Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Flucht : 2

Keduanya dalam perjalanan menuju Los Angeles, lebih tepatnya ke lokasi yang beralamat 434 S. Vermont Avenue, Los Angeles. Sebuah kawasan perumahan tempat keluarga Watson tinggal. Emily terdiam dalam gelisah. Banyak jejak masa lalu yang ada di hadapannya kini. Ia menyusuri jalan yang pernah dirinya lalui beberapa tahun silam. Jejak kelam itu melintasi kembali dalam ingatannya.

“Tidak Danny... tidak... aku mohon...”

“Hahahaha...!!! Terus lah memohon padaku, Em. Aku ingin kau memohon dan terus memohon. Kau tak akan pernah melupakan malam ini di sepanjang sisa hidupmu.”

Suara Daniel Bullmer yang masih terasa segar dalam ingatan Emily, bahkan Emily merasa Daniel mengatakannya langsung di depan telinganya. Emily tenggelam dalam lamunan dan jaring masa lalu yang mengikat hingga tanpa ia sadari jika genggaman tangannya pada telapak tangan Ethan kian erat, membuat Ethan merasa cemas.

“Em, kau baik-baik saja, Sayang?” tanya Ethan dengan suara cemas dan tatapan khawatir sambil membelai wajah Emily dengan punggung telapak tangannya dan Emily tersentak. Mengerjap sebanyak dua kali sebelum menatap Ethan dengan bingung. “Kau melamun?” imbuh Ethan.

Emily menarik napas dalam-dalam, melayangkan padangan matanya keluar jendela mobil sebelum menatap Ethan yang duduk di balik kemudi. “Sebaiknya kita--”

“Tidak. Aku ingin tetap ke sana,” sela Emily cepat. Ethan melirik Emily dari sudut matanya, lalu menatap jalanan di depannya kembali.

“Jika kau tidak siap, sebaiknya--”

“Aku sudah katakan, aku ingin tetap ke sana,” Emily mengulang keinginannya dan kali ini ia mengatakannya dengan suara yang terdengar kesal. Hening tanpa suara setelahnya. Emily menghembuskan napas dengan kasar.

“Baiklah,” desis Ethan tanpa ingin berdebat lagi.

Jeda sesaat bagi keduanya. Emily menelan ludah sambil menundukkan kepalanya sebentar sebelum kembali menatap jalanan sambil berkata, “Maafkan aku, ED. Aku--” Emily berhenti sejenak untuk menatap Ethan yang duduk di balik kemudi. Ethan hanya menatap ke depan tanpa membalas tatapan Emily. “Mungkin kau benar. Aku tidak siap, tapi… aku harus melawan rasa takutku.”

Ada getaran dan rasa cemas yang mengiringi suaranya dan Emily sadar akan hal itu. Tapi dirinya tidak memiliki pilihan lain. Keputusan Emily membuat Ethan tersenyum tipis sebelum menatap Emily selama dua detik. “Maafkan aku,” desis Emily sekali lagi dan Ethan mengulurkan tangannya untuk meraih leher Emily, merengkuhnya dan mendekatkan kepala Emily untuk sebuah kecupan yang mendarat di puncak kepala Emily sebelum Ethan kembali menatap jalan di depannya.

Bangunan yang ada di hadapan Emily sudah tidak sama lagi. Meski citra bayangan tentang rumah masa lalu Emily bersama keluarga Watson masih tampak jelas walaupun bangunan itu sudah hangus terbakar sebagian di sisi belakang bangunan.

“Bajingan-bajingan itu menyerang rumahku. Brengsek!!!”

Suara David Watson yang memekik masih segar dalam ingatan Ethan.

“Apa kau bilang?”

“Iya, aku yakin mereka mencari rekaman skandal masa lalu Danny.”

“Kau ada di mana? Bagaimana kau bisa lolos?”

Ethan masih bisa merasakan napas David yang tersengal seakan kehabisan oksigen. Terasa menyiksa dan lelah.

