Pergi Dari Rumahku
“Se–selingkuh? Apa sih, Mas? Aku nggak ngerti. Aku nggak pernah melakukan itu. Aku rasa ini ada kesalahan. Sungguh Mas, aku gak serendah itu dan melakukan hal yang kamu tuduhkan apalagi sampai bersama dengan laki-laki selain kamu, Mas. Sungguh … mas Yuda aku nggak melakukan itu,” seketika air mataku mengalir, aku nggak bisa terima. Bisa—bisa mas Yuda menuduhku seperti itu.
“Kamu buta ya, Amel? Nggak usah mengelak. Bukti sudah ada kok. Aku nggak suka dengan wanita yang nggak setia dan tukang selingkuh. Kamu kelihatan aja baik—baik dan polos, ternyata kalau keluar seperti wanita gila yang kekurangan belaian,” kata–kata Mas Yuda begitu kejam.
Aku bahkan nggak menyangka kalau Mas Yuda akan mengatakan hal seperti itu. Dia suamiku, tapi bahkan penjelasanku pun nggak didengarnya.
“Apa maksudnya, Mas? Aku nggak ngerti? Aku ngerasa nggak pernah ngelakuin itu Mas, tolong percaya aku, Mas,“ aku mencoba mendekat akan memegang tangannya, namun Mas Yuda menolak juga menepis tanganku.
Sakitnya hatiku. Mas Yuda, suamiku sendiri, bahkan nggak mau mendengarkan penjelasanku.
“Kamu ini benar-benar tukang selingkuh. Bersikap polos di hadapanku, tapi ini hasilnya. Apa ini semua rencanamu, kamu sengaja melakukan itu demi membuatku cemburu?” mata Mas Yuda melotot dan dia mendorong-dorong keningku dengan telunjuknya.
“Sungguh Mas, aku nggak mungkin melakukan itu. Aku nggak pernah melakukan itu, Mas.”
Mau berapa kalipun tuduhan itu, aku nggak akan mengakuinya. Aku nggak merasa salah. Ini bukan kesalahanku. Aku yakin pasti ada kesalahan yang terjadi.
“Sudahlah Mbak Amel, akui saja, buktinya itu sudah ada loh …,” seperti kompor meleduk, Rania melipir dan mendekap tubuh telanjang Mas Yuda-ku dari belakang. Rania bahkan nggak malu, tubuhnya masih telajang dan berani sekali dia terang-terangan memeluk suamiku tanpa sedikitpun merasa bersalah.
“Diam kamu, Rania, kamu nggak berhak ikut campur. Ini urusanku dengan Mas Yuda,” kataku, aku bukan wanita yang begitu saja menerima cacian, aku pasti akan melawannya. Apalagi menghadapi wanita yang sudah menggoda suamiku.
“Sebaiknya kamu pergi, Rania” suaraku tak bisa disembunyikan, bergetar tak karuan. Bagaimanapun kuatnya aku, tetap saja perilaku mereka membuat aku gila dan nggak percaya.
Aku berusaha menarik tangannya dari tubuh suamiku. Ingin sekali aku menampar dan menjambak rambutnya, namun aku belum punya cukup keberanian, tubuh dan jiwaku masih terguncang dengan kejadian ini.
Aku dikejutkan lagi, Mas Yuda malah menampar dan mendorongku ku lagi.
“Mas!” pekiku, benar-benar sudah nggak kuat menahan perilaku suamiku yang tiba-tiba berubah.
“Jangan sentuh Rania, dia ini lebih baik dari kamu. Setidaknya dia wanita normal, wanita yang bisa memberikan aku keturunan. Sedangkan dirimu? Apa yang bisa kamu berikan padaku? Dasar wanita mandul!” Mas Yuda mengatakan hal yang membuatku bingung lagi. Dia bilang seperti itu, aku sendiri saja nggak tahu apa-apa.
“Sebaiknya kamu yang pergi dan satu hal lagi aku tegaskan, aku menyesal pernah menikah dengan wanita seperti kamu. Aku akan mengurus perceraian kita dan malam ini juga kamu pergi dari rumahku. Aku menceraikanmu dan aku nggak mau lagi melihatmu di sini,” sekali lagi aku merasa tertampar, sebenarnya Mas Yuda sedang mengatakan apa? Aku sama sekali nggak ngerti.
“Ma—maksud kamu, apa Mas? Aku nggak seperti itu, Mas? Bagaimana bisa kamu mengatakan hal seperti itu, Mas?” Aku mungkin saja buta karena terlalu dibutakan cinta Mas Yuda.
Aku tahu, Mas Yuda bukan laki-laki seperti ini. Dia nggak mungkin menuduhku tanpa bukti, namun aku tetap merasa bukti yang Mas Yuda tuduhkan adalah mengada-ada. Semua nggak benar.
“Sudahlah Amel, aku malas berdebat dengan wanita tukang selingkuh dan mandul seperti kamu,” sekali lagi Mas Yuda berteriak, dia bahkan nggak ragu dan tanpa perasaan saat mengatakan itu padaku.
Aku masih bersikeras, aku yakin Mas Yuda hanya sedang nggak berpikir jernih karena diracuni oleh Rania. Mas Yuda nggak mungkin menuduh sembarangan, selama ini meski kami nggak pernah ribut, Mas Yuda nggak pernah sekalipun bersikap kasar seperti malam ini.
“Ini Amel, baca itu lalu kamu pergi. Jangan pernah muncul lagi dihadapanku,” kata Mas Yuda lagi, dia mendorong tubuhku lagi dan melemparkan berkas yang berisi surat pemberitahuan.
“Apa ini, Mas?” Aku memungut yang dilempar Mas Yuda, kali ini pun tepat jatuh di dekat kakiku.
“Baca saja sendiri, kamu nggak buta huruf kan? Aku malas menjelaskan panjang lebar. Intinya, aku ingin menceraikan kamu malam ini juga. Aku mau kamu pergi dari rumah ku detik ini juga. Keluar dari rumahku, pengacara besok akan segera melegalkan perceraian kita setelah kamu tanda tangan!” kata Mas Yuda lagi masih melontarkan kata kasar padaku.
Aku benar-benar nggak mengerti dengan apa yang dikatakan Mas Yuda. Kenapa mas Yuda memaki dengan kasar. Apa sebenarnya ini?
Aku membuka berkas tersebut dan membaca apa yang tertera dalam surat tersebut. Tubuhku menggigil kembali, bukan karena bajuku yang basah dan mulai kering di tubuhku, ini karena aku membaca isi surat tersebut.
Aku mandul. Isi surat tersebut menyatakan aku nggak bisa memiliki keturunan. Air mataku mengalir begitu saja, tega sekali Mas Yuda memperlakukan aku seperti ini di malam perayaan pernikahan kami yang kedua. Bahkan dia terlihat nggak sedih sama sekali.
Dia benar-benar terlihat seperti sudah menunggu sejak lama. Dia seperti sudah merencanakan ini semua. Apa ini maksud Mas Yuda, menyuruhku keluar rumah, inikah kejutan yang mas Yuda siapakan untukku?
Bukan kejutan manis dan indah. Melainkan pahitnya seperti menelan empedu. Bagaimana aku bisa mengelak dan mengajukan banding untuk permasalahan ini. Aku nggak merasa seperti itu. Aku merasa baik-baik saja dan kondisi tubuhku sehat, namun memang nggak bisa dipungkiri, hal yang mas Yuda selalu inginkan aku masih belum bisa mewujudkan di dua tahun pernikahan kami.
“Mas ….” Rasanya aku nggak bisa berkata lagi. Hanya air mata yang terus mengalir di pipi. Aku bingung dengan apa yang terjadi. Ketika aku melihat wajah Mas Yuda, dia seperti sudah nggak peduli. Dia benar-benar membenci dan enggan menatapku.
“Aku sudah membereskan bajumu. Kamu nggak punya barang berharga apapun yang bisa kamu bawa dari sini. Ini semua adalah milikku,” kata Mas Yuda lagi dengan lantang dan aku baru benar—benar menyadari ada satu koper yang sudah dipersiapkan di dekat meja riasku.
“Mas …,” suaraku sudah serak dan benar-benar parau, aku ingin sekali memberikan penjelasan. Aku ingin menjelaskan semua, tapi Mas Yuda menoleh padaku pun enggan. Dia benar-benar ingin aku pergi dari rumahnya malam ini juga.
“Kamu benar-benar tega ngusir aku, Mas? Di luar hujan, Mas, kamu kan tahu, aku nggak kuat dingin,” ucapku, mencoba mengiba dan meminta belas kasihnya.
