Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Mencari Kematian

Kaki terasa begitu berat untuk berjalan. Sejak keluar dari ruang bimbingan konseling, waktu malah berlalu sangat cepat. Aku tak bisa berkonsentrasi selama belajar. Semakin sering melirik ke arah jam, tetap saja tak ada yang berubah dan sekarang bel pulang sudah berbunyi saja.

Di seberang jalan, Ayah yang selalu menjemputku telah menunggu. Jika murid-murid lain bersemangat pulang dan berhamburan keluar gerbang dengan berlarian, aku malah ingin melangkah sepelan mungkin.

Aku takut pulang. Aku takut kembali ke rumah. Ayah dan Ibu pasti akan marah besar.

Benar saja, sepanjang jalan Ayah hanya diam tanpa mengucapkan apa pun. Padahal biasanya paling tidak Ayah akan mengajak sedikit bercanda.

Sepeda motor yang dikendarai Ayah akhirnya berhenti di halaman. Setelah turun, kulangkahkan kaki menuju rumah dengan kepala menunduk. Pandangan hanya berani kuarahkan pada gerak kaki. Di dalam hati, aku menghitung langkahku sendiri.

Baru selangkah aku memasuki pintu rumah, Ibu telah menyambut dengan raut wajah yang tak bisa kuartikan. Aku berusaha tak menghiraukan dengan berpura-pura tak melihat dan segera memasuki kamar Kak Nila untuk segera berganti pakaian.

“Bagus,” puji Ibu yang aku tahu arti sebenarnya bukanlah itu. Wanita itu telah berdiri di depan pintu kamar dengan bersedekap dada.

“Ayah itu kerjanya cuma di depan rumah. Ibu juga gak pernah ke mana-mana. Kenapa kamu malah ngadunya ke guru kalau gak pernah ditemenin? Bukannya ngomong baik-baik tentang orang tua ke orang lain, ini malah ngejelek-jelekin,” lanjut Ibu.

“Ayah cari uang cape-cape, kenapa malah kamu kasih ke temen? Ayah kasih uang jajan biar kamu gak lapar, bisa beli apa yang kamu mau.” Ayah turut menimpali dan berdiri di sisi kanan Ibu.

Jika dibandingkan kemarahan yang tampak di wajah Ibu, raut yang sedang tergambar di wajah Ayah begitu berbeda. Bukan hanya sekadar marah yang sedang ditunjukkan Ayah.

“Puas ngatain orang tua sendiri ke guru? Biar diperhatiin? Orang tua kamu kurang perhatian apa lagi? Uang jajan dikasih, mau beli buku beli apa pun dikasih.” Suara Ibu semakin meninggi.

“Tiap hari diantar jemput sekolah biar gak kecapean jalan kaki. Mau makan apa, semua di rumah ada, kalau gak ada langsung dibelikan Ayah. Bantu nyapu rumah aja gak pernah, malah bilang orang tua yang jahat.”

“T-tapi, Bu, Yah ….” Ucapanku lagi-lagi dihentikan oleh desisan mulut Ibu.

“Berani melawan orang tua, ya? Sudah berani menjawab? Kata siapa kamu boleh potong kalau orang tua bicara?” Ibu melangkah mendekat.

“Nay gak pernah bilang Ayah sama Ibu jahat. Nay cuma ….”

“Cuma apa? Gara-gara Ibay ngintip kamu di toilet? Ibu sudah pernah bilangin kalau ke toilet itu sama temen, pintunya dikunci. Kamunya yang ceroboh sampai lupa ngunci. Cuma gara-gara itu kamu bilang orang tua yang gak baik-baik. Bukannya bikin bangga, yang ada malah malu-maluin!” cecar Ibu dengan napas yang tersengal, dada Ibu bahkan tertlihat turun naik begitu cepat.

“Makanya, kalau dikasih tau orang tua itu dengerin. Jangan ngejawab mulu! Ini telinga fungsinya buat apa, Naylaaa?” Dalam sekejap Ibu telah berdiri di hadapan dan menarik telinga kananku dengan begitu keras.

“B-Bu, s-sakit,” ucapku spontan meringis menahan nyeri.

“Sakit mana sama punya anak kaya kamu? Kapan kamu pernah ngajak Ibu cerita? Kapan kamu pernah ajak Ibu ngobrol? Coba lihat Kak Nila, dia rajin belajar, apa-apa pasti cerita sama Ibu. Sampai ada cowok yang suka aja Kak Nila pasti cerita. Gimana orang mau dengar kalau kamu gak pernah bicara?” Tak hanya tangan Ibu yang terus menarik telinga, mulut Ibu pun tak henti memarahiku.

Ayah sendiri hanya berdiam dan mengabaikanku yang kesakitan. Tentu saja, Ayah takut dengan Ibu dan semua peraturan ada di tangan Ibu saja.

Tanpa sadar, rasa sakit yang bercampur malah membuat air mataku kembali jatuh.

“Kecil-kecil sudah munafik. Kenapa nangis? Ibu sama Ayah kamu orang jahat, jadi kamu juga gak pantas diperlakukan baik. Percuma dimanja!” Ibu akhirnya melepaskanku. Empasan napas kasar terdengar saat Ibu berpaling dan meninggalkanku sendirian di kamar.

Ayah sendiri turut beralih dari depan pintu hingga menampakkan sosok Dek Mila yang berdiri menatap ke arahku.

Kak Nila yang belum datang membuatku bergegas menutup pintu kamar dengan kencang. Suara berdebum pintu disusul suara tangisan Dek Mila yang pastinya terkejut.

“Ngurus Adek gak bisa, tapi urusan bikin nangis adeknya nomor satu!” omel Ibu lagi.

Kuempaskan tubuh pada kasur tanpa memedulikan tas hingga seragam yang masih terpasang. Sebelum tangis benar-benar pecah, segera kubenamkan wajah pada bantal agar tak ada yang mendengar.

‘Apa Ibu gak pernah sayang sama aku?’ batinku saat mengingat kembali semua yang dilakukan Ibu dengan jelas.

Sebelumnya, aku sempat berharap kalau Ayah dan Ibu mau sedikit saja mendengarkan karena Bu Wati yang menjelaskan. Tapi, kemustahilan itu nyata. Tetap tak ada yang berubah. Kemarahan Ibu malah semakin menyeramkan dibanding biasanya.

Aku takut, tapi aku juga merasa jadi sangat sedih. Tak hanya kepala, sekarang dadaku juga terasa sesak dan sakit. Lambat laun, rasa kantuk yang mendadak membuat mata semakin berat terbuka. Perlahan tapi pasti semua menjadi gelap, dan suara-suara yang ada di sekitarku menghilang.

“Naylaaa!”

“Nay!”

“Naylaaaaa!” Suara yang memanggilku itu semakin jelas terdengar. Aku terlonjak bangun saat sebuah benda mendarat telak di atas tubuh hingga kepalaku kembali nyeri.

Saat kembali membuka mata, sapu yang biasa dipakai Ayah untuk membersihkan pelataran jatuh ke sisi. Sepertinya benda itu yang tadi jatuh mengenai kepalaku. Dari jendela kamar, tampak kepala Kak Nila yang menyembul masuk dengan wajah ditekuk.

“Dipanggil-panggil, diketuk sampai digedorin gak bangun-bangun! Kamu tidur atau mati sih?” Kak Nila menggerutu.

“M-maaf, Kak,” ungkapku segera bangun dan berdiri.

“Cepat bukain pintuuu! Aku cape!” titah Kak Nila lagi menyadarkanku. Meski sedikit terhuyung karena kesadaran belum terkumpul sepenuhnya, segera kulakukan perintah Kak Nila.

Kak Nila sendiri dengan cepat sudah menunggu di depan pintu kamar yang begitu terbuka segera melaluiku masuk.

“Naylaaa! Bantalku basah, pasti gara-gara iler kamu! Jorok!” sungut Kak Nila lagi yang sepertinya benar-benar tak mengetahui kalau basah di sana bekas aku menangis.

Aku yang tak ingin menjelaskan memilih meminta maaf, mengambil baju rumah agar bisa segera ke kamar mandi dan berganti. Begitu selesai mengganti pakaian, tampak Ibu yang duduk di depan televisi.

Aku masih berdiri terdiam, ragu ingin menghampiri atau harus menjauh. Melihat Ibu yang bahkan tak menoleh sedikit pun padaku membuatku akhirnya memilih menunggu suasana lebih tenang dulu agar bisa meminta maaf.

Azan Asar yang berkumandang menyadarkanku kalau tadi tertidur cukup lama di kamar Kak Nila. Sudah lama rasanya sejak terakhir aku bisa berbaring di kasur spring bed empuk seperti itu.

Aku membuka kembali buku pelajaran setelah selesai merapikan buku dan barang yang sebelumnya dibawa ke sekolah. Hingga malam datang, tak ada satu pun yang menegurku meski jelas bebrapa kali berjalan melalui tempatku berduduk.

Jam makan malam pun terasa aneh, berbeda dan tak seperti biasanya. Ibu membiarkanku mengalas nasi sendiri padahal untuk Kak Nila dan Dek Mila semua disediakan tanpa ada yang kurang. Ayah hanya makan sambil sibuk menonton meski berada di antara kami.

Ibu hanya sibuk menyuapi Dek Mila, meski begitu percakapan di antara mereka terus saja berlanjut. Obrolan yang berakhir pada penjelasan kalau ternyata kami memiliki seorang kakak laki-laki, tapi Ibu bilang kalau Aa meninggal saat masih berusia empat puluh hari.

Sejenak, aku teringat perkataan Pak Ramli di sekolah kalau anak-anak umumnya belum berdosa. Kalau meninggal, maka tidak akan disiksa.

Apa jika aku mati, aku bisa bersama Aa? Apa aku akan memiliki teman? Apa Aa akan lebih baik dibanding Kak Nila, Ayah atau bahkan Ibu sendiri? Tapi, bagaimana cara agar aku bisa mati?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel