Pustaka
Bahasa Indonesia

Dosa Masa Lalu

41.0K · Tamat
Ryanti
38
Bab
111
View
9.0
Rating

Ringkasan

Sebuah kesalahan besar pernah dilakukan oleh Bidan Dian, bersekutu dengan iblis. Semua itu dia lakukan hanya demi mendapatkan cinta dokter Hilan. Mampukah cinta mereka bertahan?

SupernaturalMengandung Diluar NikahCinta Pada Pandangan PertamaDokterPengkhianatanThrillerRomansaSuspenseKeluargaMenyedihkan

Acara Serah Terima Jabatan

Dosa Masa Lalu

Part 1

***

Suasana di Puskesmas Induk Pandan Wangi hari itu sangat ramai. Semua staf puskesmas berkumpul, baik yang dinas di Puskesmas Induk maupun yang tugas di Pustu (Puskesmas Pembantu), juga seluruh bidan desa yang ada di wilayah kerja Puskesmas Pandan Wangi.

Hari itu sedang berlangsung acara serah terima jabatan, dari dokter Ary selaku pimpinan Puskesmas Pandan Wangi yang lama, kepada dokter Hilan sebagai pimpinan Puskesmas Pandan Wangi yang baru.

Dokter Ary akan melanjutkan pendidikan S2, beliau akan mengambil spesialis penyakit dalam (internist specialist) di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sejak pukul delapan pagi acara sudah dimulai dan kami semua staf Puskesmas Pandan Wangi sudah berkumpul setengah jam sebelumnya. Acara demi acara berlangsung dengan tertib. Hingga sampai kepada kata sambutan dari dokter Hilan sebagai pimpinan Puskesmas Pandan Wangi yang baru.

"Ganteng banget dokternya," kata Sri berbisik. Disambut setuju oleh beberapa teman yang lain. Mereka duduk di sebelahku, otomatis aku bisa mendengar apa yang sedang mereka bicarakan meskipun dengan berbisik.

"Betah jadi pasien-nya kalau dokternya ganteng kayak gitu," balas Eli, juga dengan berbisik.

Disambut dengan cekikikan yang lain. Mereka adalah para bidan desa PTT (Pegawai Tidak Tetap) yang semuanya masih gadis.

"Sstt … jangan ngobrol sendiri, dengerin tuh apa yang sedang dikatakan dokter Hilan," kataku, sembari menempelkan jari telunjuk di mulut dan memandang para bidan PTT itu.

"Ihh … Mbak Dian sirik aja, nggak boleh lihat orang seneng," kata Eli, masih dengan cekikikan. Dia sepertinya sama sekali tak menghiraukan ucapanku.

"Iya nih Mbak Dian, memangnya nggak suka apa, kalau punya kepala puskesmas ganteng begitu," kata Bibah, disambut anggukan temannya yang lain, tanda setuju dengan ucapan Bibah..

Dia yang tadinya hanya menjadi pendengar komentar teman-temannya, jadi ikut-ikutan bicara. Aku diam saja, hanya bisa menggelengkan kepala, tak menanggapi ocehan mereka. Memang kadang menyebalkan para bidan desa itu. Aku kembali menyimak kata sambutan dari dokter Hilan.

"Saya selaku pimpinan Puskesmas Pandan Wangi yang baru, sangat mengharapkan kerjasamanya dari Bapak dan Ibu sekalian. Agar Puskesmas Pandan Wangi bisa menjadi lebih baik lagi ke depannya dan mampu melaksanakan semua program puskesmas. Terutama dalam menurunkan AKI (Angka Kematian Ibu) dan AKB (Angka Kematian Bayi). Mana bidan koordinator KIA-nya, silakan maju, saya ingin tahu," kata dokter Hilan tiba-tiba.

Aku bergeming beberapa saat, tak menyangka akan dipanggil oleh dokter Hilan.

"Mbak Dian, dipanggil tuh sama dokter Hilan," kata Sri, seraya mencolek tanganku. Dia tersenyum menggodaku.

"Silakan maju bidan koordinator KIA," panggil dokter Hilan sekali lagi, sembari pandangannya mengitari ke seluruh staf puskesmas, mungkin beliau sedang mencari sosok bidan koordinator KIA.

"Mbak Dian cepat maju, itu dipanggil dokter Hilan," kata Eli seraya menepuk tanganku. Dia pun tersenyum yang tak bisa kuartikan.

Aku lalu beranjak dari tempat duduk dan berjalan menuju ke depan, dimana dokter Hilan sedang duduk bersama dengan dokter Ary.

"Saya bidan koordinator KIA, Dok. Nama saya Nirma Dian Arini," kataku, setelah berada di depan dokter Hilan.

"Wah … ternyata Bu Bidan koordinator KIA-nya cantik," kata dokter Hilan, disambut dengan tawa riuh staf Puskesmas Pandan Wangi. Membuatku tersipu malu.

"Nama yang bagus. Jadi saya harus panggil siapa?" tanya dokter Hilan lagi, seraya memandangku, membuat aku jadi salah tingkah.

"Saya biasa dipanggil dengan nama Dian saja, Dok," jawabku.

Dokter Hilan manggut-manggut. Beliau lalu menanyakan tentang cakupan program KIA Puskesmas Pandan Wangi, yang meliputi K1 (kunjungan pertama ibu hamil), K4 (kunjungan ibu hamil keempat kalinya pada saat trimester ketiga), ibu menyusui, kunjungan bayi juga balita, dan lain sebagainya, yang menjadi program KIA. Untungnya aku hafal di luar kepala semua cakupan tersebut, sebab setiap saat selalu ditanyakan oleh Ibu Kasi Kesga (Kepala Seksi Kesehatan Keluarga) Dinas Kesehatan Kabupaten. Jadi tidak bingung ketika dimintai data cakupan tersebut.

Semua staf pemegang program di Puskesmas Pandan Wangi kemudian ditanya satu demi satu oleh dokter Hilan, berkaitan dengan masing-masing program yang mereka pegang. Dan mereka pun bisa menjelaskan dengan gamblang, karena kami memang sudah terbiasa berdiskusi setiap bulan menjelang pengumpulan laporan yang akan dibawa ke Dinas Kesehatan Kabupaten.

Sekitar pukul dua belas siang acara serah terima jabatan selesai. Dan kami pun diperbolehkan pulang.

"Mbak Dian, pulang naik apa?" tanya dokter Hilan yang tiba-tiba sudah berada di depan pintu ruang KIA.

"Nebeng yang bawa motor, Dok," jawabku, sambil merapikan beberapa buku register.

"Ikut saya saja, naik mobil ambulans. Rumah Mbak Dian dekat dengan perumahan dokter kan?"

Aku tak segera menjawab. Merasa heran dalam hati. Dari mana dokter Hilan tahu kalau rumahku dekat dengan perumahan dokter.

"Kok malah ngelamun. Ayo ikut saya, biar langsung sampai rumah."

Aku mengangguk. "Iya, Dok."

Lalu, aku berjalan mengikuti dokter Hilan menuju tempat mobil ambulans terparkir.

Kulihat teman-teman sudah banyak yang pulang, hanya ada beberapa staf yang masih tinggal. Mungkin sedang menunggu jemputan atau akan salat zuhur dulu di puskesmas.

"Mbak Dian sudah berkeluarga?" tanya dokter Hilan, setelah beberapa saat mobil ambulans melaju meninggalkan halaman puskesmas.

"Belum, Dok."

"Umurnya sekarang berapa?" tanya dokter Hilan lagi.

Aku tak segera menjawab. Terus terang aku merasa risih hanya berdua di dalam mobil ambulans, meskipun dengan seorang pimpinan puskesmas, tempat dimana aku bekerja.

"Maaf, kalau pertanyaan saya tadi membuat Mbak Dian tersinggung. Saya bertanya seperti itu karena beberapa bidan koordinator KIA di puskesmas tempat saya bertugas sebelumnya adalah bidan senior. Saya heran saja, kok Mbak Dian bisa jadi koordinator KIA, padahal masih muda," jelas dokter Hilan.

Aku tersenyum mendengar perkataan dokter Hilan. Pimpinan puskesmas sebelumnya pun pernah bertanya seperti itu. Bahkan sampai ada yang mengira kalau aku punya kerabat dekat orang Dinas Kesehatan Kabupaten.

"Nggak apa, Dok. Umur saya 24 tahun," jawabku.

"Masih muda banget. Pasti karena Mbak Dian pinter ya, bisa jadi bidan koordinator."

Sepanjang perjalanan kami mengobrol sekadar basa basi. Obrolan kami hanya seputar perkenalan diri masing-masing.

Dokter Hilan sudah berkeluarga dan mempunyai seorang anak laki-laki. Beliau sebelumnya bertugas sebagai dokter PTT di daerah transmigrasi. Dua tahun beliau menjadi dokter teladan. Oleh karena itu beliau lantas diangkat menjadi PNS dan ditempatkan di Puskesmas Pandan Wangi.

"Besok pagi saya jemput lagi di sini ya. Jam tujuh tepat, biar nggak terlambat sampai puskesmas," kata dokter Hilan, begitu mobil ambulans yang kami naiki sampai di depan rumahku.

Aku hanya tersenyum. Gila aja kali, jam tujuh sudah berangkat, biasanya juga jam delapan. Lagian mau apa di puskesmas pagi-pagi, pasien juga belum pada datang, aku ngedumel dalam hati.

"Terima kasih, Dok. Sudah mengantarkan saya sampai rumah."

Aku segera turun dan berjalan menuju rumah. Sementara dokter Hilan pulang ke perumahan dokter, dimana beliau beserta istri dan anaknya tinggal.

***

Bersambung