“Kau tidak perlu tahu aku ada di mana. Aku mengirimkan video rekaman itu ke kantormu. Aku harap kau menyimpannya dengan aman.”

“Kau baik-baik saja, Mr. Watson?”

“Ya, aku baik-baik saja selama mereka belum menemukan keberadaanku. Aku titip putriku. Paket yang dikirim tak hanya video, tapi juga bayaranmu untuk menjaga putriku. Mungkin saat ini paket itu sudah sampai di kantormu.”

“Aku harus pergi. Aku harus memusnahkan nomor ini. Akan ku hubungi lagi nanti.”

Ethan termangu menatap bangunan di hadapannya, sambil menggenggam telapak tangan Emily dengan erat. Percakapan dirinya dengan Dr. Watson kembali terngiang di telinga Ethan tanpa ada yang terlewat. Ethan melirik Emily dari sudut matanya. Mendapati wajah Emily yang tampak sedih, tatapan mata yang keruh dan ada jejak basah di sufut matanya. Kesedihan yang tergurat jelas.

“Aku benci melihatmu sedih, Em,” desis Ethan sambil merangkul bahu Emily, lalu mengecup puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang. Ethan ingin selalu membuat Emily bahagia dengan semua hal yang ia lakukan. Ethan tahu jika istrinya berusaha keras untuk menyembunyikan perasaannya, tapi Emily tidak mahir bahkan tidak memiliki kemampuan itu. Emily jelas terluka, perasaannya tercabik-cabik. Sekuat apa pun usaha Emily, Ethan tahu kapan dirinya harus menjadi dinding kokoh yang akan menopang kerapuhan Emily.

“Aku sudah menyelidiki rumah ini, dan saat kejadian hanya ditemukan jasad seorang pria, tidak dapat dikenali lagi,” ujar Aiden memcah kebisuan di antara mereka. Eily dan Ethan melirik kearah Aiden yang berdiri tak jauh dari mereka.

Ethan menggeser posisi berdirinya, setengah badannya menghadap Aiden yang menatap sepenuhnya. “Mungkinkah jika jasad itu milik Cruz?” tanya Emily tiba-tiba dan terdengar penasaran. Alisnya naik sebelah. Ethan melepaskan rangkulan tangannya di bahu Emily.

“Kemungkinan,” seloroh Aiden sambil menyodorkan sebuah berkas ke hadapan Ethan dan Emily. “Kalian bisa melihat hasil pemeriksaan forensik,” sambung Aiden dan dokumen sudah berpindah ke tangan Ethan.

Ethan menatap Emily sebentar sebelum membuka dokumen yang diberikan Aiden padanya. Dokumen yang terbungkus folder bening. “Apa isinya?” tanya Emily tidak sabar. Ethan membacakan semua keterangan dalam dokumen yang ia pegang. Semua keterangan yang meluncur dari Ethan, membuat kepala Emily berputar-putar bersamaan dengan wajah Cruz yang langsung berkelebat di kepala Emily bagai film yang kembali diputar.

Suasana pesta di malam kelam itu. Suara bising musik, pekikan bersautan, dan aroma marijuana yang membuat perut Emily rasanya ingin muntah. Rasa sakit yang menghujam dan teriakan minta tolong yang terabaikan. Wajah berubah pucat, yang membuat Ethan dan Aiden saling melirik satu sama lain.

“Em, kau baik-baik saja?” tanya Ethan sambil membelai menangkup pipi Emily dengan sebelah tangan, mengusapnya dengan lembut.

Tampak kecemasan memancar dari kulit Emily yang putih, butiran berkeringat yang muncul di keningnya. Tubuh Emily terasa bergolak, emosinya mulai bermain-main.

“Kau mengingat sesuatu?” tanya Aiden menyelidik membuat Emily menatapnya dengan terkejut. Mata Emily tampak berkaca-kaca. Pikiran Emily terasa penuh. Banyak pertanyaan yang terasa menyiksa.

Mungkinkah gambaran yang dibacakan Ethan adalah sosok Cruz Watson? Bagai langit jatuh tepat di atas kepalanya. Emily tenggelam dalam lamunan, terhempas hingga ke dasar.

“Em.” Suara Ethan menariknya kembali ke dunia nyata. Emily mengerjap.

“Aku…Entahlah. Tapi---”

“Tapi apa?” tanya Ethan dan Aiden yang nyaris bersamaan, membuat Emily terkejut dengan napas yang tercekat, terasa berhenti di tenggorokan.

“Aku tidak yakin itu dia. Tapi, entahlah. Jika memang keterangan polisi menyatakan itu memang dia. Aku rasa mungkin memang itu benar,” kata Emily panjang lebar dan terdengar tidak yakin sepenuhnya.

Ethan dan Aiden kembali saling menatap penuh tanya. Ada perasaan tidak puas dari raut wajah Aiden terhadap keterangan yang Emily berikan. Ada bagian yang samar hingga membuat Aiden kembali bertanya untuk meyakinkan. “Kau yakin?”

“Ya, aku…aku tidak mengenalnya secara dekat selain karena dia---”

“Sebaiknya tidak usah dilanjutkan. Jika memang bajingan itu, aku rasa menjadi balasan yang setimpal,” ucap Ethan dengan suara yang penuh emosi. Rahang Ethan langsung mengatup rapat setelahnya.

Sebuah lensa berhasil membidik ketiganya, Emily, Ethan dan juga Aiden yang masih berdiri di depan bangunan rumah keluarga Watson. Ketiganya tidak menyadari kenyataan jika ada sosok dibalik pepohonan nan rindang di perbukitan yang mengelilingi kawasan perumahan, sosok yang mengamati ketiganya. “Kau selalu cantik, Em,” desis pria dari kejauhan, di antara pepohonan yang lebat.

Hari telah beranjak sore dan langit telah berubah jingga.

“Sebaiknya kita pergi sekarang. Apa masih ada tempat yang ingin kau datangi, Em?” tanya Ethan sambil membuka pintu mobil untuk Emily. Keduanya bertemu pandang dan Emily menggelengkan kepala pelan sebelum masuk ke dalam mobil.

“Ethan.” Aiden memanggil dengan suara lantang, membuat Ethan menoleh. “Sebaiknya kita mencari tempat untuk berbicara,” tukas Aiden yang dibalas Ethan dengan anggukan sebelum keduanya masuk ke dalam mobil masing-masing.

Mobil keduanya beriring-iringan, perlahan meninggalkan pelataran rumah keluarga Watson. Ethan telah berada di balik kemudi sementara Emily masih menatap ke arah bangunan di sampingnya. “Kau baik-baik saja?” Pertanyaan Ethan yang membuat Emily menoleh sebentar sambil menjawab, “Ya, aku baik-baik saja.” Emily kembali melayangkan pandangan mata hijaunya keluar jendela mobil yang perlahan telah melaju hingga sebersit bayangan melintasi pelupuk matanya, dan tanpa Emily menyadarinya, ia menoleh hingga membuat tubuhnya berputar. Rasa penasaran yang terasa mengusik dan menggelitik dalam diri Emily.

“Kau melihat sesuatu?” tanya Ethan membuat Emily mengerjap kaget dengan terkejut dan kembali duduk seperti semula. Emily melirik Ethan yang memperhatikannya. “Hmm.. Entahlah,” Emily menyaut dengan suara ragu. Ia memperbaiki posisi duduknya disusul dengan menghela napas dengan begitu dalam sambil memamerkan segaris senyum kehadapan Ethan.

“Katakan padaku jika kau merasakan sesuatu yang tidak aku ketahui,” ujar Ethan.

“Tidak, mungkin hanya bayangan.”

Ethan masih menatap ke jalanan di depannya dan Emily mencoba untuk meraih kembali kendali dirinya. Emily meletakkan telapak tangannya di atas paha Ethan sampai Ethan meraihnya dan menggenggamnya dengan erat.

Mobil yang dikemudikan Ethan berhenti di depan sebuah kafe terdekat yang berada di jalur searah menuju Malibu. Ethan mengekor di belakang mobil Aiden yang melaju di depannya. Jalur yang ramai dilewati mobil-mobil. Orang berlalu-lalang melintasi pertokoan dan kafe yang berjejer rapi. Emily keluar dari dalam mobil tanpa menunggu Ethan membukakan pintu untuknya.

“Aku tak yakin istriku baik-baik saja,” seloroh Ethan saat menatap langsung wajah Emily yang tampak pucat. Ethan berjalan memutari mobilnya untuk berdiri di samping Emily.

“Kau berubah menjadi seorang suami yang posesif, Ethan Davis,” balas Emily disusul dengan usaha dirinya untuk tersenyum di hadapan Ethan sebelum melayangkan pandangan matanya ke segala penjuru. Emily merasa tidak banyak yang berubah seperti beberapa tahun yang lalu saat dirinya masih menjadi penduduk di kota ini.

“Ayo, kita masuk,” ajak Aiden dengan antusias dari arah mobilnya membuat Ethan dan Emily menoleh untuk menatapnya. Emily menelan ludahnya dengan susah payah sambil menatap kafe yang ada di hadapannya hingga tidak menyadari Ethan yang menatapnya dengan kening berkerut.

“Kau sedang mengenang masa lalumu?” bisik Ethan saat mendapati Emily yang belum bergerak. Emily melirik sementara Ethan tersenyum.

“Ethan, aku…,” Kalimat Emily menggantung sampai manik matanya mendapati Aiden yang telah masuk ke dalam kafe. Suara gemericik lonceng yang terpasang di atas pintu kafe terdengar sampai ke telinga keduanya.

“Apakah ini tempat kalian, maksudku kau dan Aiden menghabiskan waktu?” tanya Ethan dengan suara yang terdengar curiga dan menyelidik. Emily menggigit bibir bawahnya lalu menatap Ethan dengan tatapan ragu. “Tenanglah, Em. Kau sudah menjadi milikku. Aku tidak peduli dengan kisahmu dan Aiden,” tukas Ethan dengan penekanan pada akhir kalimatnya lalu meraih pinggang ramping Emily untuk mendekatkan tubuh mereka berdua.

Keduanya saling menatap satu sama lain. Ethan meletakkan telapak tangannya di tungkak leher Emily hingga membuat Emily merasakan sikap tegas Ethan akan kepemilikan dirinya. “Aku mencintaimu, beserta dengan masa lalu dan apa pun masa depan kita nanti,” imbuh Ethan sambil menyingkirkan sejumput rambut yang jatuh di kening Emily ke balik telinga. Ethan mengulurkan telapak tangannya yang lain kehadapan Emily. Keduanya masih bertatapan sampai Emily meraih telapak tangan lebar Ethan untuk ia genggam lalu melangkah bersama.

Pandangan mata Aiden tertuju sepenuhnya pada sosok Emily dan Ethan yang masih berdiri di tepi jalan sambil saling menatap dengan tatapan yang penuh cinta. Aiden merasakan letupan dalam jiwanya. Ia telah kalah dalam usahanya mempertahankan Emily. Perasaan cinta Aiden akan sosok Emily seakan tercipta untuk selamanya.

“Aku benar-benar masih mencintainya, Tuhan,” desis Aiden seorang diri sambil tersenyum saat mendapati Emily dan Ethan yang muncul dari pintu dan berjalan menghampiri meja tempatnya berada. Emily yang tampak anggun meski mengenakan jins dan t-shirt yang dibalut dengan jaket denim, rambut yang dibiarkan tergerai, membuat penampilanya tidak berubah bagi Aiden. Ia selalu menyukai sisi diri Emily yang tidak sepenuhnya feminin.

“Maafkan kami membuatmu menunggu,” ujar Ethan.

Keduanya duduk mengelilingi meja bundar yang sudah ada Aiden menunggu. Sebuah papan menu kecil yang berdiri tegak di tengah meja bersisian dengan vas bunga. “Kalian ingin pesan apa?” tanya Aiden memulai dengan tatapan mata tertuju pada Emily. Aiden tidak dapat menyingkirkan kebiasannya.

Emily merasakan kecanggungan atas sikap Aiden, membuatnya tidak nyaman di hadapan Ethan. “Aku---”

“Kau ingin aku pesankan taco kesukaanmu?” selak Aiden sebelum Emily menyelesaikan kalimatnya. Ethan hanya menatap Emily dan Aiden bergantian. Rahang Ethan mengatup rapat sampai Emily perlu meraih telapak tangan Ethan.

“Bagaimana kalau aku saja Aiden yang memesankan untukmu dan Ethan,” ujar Emily mencairkan suasana. Meski kenyataannya usaha Emily tak sepenuhnya berhasil. Ethan membuang tatapannya keluar jendela. “Tidak perlu, aku yang akan pesankan untuk kalian,” ucap Aiden sambil beranjak dari kursinya, meninggakan pasangan Davis.

“Hey suamiku, kau kenapa? Kau cemburu?” tanya Emily sambil mencolek hidung mancung Ethan. Pria tampan itu tidak bergeming, hingga Emily harus mendekatkan kepalanya ke kepala Ethan lalu berbisik dengan suara lembut. “You’re the winner of my heart, not him or another man. I love you, Babe.” Emily meraih dagu Ethan untuk mendaratkan kecupan pada bibirnya. Ethan tidak mensia-siakan kesempatannya. Ia meraih ciuman yang diberikan Emily, mengecap dan memperdalam ciuman sambil menarik tubuh Emily sedekat mungkin dengan tubuhnya, membuat Emily mengerang.

Aiden menyebutkan beberapa menu yang mungkin mereka makan ingin makan sebelum tatapan matanya kembali ke arah meja yang ia tinggalkan beberapa menit sebelumnya. Menyaksikan bagaimana Ethan mencium Emily dengan begitu rakus, hingga mengabaikan pertanyaan sang pelayan yang ada di balik meja counter. “Apa masih ada yang ingin Anda pesjan, Sir?”

Aiden bergeming dengan pikiran dan perasaan yang bercampur aduk. Emily berada dalam pelukan Ethan, menerima dan membalas ciuman yang diberikan sahabatnya itu.

“Sir.” Suara pelayan yang kembali terdengar disusul dengan ketukan dua kali di atas meja hingga membuat Aiden mengerjap kaget dan menoleh kembali. “Apa ada lagi yang ingin Anda pesan?” Wanita pelayan itu tersenyum masam sementara Aiden tampak datar.

“Ya itu saja.” Aiden mengelurkan beberapa lembar uang lalu menyodorkannya ke hadapan wanita itu. “Ambil saja sisanya,” ucap Aiden dan beranjak pergi setelahnya. Berjalan dengan tegap ke arah meja dengan raut wajah yang kaku.

Aiden mendehem sebelum ia menarik kursinya kembali, membuat Emily melepaskan ciuman Ethan dan kembali duduk di kursinya dengan benar. Aiden telah duduk tepat di seberang keduanya disusul dengan tatapan Emily yang bertemu pandang dengannya. Seketika perasaan Aiden terasa diremas dan ingin meraih Emily. “Aiden, boleh aku bertanya padamu?” Pertanya Emily yang membuat Aiden menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman segaris.

“Kau tahu kemana ibuku, maksudku Ny. Watson berada saat ini, Aiden?” tanya Emily yang terdengar penasaran, percakapan yang dimulai dengan pertanyaan yang mengejutkan.

Aiden menarik napas, mengisi paru-parunya dengan banyak oksigen. Ia melipat kedua lengannya di atas meja. “Tidak ada yang tahu,” jawab Aiden pendek.

Emily terdiam dan masih menatap Aiden sebentar. Bayangan wajah Mercy Watson yang Emily kira sebagai ibu kandungnya. “Kau memikirkan wanita itu?” tanya Ethan yang membuat emily menatapnya dengan spontan disusul dengan hembusan napas yang keras. Ethan merraih bahu Emily, mengusap sebanyak dua kali.

“Ya, aku…” Jeda sebentar, “…biar bagaimana pun, dia pernah menjadi ibuku, ED,” sambung Emily dengan ekspresi sedih.

Pelayan datang dengan nampan berisi semua pesanan yang dipesan Aiden beberapa menit lalu. Gadis muda yang berbeda dengan yang ada di balik counter. Ia meletakan semua pesanan dengan hati-hati di atas meja sebelum beranjak pergi dengan cepat secepat ia datang.

Ketiganya terdiam sebelum meraih makanan dan minuman yang Emily yakin Ethan akan menyukainya. “Kau akan suka ini,” ucap Emily menyodorkan makanan di atas piring, kemudian secangkir kopi hitam yang belum diberi gula. Kedua menu yang Emily letakkan di hadapan Ethan.

Aiden telah memesan taco sebanyak 4 buah. Emily meraih salah satunyan namun dengan cepat Aiden meletakkan sebuah lagi. “Tidak, aku satu saja,” tolak Emily dengan canggung di bawah tatapan mata Ethan yang curiga yang mengurungkan niatnya untuk menyeruput kopi dalam cangkir yang telah berada di tangannya. Pandangan mata Ethan bukan tertuju pada Emily, istrinya, melainkan pada Aiden Mathis sahabatnya yang menatap Emily dengan tatapan yang tidak biasa.

“Apa yang akan kau lakukan jika bertemu dengan Mercy Watson, Em?” tanya Ethan yang membuat Emily menoleh padanya, sementara Ethan melanjutkan menyeruput kopi miliknya dan Aiden kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi di belakangnya.

“Aku tidak tahu apa yang aku lakukan, ED,” jawab Emily.

“Hasil penyelidikan menyatakan jasad yang ditemukan adalah milik Cruz, Em. Mrs.. Watson tidak diketahui keberadaannya, dan---”

“Sungguh tidak diketahui atau--” sela Ethan yang kemudian di sela kembali oleh Aiden, “Aku masih menyelidikinya.” Keduanya bertatapan lurus setelahnya dan terasa atmosfer berubah panas setelahnya. Emily menatap kedua pria di hadapannya dengan bergantian. Jelas aroma persaingan di antara keduanya hingga Emily merasa canggung.

Emily meraih cangkir lattenya, lalu menyeruputnya sedikit.

“Aku harap kau dapat memberikan hasilnya pada kami secepatnya, Aiden,” ujar Emily setelah ia meletakkan cangkirnya.

“Aku akan memberikannya pada kalian,” imbuh Aiden dengan penekanan di akhir kalimat. Wajah Aiden merubah masam.

“Ayahmu memintaku untuk menyelidiki pembunuhan Benedict,” ujar Ethan.

Emily terperanjat, menatap Ethan dengan terkejut. Ethan kembali menyesap kopi di dalam cangkirnya. “Kapan kalian membicarakan hal itu?” tanya Emily penasaran sambil menggeser posisi duduknya, menatap Ethan sepenuhnya.

Ethan meraih telapak tangan Emily di atas meja. “Tadi pagi, saat kau masih tidur,” jawab Ethan sambil mengguratkan ujung ibu jarinya ke atas permukaan kulit punggung telapak tangan Emily.

Emily termangu, masih menatap Ethan yang menikmati ujung jarinya menyentuh kulit Emily dengan gerakan lembut dan berulang, sementara Aiden menyaksikan semuanya dengan perasaan geram dan cemburu yang coba ia sembunyikan, meski nyata hingga membuatnya menelan ludah dnegan susah payah.

“Kau akan memulai penyelidikannya?” selidik Aiden yang membuat Emily dan Ethan menoleh ke arahnya.

“Ya Mathis, secepatnya.” Ethan menyaut pendek dengan tatapan yang dingin tertuju pada Aiden. Tampak rahang Ethan yang mengeras. “Kita akan mampir ke Jerman dulu, Sayang, sebelum kita kembali ke Paris lalu pulang ke London.”

Ethan memutar kepalanya untuk mendapati wajah Emily yang tertuju padanya. Emily sedang menatap Ethan dengan kening yang berkerut, Emily masih tampak terkejut. “Ayahmu yang memberiku tugas,” tambah Ethan seraya meraih jemari Emily dan membawanya ke bibir untuk ia cium dengan lembut.

Perasaan rindu Emily akan kota London tiba-ytiba menyeruak. Emily sudah ingin kembali ke London, dan kini ayahnya malah memberi tugas pada Ethan. Emily menghembuskan napas dengan kasar sambil menarik tangannya yang di dalam genggaman Ethan lalu meraih gelas lattenya kembali.

“Ellard tidak mengatakan---”

“Ia memintaku karena---”

“Ya aku mengerti,” timpal Aiden dengan mata yang berubah keruh.

Emily kembali terkejut dengan cara Ethan dan Aiden berkomunikasi di hadapannya. Kedua pria itu saling menatap lurus.

“Aku rasa kerena perjalanan kami mendekat ke Jerman, Aiden,” kata Emily dengan lugas, ia berusaha mencari alasan yang tepat untuk Aiden. Emily ingin memberikan kesan yang nyaman untuk keduanya. Emily menatap Ethan dan Aiden secara bergantian sambil mencoba untuk tersenyum meski usahanya terasa gagal.

Sisa perbincangan selalu diwarnai dengan saling sela menyela di antara keduanya, hingga Emily merasakan lelah. Emily berpikir jika ia akan baik-baik saja berada di tengah keduanya, namun rasanya pemikiran itu tidak terjadi. Emily sadar sepenuhnya jika dirinya adalah penyebab situasi saat ini. Emily juga berpikir keduanya sudah berteman seperti sebelum kehadirannya, nyatanya tidak. Bahkan dalam percakapan Emily dengan Aiden sebelum upacara pemberkatan pernikahan dirinya dengan Ethan, Aiden tampak menerima pilihan Emily meski kini jelas terlihat jika masih ada api yang belum padam sepenuhnya di antara keduanya.

Emily merasa lelah dengan percakapan mereka dan dengan spontan tarikan napasnya terdengar kasar, membuat Ethan dan Aiden meliriknya. “Sindikat narkoba itu tersebar di beberapa titik, aku belum bisa memberikannya padamu, ED.”

“Aku yakin, mereka yang telah melakukan pembunuhan terhadap Benedict.”

Tubuh Emily bergidik acap kali keduanya membahas kasus pembunuhan. Rasanya mual membayangkan jasad David Watson yang tewas tanpa kepala. Kopi dalam cangkir Emily tinggal setengah, taconya juga telah habis ia lahap.

“Lantas apa yang akan kau lakukan?”

Kalimat terakhir yang Emily dengar sebelum pandangan matanya mendapati sesosok pria yang membuat Emily penasaran. Sosok pria yang berada di sudut ruangan yang sedari tadi tanpa ia sadari terus mengamati ke arah mereka bertiga. Pikiran Emily berputar-putar dan ia telah melewatkan percakapan antara Ethan dan Aiden yang berada di dekatnya.

“Kita sudahi saja pembicaraan ini,” desis Emily dengan tiba-tiba.

Ethan dan Aiden menatapnya secara serempak, membuat Emily bingung sendiri.

“Ada apa?” tanya Ethan.

Emily melapaskan tatapannya dari sosok di sudut ruangan untuk menatap kembali kedua pria di dekatnya sambil tersenyum, senyum yang terasa aneh.

“Aku rasa---” Emily menghentikan perkataannya saat pandangannya kembali ke arah meja yang ternyata sudah kosong.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel