Bab 2 Kebenaran Pahit
Camilla duduk di tepi ranjangnya, pikirannya penuh dengan kata-kata Theodore yang masih terngiang jelas.
Emma. Tunangannya. Keluargamu yang membunuhnya.
Itu mustahil.
Tangannya mengepal di atas pahanya. Ia tumbuh di keluarga Hathway, tapi tidak pernah benar-benar terlibat dalam bisnis mereka. Ia tahu ayahnya keras dan ibunya dingin, tapi membunuh seseorang? Tidak. Itu tidak masuk akal.
Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya sibuk mengingat kembali segala sesuatu yang mungkin terhubung dengan tuduhan Theodore.
Tak butuh waktu lama sebelum ia bangkit.
Dia tidak akan diam dan menerima semua ini tanpa mencari tahu sendiri.
---
Ruangan kerja Theodore masih menyala ketika Camilla tiba di depan pintunya. Tanpa mengetuk, ia mendorong pintu hingga terbuka, membuat pria di dalamnya mendongak dengan tatapan tajam.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Theodore dengan suara dingin.
"Aku ingin jawaban," sahut Camilla, melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. "Aku tidak percaya apa yang kau katakan."
Theodore menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapnya dengan seringai sinis. "Tentu saja kau tidak percaya. Kau tidak pernah tahu betapa busuknya keluargamu, bukan?"
"Aku tahu mereka tidak sempurna, tapi membunuh seseorang?" Camilla menatapnya tajam. "Kau yakin tidak salah orang? Bagaimana bisa kau begitu pasti bahwa keluargaku yang melakukannya?"
Theodore bangkit dari kursinya, berjalan ke rak buku di sisi ruangan. Dia menarik sebuah map berwarna hitam, lalu melemparkannya ke meja di depan Camilla.
"Buka."
Camilla menatap map itu sejenak sebelum akhirnya mengambilnya dan membukanya. Di dalamnya ada beberapa dokumen, laporan kecelakaan, dan—
Jantungnya berdegup lebih cepat saat melihat sebuah foto. Sebuah mobil yang hancur di tepi jalan tol, dengan bagian depannya yang nyaris tak berbentuk.
"Laporan polisi menyebutkan kecelakaan ini disebabkan oleh sebuah truk yang tiba-tiba kehilangan kendali," suara Theodore terdengar, tenang tapi penuh tekanan. "Tapi yang tidak disebutkan dalam berita adalah siapa pemilik truk itu."
Camilla membalik halaman, matanya membesar ketika membaca nama perusahaan yang bertanggung jawab atas kendaraan itu.
Hathway Corporation.
Darahnya seperti berhenti mengalir.
"Perusahaan ayahmu menutupi semuanya," lanjut Theodore. "Tidak ada kompensasi, tidak ada keadilan. Mereka hanya menganggap Emma sebagai angka statistik. Dan sekarang, aku harus hidup dengan fakta bahwa aku menikahi putri dari keluarga yang menghancurkan hidupku."
Camilla menggigit bibirnya. Ini terlalu banyak untuk diproses.
"Tidak," bisiknya. "Ini pasti ada kesalahan. Aku akan mencari tahu sendiri."
Theodore mendekat, menatapnya dari jarak yang begitu dekat hingga Camilla bisa merasakan napasnya.
"Cari tahu sesukamu," ucapnya rendah. "Tapi tidak akan mengubah apa pun."
Camilla menatap matanya yang penuh kebencian.
Ia tidak akan mempercayai ini begitu saja. Ia harus menemukan kebenaran.
Camilla bergegas keluar dari ruang kerja Theodore, membawa map yang masih ada di tangannya. Setiap langkah terasa berat, seolah dunia yang dia kenal selama ini mulai runtuh perlahan. Di luar ruangan, pelayan rumah mengamati dengan cemas, tetapi Camilla tidak peduli.
Langkahnya cepat dan mantap, menuju mobil pribadi yang sudah diparkir di depan rumah besar itu. Ia memerlukan waktu untuk berpikir, untuk menemukan jawabannya. Ini bukan hanya soal Theodore dan kebenciannya. Ini soal keluarganya—ayahnya, ibunya—dan apakah mereka benar-benar terlibat dalam kecelakaan yang merenggut nyawa seseorang yang sangat berarti bagi pria yang kini menjadi suaminya.
Begitu sampai di dalam mobil, Camilla mengeluarkan ponselnya dan mulai menelusuri informasi lebih lanjut. Ia mencari nama Emma Lorrence, mencoba menemukan lebih banyak detail tentang wanita yang menjadi pusat kebencian Theodore. Setiap klik membuka halaman yang semakin mengarah pada fakta yang tidak ingin ia terima.
Namun, satu hal masih jelas di benaknya: keluarga Hathway tidak pernah menutupi apapun dengan cara seperti ini. Jika ada kebenaran di balik tuduhan Theodore, ia harus menemukannya sendiri.
Setelah beberapa lama, Camilla memutuskan untuk pergi ke kantor polisi terdekat. Ia tidak bisa hanya mengandalkan apa yang ada di dokumen Theodore. Ia butuh bukti, kebutuhan untuk melihat fakta itu sendiri.
---
Kantor polisi terlihat sibuk saat ia masuk. Petugas di meja depan menatapnya dengan curiga, jelas tidak mengenali wajahnya. "Ada yang bisa saya bantu, Nona?"
Camilla menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk tetap tenang. "Saya ingin melihat laporan kecelakaan yang melibatkan truk yang hilang kendali di jalan tol beberapa tahun lalu, sekitar bulan Oktober."
Petugas itu mengerutkan dahi. "Nama pengemudi atau korban?"
"Emma Lorrence," jawab Camilla, menyebutkan nama itu dengan hati-hati. "Saya ingin memastikan beberapa hal tentang kecelakaan itu."
Petugas tersebut menatapnya sejenak, lalu mengetik sesuatu di komputer. Setelah beberapa saat, ia mengangguk dan memberikan secarik kertas. "Ini laporan yang bisa kami temukan. Laporan lainnya terbatas."
Camilla mengambil kertas itu dengan tangan yang sedikit gemetar, membaca dengan seksama. Nama perusahaan yang terlibat memang tercatat di sana. Hathway Corporation.
Matanya bergerak ke bagian lain dari laporan, ke bagian yang lebih detail. Satu kalimat menarik perhatiannya: Pengemudi truk yang bertanggung jawab atas kecelakaan ini dilaporkan memiliki catatan buruk terkait masalah pengawasan di perusahaan transportasi milik Hathway Corporation.
Hatinya berdegup kencang. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja.
"Terima kasih," katanya singkat, lalu bergegas keluar dari kantor polisi.
Begitu sampai di mobil, Camilla segera menelepon ayahnya.
"Saya tahu apa yang terjadi, Ayah," ucapnya dengan suara penuh tekad. "Saya tahu tentang Emma. Apa yang sebenarnya terjadi di sana?"
Beberapa detik berlalu sebelum Ayahnya menjawab dengan nada yang tidak seperti biasanya—terdengar panik, bahkan sedikit terburu-buru.
"Camilla, jangan menyelidiki ini lebih jauh."
"Tapi Ayah—"
"Jangan, Camilla!" Ayahnya memotong. "Ini lebih rumit dari yang kau kira. Terkadang ada hal-hal yang tidak seharusnya kau ketahui."
Camilla terdiam, matanya menyipit. "Ayah, apa yang sebenarnya terjadi? Apakah kalian menutupi kecelakaan itu?"
"Pergi dari situasi ini, Camilla. Jaga dirimu, dan jangan kembali ke sana!"
Ponselnya mendengung kosong setelah sambungan terputus. Camilla memandang layar dengan cemas, hatinya penuh dengan kebingungannya sendiri.
Satu hal yang pasti—dia tidak bisa mundur begitu saja.
Hujan turun ketika Camilla sampai di mansion, rinainya mengetuk kaca mobil seolah menambah berat pikirannya yang sudah penuh sesak. Sejak panggilan telepon dengan ayahnya, kepalanya terus dipenuhi tanda tanya. Kata-kata Theodore mulai masuk akal, tapi ia tetap tidak bisa percaya begitu saja. Ayahnya terdengar panik—dan itu semakin membuatnya ingin menggali lebih dalam.
Begitu melangkah masuk ke dalam mansion, ia melihat Theodore berdiri di ruang tengah, mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung, dengan ekspresi yang tak bisa ia tebak. Mata pria itu langsung mengarah padanya, penuh kecurigaan dan kejengkelan yang tidak disembunyikan.
"Kau pergi ke mana?" tanyanya dengan nada tajam.
Camilla melepaskan mantel basahnya, menyerahkannya kepada pelayan yang langsung pergi, lalu menatap Theodore tanpa gentar. "Ke kantor polisi."
Rahang Theodore mengeras. Ia melipat tangannya di depan dada, matanya menatap tajam. "Untuk apa?"
"Aku ingin tahu kebenarannya." Camilla berjalan mendekat, lalu meletakkan laporan yang tadi ia dapatkan di atas meja. "Dan aku menemukannya."
Theodore menatap map itu sebelum kembali menatap Camilla. "Dan kau masih tidak percaya?"
"Bukan soal percaya atau tidak," balas Camilla. "Tapi ini tentang mencari tahu sejauh mana keluargaku benar-benar terlibat. Aku butuh lebih dari sekadar tuduhanmu atau laporan polisi yang bisa saja disusun dengan tujuan tertentu."
Theodore mendekat, tatapan matanya lebih tajam dari sebelumnya. "Tentu saja kau butuh lebih. Kau selalu mencari alasan untuk membela keluargamu."
Camilla mengangkat dagunya, tidak mau kalah. "Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya ingin tahu kebenaran dari semua sisi, bukan hanya dari orang yang sudah membenciku sejak awal."
Mata Theodore menyala dengan emosi. "Dan jika akhirnya kau menemukan bahwa mereka memang bersalah?"
Camilla terdiam. Ia tidak tahu jawaban yang tepat. Jika benar ayahnya menutupi sesuatu… jika benar keluarganya terlibat dalam kematian Emma… apa yang akan ia lakukan?
Melihat keheningannya, Theodore mencibir. "Kau tidak siap menerima kenyataan, bukan?"
Camilla menarik napas panjang. "Aku akan mencari tahu sendiri."
Theodore mendekat lagi, begitu dekat hingga Camilla bisa merasakan panas tubuhnya. "Lakukan sesukamu. Tapi ingat, semakin dalam kau menggali, semakin besar kemungkinan kau menemukan sesuatu yang tidak bisa kau ubah."
Camilla tidak bergeming. Ia menatap suaminya yang penuh kebencian, lalu berkata dengan suara mantap, "Aku tidak takut pada kebenaran."
Theodore hanya tertawa kecil, tapi nadanya penuh sindiran. "Kita lihat saja, Camilla."
Tanpa berkata lagi, pria itu berbalik dan pergi meninggalkannya di ruang tengah yang kini terasa semakin dingin.
