Bab 14 : Kalandra Adi Sucipta
Keheningan menyelimuti mereka, hanya alunan musik lembut yang mendominasi seisi mobil tersebut. Sedangkan gadis kecil yang sedari tadi aktif itu kini telah tertidur nyenyak di kursi belakang. Mereka baru saja pulang dari makan malam beberapa menit yang lalu, mungkin saja Kia kelelahan.
Reanna menatap dalam diam jalanan di depannya, sesekali mata indah itu melirik pada pria yang sedang fokus menyetir dengan tenang di sampingnya.
Entah kenapa di mata gadis itu, dr. Adams terlihat begitu tampan saat wajahnya terlihat serius mengemudi. Apalagi dengan pencahayaan yang minim, rahang itu terlihat lebih tegas, sedangkan hidungnya begitu mancung. Sosok di sampingnya terlihat seperti patung pahatan yang begitu sempurna di kedua matanya.
Yah, Reanna hanya merasa kagum. Tidak lebih.
Bukankah wajar jika seorang perempuan menyukai lelaki tampan?
Gadis itu segera memalingkan pandangannya kembali pada jalanan yang terlihat lengang itu ketika menyadari mata biru sang pria sedikit melirik ke arahnya. Ia tentu tidak ingin ketahuan jika ia beberapa kali mengamati dokter itu dalam diam. Tentu saja ia akan sangat malu jika hal itu terjadi.
Namun, sesaat kemudian ia tersentak, ia seperti melupakan sesuatu. Tanpa buang waktu, tangan kanannya lantas membuka tas kecil di pangkuannya kemudian mengambil handphone di dalamnya. Sedikit pekikan keluar dari bibir tipis Reanna, ia sudah mengingatnya sekarang!
Kedua mata cantiknya menatap gelisah handphone di tangannya, entah kenapa ia bisa melupakan janjinya dengan Kalandra. Pasti pria itu sudah menunggunya sedari tadi. Ini sudah telat dua puluh lima menit dari waktu yang ia janjikan.
Dan kepanikan gadis manis itu nyatanya disadari oleh seseorang di sampingnya.
"Ada apa?"
Reanna tidak menjawab, ia justru menatap ke samping kacanya. Ah, kafe langganan tempat ia akan bertemu dengan Kalandra sudah semakin dekat.
"Bisa berhenti di kafe depan itu saja, Dok?" jari lentik itu menunjuk sebuah kafe yang tidak jauh dari posisi mobil yang mereka naiki.
Dokter itu mengikuti arah pandang gadis di sampingnya.
"Loh ... kamu masih belum kenyang?" tanyanya dengan heran. Pasalnya mereka baru saja makan malam, lalu untuk apa gadis itu ke kafe?
"Bu-bukan begitu." Reanna menyangkalnya. "Saya ... ada sedikit urusan di sana."
Pria itu terlihat mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia sedikit penasaran dengan 'urusan' gadis yang duduk di sampingnya, tetapi ia hanya diam menahan keingintahuannya. Ia merasa bukan ranahnya untuk bertanya masalah pribadi Reanna saat ini; mereka tidak sedekat itu.
Pria itu lalu melambatkan laju mobilnya untuk menepi setelah kafe itu semakin dekat, kemudian menghentikannya.
"Baiklah. Jangan pulang terlalu larut," nasihat pria itu ketika Reanna membuka pintu mobilnya.
Sedangkan gadis itu hanya tersenyum, kemudian mengangguk singkat. Hatinya sedikit menghangat ketika ia merasa mendapatkan sedikit perhatian dari dokter tampan di depannya.
"Terima kasih tumpangannya."
***
Reanna memasuki kafe itu dengan sedikit tergesa. Kedua netra cantiknya menelusuri setiap meja yang ada di sana, mencari sosok Kalandra yang pasti sudah menunggu kedatangan dirinya. Hingga akhirnya tatapannya mengunci sosok berkemeja dongker yang duduk membelakanginya, berada tepat beberapa meja di depan sana. Pria itu duduk di kursi yang biasanya mereka gunakan saat ke kafe itu ketika masih menjadi sepasang kekasih dulu.
Gadis manis berambut panjang itu menghentikan langkah kakinya, tangan kirinya naik menekan dadanya yang bergemuruh tidak menyenangkan ketika kembali melihat lelaki itu, lelaki yang sudah menyakiti hatinya beberapa waktu lalu. Bahkan sampai kini rasa sakit itu masih terasa, semakin sakit ketika mereka kembali berjumpa.
Namun, ia harus kuat!
Ia tidak boleh terlihat lemah di hadapan Kalandra!
Reanna menguatkan hatinya, kemudian melangkah mendekati sosok sang mantan kekasih.
"Maaf, aku datang terlambat," uapnya, kemudian mendudukkan diri di kursi yang berada di hadapan Kalandra Adi Sucipta.
Pria itu tersenyum ketika melihat Reanna. Wajah tampan itu terlihat begitu merindukan gadis di hadapannya, gadis yang bahkan hingga detik ini masih menguasai hatinya.
"Tidak masalah. Aku juga baru beberapa menit yang lalu sampai," jawab Kalandra dengan senyuman.
Tetapi itu bohong!
Kenyataannya pria itu sudah sampai di sana lebih dari setengah jam yang lalu. Ia sangat menantikan momen pertemuan mereka, setelah berkali-kali ia gagal untuk mengajaknya bertemu. Ia merasa senang bisa kembali menatap wajah cantik itu.
"Syukurlah."
"Kamu mau memesan seperti biasa?" tawar pria itu. Mereka biasanya memesan menu yang sama setiap kali makan di kafe itu, dulu.
Namun, Reanna menggeleng.
"Tidak perlu. Kebetulan aku baru saja makan malam dengan seorang teman." Gadis itu menjawab dengan memaksakan sebuah senyuman. Entah kenapa dengan hanya menatap wajah tampan di depannya, hatinya kembali merasa terluka mengingat pengkhianatan yang pria itu lakukan padanya.
Raut kekecewaan langsung terlihat di wajah tampan itu setelah mendengar ucapan gadis tercintanya. Namun, rasa keingintahuannya muncul. Setahu Kalandra, Reanna hanya memiliki segelintir teman, dan ia penasaran dengan siapakah gadis itu makan malam?
Jujur saja, ada setitik rasa cemburu yang terasa mencubit hatinya. Namun, pria itu berusaha menekannya. Ia memaksakan senyuman pada gadis di hadapannya.
"Ah, baiklah. Bagaimana kabarmu?" tanya pria itu pada akhirnya.
Reanna kembali tersenyum ria, kembali menekan rasa sakit dalam dadanya. "Aku baik, tentu saja. Kamu sendiri?"
"Yah, seperti yang kamu lihat," jawab Kalandra dengan lirih.
Reanna lantas menatap wajah itu. Masih tampan seperti biasanya, hanya saja kantung mata itu terlihat lebih hitam dari pada sebelumnya. Kalandra terlihat tidak baik di matanya.
"Kamu terlihat baik-baik saja," ungkap gadis itu, mengingkari kenyataan yang ia lihat.
Kalandra hanya mampu tersenyum kecut di tempatnya.
"Ah iya, aku mengajakmu bertemu untuk mengembalikan ini." Gadis itu merogoh kantung depan tas mungil di pangkuannya, mengambil sebuah cincin bermata putih dari dalamnya, kemudian meletakkannya di atas meja; tepat di hadapan Kalandra.
Pria itu menatap nanar pada cincin yang dulu ia berikan pada Reanna, saat ia melamarnya. Cincin itu adalah bukti betapa ia sangat mencintai gadis di depannya dan sekaligus bukti keseriusannya—yang dengan bodohnya ia hancurkan begitu saja.
Tangan kanan pria itu mengambil cincin yang tergeletak di depannya, kemudian menatap wajah Reanna yang tampak dingin di matanya.
"Rea, sebenarnya kamu tidak perlu mengembalikannya. Cincin ini memang untukmu."
"Lalu, apa gunanya?" tanya gadis itu, menatap tepat pada mata hitam Kalandra. "Kita sudah berakhir, Kal. Aku sudah tidak ingin lagi memakainya."
Kalandra menunduk, tangan kanan itu menggenggam erat cincin di tangannya. Ia menyesal. Ia sadar, semua ini memang salahnya.
"Maafkan aku, Re. Sungguh, aku tidak menyangka jika hubungan kita akan berakhir seperti ini," gumam pria itu lirih.
Reanna tersenyum pedih menatapnya, "sudahlah. Jangan bahas masalah itu lagi." Sungguh, ia tidak akan kuat untuk tidak menangis jika Kalandra terus mengungkit masalah itu. Ia tidak ingin goyah. "Aku harus segera pulang."
Gadis itu lantas berdiri dari kursinya, akan tetapi Kalandra menahan lengan kirinya ketika ia hendak melangkah. "Tunggu."
Reanna menoleh pada wajah tampan yang terlihat menyedihkan itu dengan tatapan bertanya, "apa?"
Kalandra menghela napasnya panjang, sebelum ia berucap. "Maafkan aku, Rea. Aku menyesal atas semua yang kulakukan di belakangmu. Aku—"
"Sudahlah." Reanna memotong ucapan pria itu, "Menyesal sudah tidak ada gunanya. Pada kenyataannya wanita itu hamil anakmu, kamu harus bertanggung jawab atas itu," lanjutnya dengan datar, menahan sesak yang kembali menyeruak dalam dadanya.
"Entah apa yang kupikirkan waktu itu, Re. Aku hanya tidak ingin memaksamu melakukannya." Kalandra menghela napas frustrasi, kemudian meraup kasar wajahnya.
Ia adalah pria dewasa, munafik jika ia tidak pernah menginginkan hubungan intim dengan kekasihnya. Memang beberapa kali ia sempat memintanya pada Reanna, tetapi gadis itu terus saja menolaknya, dan ia bukanlah pria pemaksa. Ia mencintai Reanna dengan hatinya, bukan karena nafsu.
"Dan kamu melakukannya dengan wanita lain di saat kamu sudah punya tunangan?" gadis itu tertawa sarkas. "Kamu lucu sekali, Kalandra." Tatapan itu sangat tajam.
"Aku tidak menyangka jika dia akan hamil."
Entah kenapa mendengar ucapan Kalandra, dadanya yang semula sesak kini berubah panas. Ia marah.
"Dan kamu mengira aku masih mau menerimamu di saat kamu sudah menyerahkan dirimu pada wanita lain. Begitu, Kalandra?" pertanyaan retorik keluar begitu saja dari bibir tipis gadis itu.
"...." Kalandra hanya tertunduk.
"Meskipun Olive tidak hamil sekali pun, aku tetap tidak bisa bersamamu lagi. Kamu sangat tahu aku paling benci dengan pengkhianat," lanjut Reanna dengan dingin.
"Aku mengerti. Aku hanya ingin mengungkapkan saja padamu, Rea. Bahwa sampai detik ini aku masih mencintaimu. Sangat mencintaimu." Ucapan itu begitu lirih mengalun dari bibir Kalandra, kepalanya masih tertunduk menatap lantai keramik di bawah kakinya.
Gadis itu menatap sekilas pada Kalandra, tersenyum getir. "Simpan saja cintamu, Kal. Lebih baik kamu serahkan saja cintamu itu pada wanita yang saat ini tengah mengandung darah dagingmu. Dia lebih memerlukannya daripada aku," ungkapnya sembari memejamkan mata pedih, sebelum akhirnya melangkahkan kakinya menjauh dari sosok mantan kekasihnya. "Aku pergi."
Namun, sebelum langkah itu semakin jauh, pria itu memanggil namanya.
"Reanna ...."
Gadis itu menghentikan langkah kakinya, tetapi ia tidak menoleh sedikit pun pada presensi Kalandra.
"Tidak bisakah kita berteman?"
Reanna memejamkan matanya sejenak sebelum menjawabnya. "Tidak."
.
Bersambung...
