Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pulang Dari Rumah Sakit

Bab 1

Langkahnya tertatih menyusuri lorong rumah sakit. Sesekali ia berhenti saat perut bagian bawahnya terasa perih. Namun ia harus kuat demi menyusul suami dan ibu mertuanya yang sudah berjalan jauh, bahkan mungkin sudah keluar dari pelataran rumah sakit ini.

Sembari menggendong bayinya, Zakia terus melangkah. Sebelah tangannya menyeret tas berisi perlengkapannya dan bayinya. Seorang lelaki muda berpakaian putih-putih berlari kecil menyusul dan meraih tas besar itu, lalu menyuruh Zakia duduk di kursi roda yang dibawanya.

Lelaki muda itu mendorong kursi roda, hingga akhirnya keluar dari pelataran rumah sakit, menyusuri halaman dan berhenti di sisi mobil yang akan membawa Zakia pulang ke rumah. Suami dan ibu mertuanya berdiri di samping mobil dengan wajah cemberut.

"Kenapa lama sekali, Zakia? Kemana aja sih kamu?! Jalan kok lelet amat. Mama sudah tidak sabar ingin segera pulang. Kamu ini ya, dua hari di rumah sakit merepotkan saja," sembur wanita paruh baya itu. Marina tak perduli dengan kehadiran seorang laki-laki berpakaian putih yang tegak berdiri di belakang kursi roda yang ditumpangi oleh Zakia.

"Maaf, Bu, tolong jangan bersikap kasar dengan ibu ini. Kasihan. Beliau baru saja melahirkan...." Lelaki berseragam putih itu angkat bicara. Dia menatap Zakia dengan iba.

"Apalagi beliau melahirkan secara caesar. Saya lihat tadi beliau membawa tas besar. Bu, lain kali tolong jangan dibiarkan Ibu ini membawa sendiri barang-barang yang berat. Beliau belum boleh membawa beban yang berat, takut akan membahayakan jahitan di perutnya," ujar lelaki itu panjang lebar dengan intonasi suara yang tetap sopan.

"Kamu ini siapa, hah? Sadar diri dong! Apa hak kamu turut campur dengan urusan keluarga saya?! Tugas kamu hanya melayani pasien, karena kamu hanya petugas di rumah sakit ini!" omel Marina yang langsung tersulut emosinya.

"Saya hanya mengingatkan, Bu. Sudah kewajiban kami untuk mengingatkan keluarga pasien agar merawat pasien dengan baik pasca perawatan di rumah sakit, apalagi kondisi ibu ini belum sepenuhnya pulih...." Dia membela diri.

"Sudahlah, Ma. Sebaiknya kita segera pulang," tegur Yudha, suami Zakia menengahi.

"Dan kamu, Zakia, segera masuk ke mobil!" perintahnya seraya menatap tajam istrinya.

Zakia menurut. Dia bangkit dari kursi roda itu, kemudian masuk ke mobil dengan gerakan perlahan. Sesekali ia meringis. Benar, kondisinya memang belum pulih. Rasa nyeri akibat operasi caesar yang dijalaninya dua hari yang lalu masih terasa. Namanya juga operasi. Tidak mungkin sim salabim langsung sembuh total walau metode dan obat secanggih apapun.

Masih dengan wajah masam, Yudha membawa masuk tas besar berisi perlengkapan istri dan bayinya ke dalam mobil, sementara Marina sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil. Mobil meluncur meninggalkan area rumah sakit.

"Makanya itu. Jangan sok-sokan jadi perempuan manja. Kodratnya wanita itu ya, melahirkan. Sakit emang sakit, tapi harus bisa ditahan." Marina terus saja mengomel sepanjang perjalanan.

"Aku bukannya nggak bisa menahan sakit, Ma. Aku pun juga ingin melahirkan secara normal, tapi dokter sudah memvonis aku untuk melahirkan secara caesar, karena kalau dipaksakan melahirkan secara normal, akan membahayakan nyawaku dan bayiku. Aku bisa apa?" Zakia berusaha memberi pengertian kepada ibu mertuanya meski ia tak yakin perempuan itu bisa mengerti. Ini sudah kesekian kalinya ia menjelaskan perihal itu.

"Tapi kalau kamu nggak setuju, dokter juga nggak akan melakukan operasi caesar. Kamu aja yang memang nggak bisa menahan sakit," tuduh Marina, lantas mulutnya mengerucut.

"Sungguh, Ma. Aku berani sumpah. Kalau Mama nggak percaya, tanya aja sama dokter yang kemarin melakukan tindakan operasi caesar kepadaku. Mama akan mendapatkan penjelasannya," tantang Zakia.

"Halah.... Dokter-dokter itu yang ada di otaknya hanya uang. Pastilah mereka akan menyarankan operasi caesar kepada pasiennya. Biaya operasi caesar kan jauh lebih mahal ketimbang biaya melahirkan secara normal. Kamu aja yang bodoh dan Yudha sudah bodoh memilih istri seperti kamu. Dasar wanita tidak berguna!" Marina mendengus. Dia benar-benar kesal karena Zakia selalu saja punya alasan untuk membantahnya.

"Ma, dokter-dokter juga tidak asal membuat keputusan. Mereka sangat profesional dan bekerja sesuai prosedur, karena jika mereka menyalahi prosedur, mereka juga akan kena sanksi. Mereka tidak bisa seenaknya mengambil tindakan," ujar Zakia tak mau kalah. Wanita itu memilih memejamkan mata demi menetralisir emosinya.

Selalu saja itu yang diomongkan oleh ibu mertuanya sejak masih berada di rumah sakit. Jujur ia merasa risih. Takut omongan ibu mertuanya terdengar oleh para petugas medis. Mereka pasti tersinggung dengan ucapan seperti itu.

"Sok pintar kamu. Sadar diri dong! Kamu itu siapa, hah?! Kamu itu hanya gadis yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan, yang kemudian dijadikan Yudha sebagai istrinya. Kamu itu sebenarnya beruntung banget, karena mendapatkan suami seperti Yudha yang bekerja di perusahaan."

"Makanya jadi orang jangan belagu. Ini sok-sokan melahirkan pakai operasi, kayak artis saja. Kamu itu sudah membuang-buang uang anakku. Ngerti nggak sih?!" Marina terus mengomel.

Namun Zakia masih tetap memejamkan mata. Dia tidak hendak memberikan komentar apapun. Percuma. Semua tak ada gunanya. Meskipun mulutnya terasa gatal, apalagi dengan ucapan terakhir ibu mertuanya.

Apa?! Dia membuang-buang uang suaminya?!

Ingin rasanya Zakia tertawa sekeras-kerasnya. Orang awam juga mengerti, jika biaya persalinannya ditanggung oleh pihak perusahaan tempat Yudha bekerja melalui jaminan sosial tenaga kerja. Yudha tidak keluar uang sepeser pun, bahkan justru terberkati dengan kelahiran bayinya, karena pihak perusahaan akan memberikan bonus atau tunjangan bagi setiap karyawan wanita yang melahirkan atau karyawan pria yang memiliki istri yang melahirkan. Besaran bonus itu pun diketahui oleh Zakia. Untuk soal itu dia tidak bodoh-bodoh amat.

Lalu, atas dasar apa ibu mertua menuduhnya membuang-buang uang suaminya?

Selama ini yang menikmati sebagian besar gaji Yudha justru adalah Marina dan Risa, kakak perempuan Yudha. Zakia hanya kebagian sisa, itu pun masih sering diomeli oleh Marina. Masih segar di ingatannya Marina mengomel setiap kali ia minta uang untuk ongkos taksi saat ia akan pergi kontrol ke dokter kandungan, padahal Marina jelas-jelas mengetahui jika biaya USG yang sebanyak tiga kali itu di tanggung oleh pihak perusahaan melalui Jamsostek.

Zakia menghembuskan nafas, lantas membuka mata. Mobil sudah berhenti. Ah, ternyata mereka sudah sampai di halaman rumah. Rumah peninggalan bapak mertua Zakia itu cukup besar dan itulah yang menjadi alasan Marina untuk tidak mengizinkan Yudha dan Zakia memiliki rumah sendiri.

Sembari mendekap erat bayi di dalam gendongannya, Zakia turun perlahan dari mobil lalu meraih tasnya. Lagi-lagi ia harus membawa sendiri tas besar itu ke rumah. Zakia menyeretnya, karena dia tidak mungkin mengangkat tas besar itu. Perut bagian bawahnya akan semakin terasa sakit, belum lagi kondisi tubuhnya yang masih lemah.

Suami dan ibu mertuanya sudah melenggang masuk ke dalam rumah, tak peduli dengan kesusahan Zakia. Kali ini tidak ada yang menolong. Zakia harus membawa sendiri tas itu ke dalam rumah.

Baru saja ia menginjakkan kaki di teras, bayi perempuan di dalam gendongannya menggeliat, lalu mulai menangis. Zakia memaksakan diri menyeret tas itu masuk ke dalam kamarnya, kemudian segera menutup pintu.

"Cup cup cup.... Sayang, kamu haus ya?" Zakia membuka kancing bajunya di bagian atas dan mencoba menyusui bayinya. Namun sampai wajah bayi itu memerah, hanya beberapa tetes ASI saja yang keluar dari pucuk payudaranya. Tangis bayi pun semakin kencang terdengar.

Brak!

Zakia terlonjak dari tempat duduknya saat pintu dibuka dengan kasar. Yudha berdiri di depan pintu dengan wajah merah padam.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel