badan menuju pintu keluar. "George, tunggu! Papa akan mengantarmu ke sekolah—"

"Tidak mau, Ma. George akan pergi sendiri saja," potong George sambil tersenyum manis. Dan anak laki-laki itu pun keluar dari rumah seorang diri, tanpa ditemani kedua orang tuanya.

Seperti itulah rutinitas anak laki-laki itu di setiap harinya, berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali dan pulang di sore hari yang larut. Apakah itu wajar untuk seorang anak kelas tiga sekolah dasar? Tentu saja, yang sedang dibicarakan ini adalah George Owens, sang genius kecil yang dipenuhi dengan bakat yang melimpah.

Sejak memasuki usia tiga tahun, George sudah menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan hal-hal yang masuk diakal. George bahkan mulai sering mengembangkan serta mengolah suatu benda dari hasil pemikirannya, meski dibuat dengan cara yang sangat sederhana. Dibantu oleh sang ayah, dia bisa membuat berbagai macam peralatan yang bisa membantu aktivitas sehari-harinya.

Seperti alat pemecah kulit kacang dan alat penyemprot tanaman otomatis yang dihubungkan dengan selang yang dipasangi dengan pembangkit listrik bertenaga air.

Walau sederhana dan hanya dipakai oleh keluarganya sendiri, tapi George sangat puas dengan karyanya itu. Karena lambat laun, ciptaannya yang sederhana ini, kelak akan berubah menjadi penemuan yang luar biasa di masa depan. Semoga.

**

"Bu Guru! George membawa benda-benda aneh lagi ke sekolah!" teriak salah seorang teman George ketika anak itu melihat putra keluarga Owens membawa penemuan kecilnya yang berbentuk kubus.

George menatap gurunya yang tercengang di tempat. "Ini untuk Bu Guru, tempat menyimpan uang. Fungsinya seperti brankas, tapi bisa disimpan di mana saja." Anak itu kemudian memberikannya kepada sang guru yang menerimanya dengan senang hati.

"Terima kasih, George! Ini luar biasa!" ucap Miss Violette sambil mengusap kepala George. Wanita itu lalu beralih kepada Nathan, anak yang tadi mengadu perihal George padanya.

"Nathan, ini bukan barang aneh, ini penemuan George yang sangat berharga! Sang genius kecil kita ini, kami beruntung memilikimu di kelas ini, George

Semua teman-teman George yang berkumpul di depan kelas bertepuk tangan dengan meriah seraya menyorak nama putra pasangan Joly dan Erick Owens. Lalu setelah kehebohan itu, terciptalah sebuah panggilan khusus untuk George.

Karena kesukaan George itu selalu berhubungan dengan segala hal yang menyangkut ilmu pengetahuan juga kecintaannya terhadap inovasi baru yang ia ciptakan, George pun dijuluki ilmuwan kecil oleh teman-temannya di sekolah.

Terkadang, para genius di dunia ini dijuluki sebagai orang yang aneh oleh orang-orang di sekitarnya. Seperti Albert Einsten atau orang genius lainnya. Namun, George berbeda. Walau ia mencintai sains bahkan ditahap yang sudah bisa disebut kecanduan, ia tidak pernah sekalipun bersikap aneh di hadapan teman-temannya. Tak heran, ia semakin terkenal saja di kalangan anak-anak seusianya maupun di antara guru-guru di sekolah.

Pernah suatu ketika, salah seorang teman bertanya padanya. "George, kenapa kau bisa sepintar ini? Apa rahasia yang membuatmu bisa sepintar itu, George?" tanya Nathan, yang sebelumnya pernah meremehkan George dan penemuan kecilnyam

George tersenyum tipis. "Hm, ya, itu semua karena sejak kecil aku sudah mengasah kemampuanku ini dengan cara memainkan permainan yang memerlukan ketelitian, kecerdikan dan juga konsentrasi untuk otak," jawabnya tenang. Ucapannya tidak terdengar seperti seorang anak kelas tiga sekolah dasar, ia melebihi anak seusianya.

"Contohnya apa saja?" tanya temannya yang satu lagi. "Kami sangat ingin tahu caramu belajar selama ini, George."

Mereka saat ini memang sedang berkumpul di lapangan olahraga, lalu kemudian mereka mendadak penasaran dengan kecerdikan yang biasanya George perlihatkan.

George kecil tidak sempat menjawab pertanyaan itu karena bel masuk telah berdentang. Bunyinya sangatlah nyaring, bahkan membuat George dan teman-temannya sampai berlarian di lapangan, bergegas ke kelas masing-masing untuk mata pelajaran selanjutnya.

Dan George tak sempat memberitahukan cara belajarnya itu kepada mereka semua.

**

Beberapa tahun kemudian, setelah tumbuh semakin besar, George kembali dihadapkan dengan pertanyaan yang sama. Namun, di kesempatan kali ini dia bisa menjawabnya dengan baik karena waktu istirahat makan siang di sekolah mereka masih sangat panjang; sekitar lima belas menit lagi.

"Apa rahasiamu, George? Katakan pada kami!"

"Apa kau mengikuti kursus yang sangat banyak?"

"Apa kau punya guru terbaik sedunia?!"

Berbagai pertanyaan pun berdatangan kepada George.

Remaja empat belas tahun itu masih tetap mempertahankan senyum tipis di wajahnya ketika dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan serupa dari teman-temannya yang antusias ingin mengetahui caranya belajar dan memahami selama ini.

"Hmm, mudah saja. Sejak kecil, aku selalu bermain permainan puzzle, tic tac toe, flow free, kubus rubik, menebak teka-teki sulit bahkan catur di waktu senggangku," jawab George dengan tenang, yang membuat semua teman-temannya langsung terpukau.

Wajar saja anak-anak itu takjub, sebab George tak terpukau dengan permainan zaman sekarang yang hampir selalu membuat anak-anak lupa waktu.

"Lalu selain itu?" tanya mereka lagi. Setelah ini, mereka akan mempraktikkannya di rumah. Siapa yang tak ingin mendapat nilai bagus dan menjadi juara?! Tentu semua orang akan mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan berteriak bahwa mereka sangat ingin mendapat nilai bagus di sekolah.

Hening sejenak, George tampak mematung di tempatnya berdiri. Sesaat kemudian, ia pun tersenyum. "Juga, aku sangat menyukai permainan bongkar pasang. Itu benar-benar melatih emosiku selama ini," ucap George diakhiri dengan senyumannya yang semakin lebar.

**

Hidup di tengah keluarga yang memiliki harta yang berlimpah, dan kaya akan uang tak selamanya terasa menyenangkan. Terlebih lagi, jika harta itu sama sekali tak bisa digunakan untuk membeli sesuatu yang sangat berharga di dunia ini.

Yaitu kebahagiaan.

Kasih sayang.

Orang yang telah tiada.

Waktu yang tak bisa diulang.

Kebersamaan.

Dan masih banyak lagi.

Meski, kita bisa membeli sebagian di antara semua itu dengan uang, tetapi semuanya akan tetap terasa palsu. Imitasi dan hanya tiruan yang sedang berpura-pura. Kau tahu imitasi? Sekadar meniru yang asli dan mencoba terlihat sepertinya.

Apakah ada kasih sayang seseorang di dunia ini yang bisa dibeli dengan mudah? Jika ada, apakah itu adalah kasih sayang yang tulus dan benar-benar berasal dari hati? Tanpa dibuat-buat dan terasa tulus.

Tentu tidak, mereka menunjukkan kasih sayang mereka padamu karena kau memiliki uang yang mereka inginkan. Jika wanita, mereka akan dianggap materialistis. Jika pria, mereka akan dianggap lelaki perhitungan.

Secara tidak langsung, kau telah membeli kasih sayang palsu dari mereka yang hanya ingin uangmu saja.

Apakah itu yang dinamakan dengan kebahagiaan sejati? Jelas tidak bisa dikatakan dengan kebahagiaan yang selama ini kau cari-cari, kau hanya sedang berpura-pura. Dan dengan uang-uang yang kau miliki, maka semakin banyak pula hal palsu yang perlahan muncul dalam hidupmu.

Yang semula tenang, akan menjadi gusar.

Yang semula baik-baik saja, akan menjadi gelisah dan tak merasakan kedamaian yang sebelumnya dirasakan.

Semua kepalsuan dapat dengan mudah didapatkan jika memiliki banyak uang, karena itulah realita di masa kini.

Kekasih bohongan yang dibayar untuk sekadar menemani? Ada banyak sekali yang menyediakan jasa seperti ini.

Berpura-pura menjadi orang tua sang penyewa demi sebuah kepentingan? Sekarang pun, sudah cukup banyak jasa sejenis ini yang bermunculan dan diketahui oleh banyak orang.

Lalu, apa yang masih tersisa di dunia ini, sesuatu yang tidak palsu dan bukan sebuah kepura-puraan?

Ialah waktu, yang sudah banyak berlalu karena melakukan hal yang sia-sia. Padahal ada banyak sekali orang di dunia ini yang berkata: waktu adalah uang, tetapi masih saja ada banyak orang yang menggunakan uang untuk membeli waktu yang berakhir menjadi sebuah hal yang sia-sia.

Lalu, siapa yang akan merugi setelahnya? Tentu saja itu adalah para manusia yang melakukannya, dan itu pasti.

Walau dilahirkan dan dibesarkan di keluarga yang kaya raya, dengan harta yang melimpah ruah sekalipun, tak bisa membuat George Owens merasakan kebahagiaan sejati. Di balik sifatnya yang tak banyak bicara dan terkesan dingin, sesungguhnya George adalah seorang anak yang sangat kesepian.

Dari luar memang tak tampak seperti seorang anak yang merasa kesepian akan dunianya, karena ada banyak sekali anak-anak seumurannya yang selalu mengikuti George kemana pun anak laki-laki itu pergi, terutama kaum hawa di tempatnya menimba ilmu.

Anak-anak perempuan selalu saja mengikuti George tanpa kenal lelah dan membuat kebisingan di mana pun putra Joly dan Erick itu berada. Kecuali di perpustakaan, mereka semua tak pernah berani datang ke sana dan mengusik George karena tempat itu dijaga dengan baik oleh seorang penjaga yang sangat galak.

Mengeluarkan sepatah kata saja ketika berada di dalam, maka akan langsung dibentak dan diusir keluar oleh sang penjaga yang terkenal disiplin. Oleh sebab itu, George selalu menghindar dari para pengikutnya dengan cara bersembunyi di perpustakaan. Surga dari buku-buku yang menarik untuk dibaca, juga tempat terbaik untuk melindungi diri dari kejaran orang-orang.

Karena, George tahu sendiri bahwa tak akan ada seorang pun yang akan menganggunya di sana. Sebab, semua orang tidak suka berlama-lama di perpustakaan karena dianggap membosankan.

Kecuali orang itu memang sangat menyukai aktivitas membolak-balikkan halaman buku dan mengamati kata demi kata yang tertuang di dalamnya. Menarik, karena hanya orang-orang hebat saja yang mampu bertahan sehari semalam di perpustakaan tanpa mengeluarkan sedikitpun keluhan.

Mengeluh itu tak ada artinya, kecuali sudah berjuang dengan giat

Salah satunya adalah George, remaja laki-laki yang hanya suka bepergian ke ruang klub, laboratorium, dan juga perpustakaan sekolah. Tempat-tempat yang selalu dihindari oleh banyak orang. Namun, menjadi tempat terbaik untuk George menghabiskan waktunya.

Seperti itulah George dan dunia yang ia selami selama bertahun-tahun lamanya.

Jika sudah tak bersama dengan para pengikut yang sama sekali tak diundang itu, maka akan tampaklah rupa dari George Owens yang sebenarnya. Sosok yang sangat kesepian di balik banyaknya buku-buku yang ia baca.

Bagi George, teman sejati itu hanyalah buku. Mereka yang mengaku-ngaku sebagai temannya itu hanyalah golongan orang-orang yang suka menjilat. Sebab dia tahu, mereka yang berteman dan terus menempel dengannya itu karena ingin dipandang bagus oleh orang lain.

Mereka berharap, dengan menjadi teman George, maka orang akan berpikir bahwa mereka sama seperti George yang pintar dan termasuk ke dalam golongan yang kaya raya sepertinya. Namun, George tahu betul dengan tabiat orang-orang penjilat seperti itu dan karenanya, dia tak bisa membuka diri kepada mereka semua.

Sekalipun mungkin, di antara mereka akan ada yang orang yang benar-benar ingin berteman dengannya. Tanpa mengenal status, atau sekadar ingin mengambil keuntungan darinya. Sambil menunggu waktu itu tiba, biarlah George bersikap dingin seperti ini.

Cukup baik kepada mereka yang benar-benar baik, cukup ramah kepada mereka yang benar-benar tak ingin meraup keuntungan darinya.

Ya, George akan menunggu hingga saat-saat seperti itu tiba. Sang tunggal Owens tersenyum miring, ia menyeringai tipis.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel