Pustaka
Bahasa Indonesia

Dosen Hidung Belang

83.0K · Tamat
Romansa Universe
80
Bab
25.0K
View
8.0
Rating

Ringkasan

Menjadi pria nyaris sempurna membuat Brandon Tung sebagai seorang dosen, sering memanfaatkan kelebihan dan posisinya meniduri mahasiswi. Dia dikenal sebagai Dosen Hidung Belang, hingga seorang mahasiswi hamil dan mengaku dihamili Brandon, padahal Brandon tidak ingat sama sekali kejadian tersebut.

RomansaMetropolitanDosenOne-night StandKampus

Bab 1 Pagi Menggoda

Bab 1 Pagi Menggoda

Dekapan lembut di panggulnya seketika membuat Brandon terjaga. Walau kepalanya masih terasa berat, ia coba menyingkirkan lengan Zela dari tubuhnya.

Brandon terdiam, tatapannya lurus ke arah langit-langit kamar. Tentu saja ini bukan di kamarnya. Entahlah, bila ditanya, ia tidak tahu pasti sudah berapa kali keluar masuk hotel atau kost-kostan putri.

Seingatnya, semalam ia pergi bersama beberapa mahasiswa dan mahasiswi untuk merayakan salah satu kesuksesan mahasiswanya yang telah melewati sidang skripsi dan berakhir dengan cara manis seperti ini.

Sekali lagi ia melirik tubuh sintal Zela, mahasiswi cantik yang akhirnya bisa ditaklukkan.

Brandon tersenyum puas karena sekali lagi berhasil memetik bunga yang selama ini terjaga dengan baik.

Baik, terima kasih untuk malam yang indah, batin Brandon.

Sial, gerakannya yang tiba-tiba menurunkan tangan Zela dari perutnya ternyata membangunkan wanita itu. Zela menarik selimut lalu bangkit. “Sudah bangun, Mas?” tanyanya.

Brandon tertawa pelan. Sejak kapan panggilan Zela padanya berubah. Dari 'Bapak' menjadi 'Mas'. Brandon hampir hilang keseimbangan kala Zela kembali mengalungkan tangannya di lehernya.

Terkadang, ia merasa beruntung karena dikaruniai wajah tampan yang didukung oleh postur tubuh ideal juga kemapanan karier termasuk silsilah keluarga yang mumpuni.

Bibir Zela mengerucut, tidak suka dengan tingkah Brandon yang memang berniat meninggalkannya. “Mau ke mana? Ini masih pagi, loh,” godanya sembari menyusuri garis indah yang membentuk wajah sempurna Brandon.

Sekali lagi Brandon ingin tertawa, walaupun mereka melakukan itu dalam keadaan mabuk, tetapi ia ingat betul, beberapa kali Zela sempat menolak sentuhannya.

Namun, Brandon tahu bagaimana menyentuh seorang wanita. Bagaimana harus berhenti, memecut tenaga, memimpin atau membiarkan wanita itu yang memimpin permainan. Sentuhannya tidak mungkin ditolak oleh wanita.

Brandon kembali mendorong tubuh Zela, menyingkirkan selimut yang menutupi kemolekan mahasiswinya. Ia berpikir untuk mengulangi sekali lagi apa yang semalam terjadi di antara mereka.

Kali ini kenikmatannya pasti berbeda. Ya, kesadaran mereka sudah sepenuhnya kembali.

Baru saja Brandon menyentuh leher Zela hingga wanita itu terpejam sembari mengigit bibir, tetapi sialan. Ponselnya berdering. Brandon coba untuk acuh, tetapi orang yang menghubungi Brandon rupanya tak kunjung menyerah.

Zela menyilangkan tangan di dadanya lalu melirik ke arah celana Brandon yang teronggok di lantai.

“Sebentar, ya, Sayang,” bisik Brandon kemudian mengecup bibir Zela.

Wanita itu sempat kecewa karena kehangatan itu sirna begitu cepat. Kali ini ia yakin, bisa menaklukan Brandon, sang dosen tertampan di kampus.

Brandon beringsut mencari ponselnya dari saku celana. Dahinya mengernyit kala menatap panggilan dari rekan kerja sekaligus sahabatnya, Adam.

“Kenapa Dam?” tanyanya setengah marah.

“Kenapa katamu?” jerit Adam yang memaksa Brandon menjauhkan ponsel dari telinganya. “Gila! Jam berapa ini? Hari ini ada sidang skripsi jam tujuh nanti!” Brandon terdiam kemudian matanya bergerak menatap jam dinding.

“Setengah tujuh?” lirih Brandon.

“Lewat lima! Setengah tujuh lewat lima! Kamu ada di mana? Cepat ke kampus! Aku tidak mau berurusan sama Dekan gara-gara ulah kamu, ya?” desis Adam yang kemudian memutus panggilan telepon.

“Sial,” gumam Brandon.

“Kenapa? Apa ada sesuatu?” tanya Zela yang khawatir karena Brandon sepertinya akan mengakhiri permainan mereka.

“Aku harus pergi sekarang,” jawab Brandon yang kemudian memungut pakaiannya dari lantai dan tanpa risi cepat-cepat mengenakannya.

Melihat Brandon yang akan memutar palka pintu, Zela dengan cepat menjegal tangannya. “Tunggu, Mas tidak bisa main keluar gitu aja. Aku bisa diusir kalau ketahuan—“

“Ya terus aku harus gimana?” tanya Brandon kesal.

Zela terdiam sebentar, matanya mengerjap beberapa kali berusaha mencari ide.

***

“Kamu serius aku keluar kaya gini?” tanya Brandon sembari menatap dirinya di cermin, mengenakan dress panjang juga penutup kepala.

Zella terkekeh. “Ya mau gimana lagi, Mas,”

Brandon kembali melirik arloji. Waktunya hanya tersisa dua puluh menit lagi. “Baik-baik. Ayo, cepat!” titahnya.

Zela membuka pintu, kepalanya menengok ke kiri dan kanan lalu kembali menatap Brandon. “Aman, ayo,”

Brandon menelan kekhawatirannya. Kalau sampai kepergok, reputasinya sebagai dosen bisa hancur.

Ambang pintu sudah di depan mata. Sedikit lagi, Brandon bisa keluar dari kost putri. Seharusnya semalam ia mengajak Zela ke hotel saja. Merepotkan.

“Zela!”

Langkah mereka terhenti. Zela cepat-cepat berbalik, sedangkan Brandon mematung.

“Kenapa Lia?” tanya Zela.

Gadis berpipi tembam itu menghampiri Zela. “Hari ini kamu ada kelas?” tanyanya.

Zela menggaruk ujung hidungnya. “Ada jam sebelas nanti kelasnya Pak Brandon,” jawabnya.

“Aku titip absen ya? Hari ini aku enggak bisa ke kampus, oke? Kamu, 'kan lagi dekat sama 'Pak Brandon, jadi bisa tolongin aku, 'kan?”

Hampir saja Brandon melepaskan syal yang menutupi sebagian wajah dan kepalanya.

“Eh, siapa tuh, Zel?” tanya Lia lagi.

Zela panik. “Ah, itu, itu, Bibi aku, kemarin mampir, ini baru mau pulang, ayo, Bi,” ajak Zela menarik tangan Brandon dari sana.

Setelah masuk ke dalam mobil, Brandon melepaskan syalnya. “Terima kasih, ya? Sampai ketemu di kampus,” ucap Brandon yang kemudian memacu kendaraannya.

Jarak dari kost-kostan Zela ke kampus hanya seratus meter. Seharusnya Brandon tidak akan terlambat, tetapi masa iya, Brandon harus mengikuti presentasi dengan tubuh kotor, lengket seperti ini?

Setibanya di kampus, Brandon memarkirkan mobilnya agak jauh di dalam pelataran parkir. Ia berpindah ke jok belakang, untung saja ia selalu menyiapkan pakaian cadangan termasuk minyak wangi.

Peduli setan dengan tubuhnya yang baru keringat. Setelah ia berganti pakaian juga menyemprotkan wewangian, tidak ada yang akan mengira kalau Brandon ke kampus tanpa mandi terlebih dahulu.

Tergopoh-gopoh Brandon setengah berlari menuju gedung A di bagian selatan gedung utama. Sedari tadi ponselnya tidak berhenti berdering.

Brandon memilih acuh. Menerima panggilan dari Adam hanya akan membuatnya sakit kepala.

“Pak! Pak Brandon!” panggil Adam yang sudah sedari tadi mondar-mandir di depan ruang Cakrawala Tiga.

“Maaf, aku terlambat. Sudah mulai? Kenapa Bapak ada di luar?” tanya Brandon.

“Kok malah tanya. Aku tunggu Bapak, Ayo,” ajak Adam yang menarik tangan Brandon.

Adam benar, semua pandangan langsung tertuju padanya. Sekali lagi Brandon melirik arlojinya. Ia tidak terlambat, sungguh, seharusnya mereka tidak menatap nyalang dirinya.

Presentasi sidang skripsi di mulai. Brandon membaca dengan teliti setiap kalimat yang tercetak di skripsi tersebut.

Brandon bisa tetap profesional, beruntung saja Tuhan menganugerahkan otak encer hingga ia menjadi salah satu kebanggaan kampus.

Awalnya semua baik-baik saja. Brandon dan dosen lain termasuk Dekan memberikan pertanyaan pada mahasiswa tersebut.

Hingga ... pintu ruangan tiba-tiba saja terbuka lebar. Seorang gadis berambut ikal sebahu yang dibiarkan tergerai masuk ke dalam ruangan dan langsung menunjuk-nunjuk Brandon.

Semua dosen termasuk Dekan fakultas ekonomi seketika bangkit saat gadis menangis tersedu-sedu dan yang lebih mengejutkan, tiba-tiba ia berlari menghampiri Brandon.

“Kamu harus bertanggung jawab! Aku hamil! AKU HAMIL!!” jeritnya.

***

Brandon menatap mahasiswi yang mengaku berna Mia Hanafiah. Ia tidak ingat dengan wanita itu. Hamil? Rasanya itu hampir mustahil.

“Jadi, ada yang bisa menjelaskan?” tanya Dedi sekalu Dekan Fakultas Ekonomi.

Brandon menggaruk ujung dagunya. “Saya tidak mengenal saudari Mia,” ujarnya enteng.

“Bohong!!” jerit Mia.

Dedi memijat pelipisnya. Kejadian ini adalah yang pertama kali terjadi di kampus. Ia tidak mungkin membiarkan gosip ini menyebar.

“Tenang dulu, kamu ini semester berapa? Bagaimana kejadiannya?” tanya Dedi berusaha menenangkan.

Brandon menarik napas panjang. “Saya sudah menjelaskan sama Bapak. Kalau saya tidak mengenal saudari Mia, bahkan kami baru saja bertemu. Saya tidak yakin kalau dia mahasiswi saya,” elaknya.

Mia mengigit bibir dalamnya. Debaran jantungnya semakin tak terkendali. Bisa-bisanya Brandon berkilah seperti itu.

“Aku punya buktinya! Aku punya bukti kalau kami pernah berhubungan!” jerit Mia.

Brandon terdiam, ia masih berusaha menenangkan diri sendiri. Selama ini ia bermain dengan sangat mulus, bahkan tak mengizinkan patner bercintanya mengambil gambar. Mana mungkin Mia punya bukti.

Namun, bila terang-terangan ia menyangkal, pasti Dedi akan curiga. Lebih baik ia menantang balik Mia.

“Mana? Coba buktikan!” tantangnya.

Mata Mia membulat, tangannya lebih erat meremas celana. Dosen itu memang bajingan!