Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Kasihan Irham

22 November 2000

Dear Diary

Tadi pelajaran Biologi

Bolpoinku tintanya habis

Aku minta Surya meminjami aku bolpoin

Dia memberiku bolpoin

Aku kira itu bolpoinnya

Ternyata bukan

Itu bolpoin Irham

Sekelebat kenangan di masa itu melintas di pikiranku.

Pelajaran Biologi tetap di kelas meski berkelompok. Seluruh isi kelas sudah berkumpul sesuai kelompok masing-masing. Posisi kelompokku ada di deretan paling depan di sisi kanan, yang paling dekat tembok.

Sepertinya biasa aku ditempatkan di sebelah tembok oleh Nefertiti. Katanya ini adalah formasi tetap setiap kami berkelompok di pelajaran Biologi. Bu Hariyati meminta kami membuka buku paket. Irham menyadari kalau ia tadi belum membawa buku paketnya. Ia izin kembali ke kursinya untuk mengambil buku paketnya.

”Sur, pinjem bolpoin dong!”

Irham sedang ke bangkunya, jadi aku bisa leluasa ngobrol dengan Surya tanpa terhalang badannya Irham.

”Bolpoinmu kenapa?”

”Habis tintanya,”

”Nggak bawa cadangan?”

”Nggak,”

”Nih,” kata Surya sambil menyerahkan bolpoin yang ada di dekatnya ke arahku.

Aku kembali konsentrasi ke arah Bu Hariyati yang ada di depan kelas. Irham juga sudah kembali ke kursi yang ada di sebelahku.

Bu Hariyati memberikan penjelasan sambil sesekali kami diminta melihat buku paket. Beberapa menit kemudian beliau meminta kami mencatat apa yang beliau diktekan. Kami semua sibuk mencatat. Aku juga.

”Kamu kenapa nggak mencatat?”

Semua langsung kaget. Berhenti mencatat. Dan melihat ke arah Bu Hariyati. Siapa gerangan yang ditanya Bu Hariyati.

Pandangan Bu Hariyati tertuju ke kelompokku. Seisi kelas jadi ikut melihat ke arah pandangan Bu Hariyati.

”Bolpoin saya rusak, Bu,”jawab Irham.

Sontak aku kaget. Ternyata yang ditegur Bu Hariyati tadi Irham. Terlihat Bu Hariyati menggelengkan kepalanya.

”Tadi bukunya, sekarang bolpoinnya,”keluh Bu Hariyati.

Kelas hening untuk beberapa detik.

”Kamu keluar dulu dari kelas saya. Cari pinjaman bolpoin atau beli bolpoin dulu sana! Kalau sudah bawa bolpoin boleh kamu masuk kelas lagi,”

Irham mengangguk. Ia berdiri dan izin meninggalkan kelas. Bu Hariyati segera mendikte lagi. Kami langsung sibuk mencatat. Aku serius mencatat. Nanti catatanku itu mau aku pinjamkan ke Irham supaya dia bisa segera membuat catatan.

Tak lama Irham kembali ke kelas. Ia segera duduk di sebelahku. Langsung aku sodorkan buku catatanku. Dia pun secepatnya mencatat. Bu Hariyati menyuruh kami mengerjakan LKS setelah menjelaskan dan memberikan catatan tadi. Semua menurut.

”Tadi beli bolpoin di koperasi ya?” tanyaku ke Irham dengan suara berbisik.

”Iya,”sahutnya dengan suara berbisik sama sepertiku.

”Kayaknya ntar aku juga mau beli di sana deh,”

”Kenapa beli?”

”Bolpoinku tintanya habis. Nih, aku sampai pinjem bolpoinnya Surya,” jawabku juga masih berbisik.

Dahi Irham mengkerut. Ia tersenyum beberapa detik kemudian.

”Itu bukan bolpoinnya Surya. Itu bolpoinku,”

Aku terbelalak. Kaget setengah mati.

Langsung saja aku mengulurkan tangan kiriku melewati badan Irham dari arah belakang untuk menyentuh pundaknya Surya. Ia langsung menoleh ke arahku.

”Ini bukan bolpoinmu?” tanyaku pelan tapi mataku melotot ke arahnya.

”Bukan,”

”Terus ngapain kamu kasih ke aku kalau bukan milikmu?”

”Ya karena kamu perlu bolpoin. Dan kebetulan ada bolpoin ada di dekatku. Ya sudah kukasih aja,”katanya tanpa merasa bersalah.

”Ini bolpoinnya Irham. Dia sampai di suruh keluar kelas gara-gara ini,”

Surya juga terkejut.

”Sory ya, Ir. Aku nggak ngerti kalau itu satu-satunya bolpoinmu. Kukira itu bolpoin cadangannya Nefi atau Sita yang lagi tergeletak di dekatku,”

Irham menggangguk.

”Maaf ya, Ir. Aku nggak tahu,” imbuhku dengan rasa bersalah.

Irham tersenyum.

”Nggak papa. Kamu ambil aja,” katanya sambil tersenyum lebar.

-------------------------------

30 November 2000

Dear Diary

Hari ini pelajaran olahraga

Pak Andre mengajar tentang voli

Aku takut sama bola

Aku sampai jerit-jerit waktu bola voli-nya di lempar ke arahku

Akhirnya aku jadi bahan tertawaan teman-teman

Aku cekikikan membaca tulisanku ini. Iya, aku memang takut sama bola. Bukan takut yang menyerupai penyakit ngeri ketinggian gitu sih, cuma takut terhantam bola aja. Jadi olahraga yang ada kaitannya dengan bola, selalu aku coba hindari.

Bayangan akan peristiwa olahraga itu langsung muncul di kepalaku.

”Jangan saya pak! Jangan saya pak!” teriakku ke arah pak Andre.

Kami sedang ada di lapangan untuk olahraga. Usai memberikan penjelasan seputar voli, Pak Andre mau menunjukkan teknik melempar dan mengembalikan bola dengan betul. Kami membentuk formasi setengah lingkaran. Aku berada di posisi bersebelahan dengan teman-teman yang cowok.

Pak Andre mengarahkan bola ke aku, dan aku diminta mengembalikan bola seperti teknik yang sudah diajarkan tadi. Tapi bukan itu yang aku lakukan. Saat bola melayang ke arahku, aku malah jongkok sambil menutupi kepalaku dengan kedua tanganku disertai teriak-teriak pula. Aksiku ini membuat teman-temanku tertawa ngakak.

Pak Andre menegurku. Aku diminta berdiri lagi. Beliau memberikan pengarahan lagi. Beliau bilang aku jangan takut sama bolanya.

Kembali Pak Andre berusaha melemparkan bola ke arahku, dan berharap aku bisa mengembalikan bola seperti yang beliau arahkan sebelumnya.

Kali ini aku tidak sampai jongkok atau pun merunduk menutupi kepala karena takut dengan bola, aku tetap berdiri tegak, tangan siap memukul bola, hanya saja mataku tertutup rapat. Mungkin mukaku juga sudah menunjukan ekspresi ketakutan. Aku meringis ketakutan menunggu bola datang.

Duuukkkk!!!! Sebuah suara terdengar di dekatku.

”Nae, kalau mau mukul bola itu matanya harus melek. Jangan merem gitu,”

Terdengar pecah tawa dari teman-temanku.

Aku membuka mata. Ternyata yang bersuara barusan si Irham. Ia berdiri di depanku. Aku menggerakkan mataku mencari bola yang mustinya aku pukul tadi.

”Nyari apa? Bola?” tanya Irham.

Aku memggangguk penasaran.

”Tuh!” tunjuk Irham. Bola tadi jatuh di depan Irham. Aku tak melihatnya karena masih terhalang Irham.

”Lain kali matanya melek biar bisa mengukur bolanya akan jatuh dimana. Itu hampir saja mengenai kepalamu,”

”Kamu memukulnya?”

”Iya,”sahutnya pendek.

Setelah itu ia kembali ke sisi kanan deretan para cowok. Pak Andre sepertinya menyerah untuk mengajariku memukul bola. Beliau sudah mengambil bola dan mengarahkan bola itu ke teman-temanku yang lain.

Aku memang takut dengan bola. Ada dua kejadian buruk yang membuatku betul-betul takut dengan bola. Waktu kelas 3 SD, aku melintas di lapangan olahraga di jam istirahat. Ada anak kelas 6 yang asyik main sepak bola. Salah satu menendang bola dengan keras. Yang jadi kiper tak sanggup menangkap bola itu. Bolanya melesat mengenai pipiku sampai membuat gusiku berdarah. Aku menangis saat itu. Guruku sampai berusaha menenangkanku yang menangis kencang karena kesaktian.

Pengalaman buruk kedua tentang bola saat pelajaran olahraga di kelas 5 SD. Waktu itu kami main bola kasti. Aku sedang berlari menuju pos usai memukul bola, temanku yang berhasil menangkap bola berusaha melemparkan bola ke arahku. Hanya saja lemparannya terlalu kuat, temanku itu berpostur tinggi besar jika dibandingkan aku saat itu. Pukulan bolanya keras mengenai punggungku. Aku terjerembab jatuh. Kembali gusiku berdarah karena pipiku menghantam tanah. Lutut kananku juga terantuk batu dengan keras. Ada rasa ngilu setelah jatuh itu. Bahkan ada luka lebar di lututku. Sampai beberapa Minggu luka itu baru bisa kering. Gara-gara itulah aku paling malas kalau pelajaran olahraga yang berkaitan dengan bola. Ada sedikit trauma kalau melihat bola. Rasa nyeri mendadak timbul saat melihatnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel