Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2 CEMBURU

2

"Mas." Bulan menatap nanar Langit yang di matanya tersirat kecemburuan. "Aku hanya …."

Kalimat Bulan tidak selesai karena pria tinggi itu sudah berbalik badan, kemudian pergi meninggalkannya. Tanpa meliriknya lagi.

Mata Bulan melotot, ia tidak menyangka Langit semarah itu. Gegas dikejarnya sang suami. Entahlah, hari ini dua kali harus mengejar-ngejar dua pria yang pergi seenaknya, saat dirinya belum selesai bicara.

Bila tadi Bulan begitu mengejar Rico, demi bisa bertemu buah hatinya. Kini, ia mengejar Langit demi tidak kehilangan cintanya.

Bulan meraih tangan sang suami setelah berhasil menjejeri langkahnya. Lalu menautkan jari-jemari mereka dan berusaha mengimbangi langkah-langkah lebar milik suaminya.

Bulan tahu Langit sedang cemburu. Rico memang keterlaluan. Menawarkan syarat tidak masuk akal seperti itu.

"Mas, pelan-pelan dong jalannya, capek, lho," pinta Bulan dengan manja, saat napasnya mulai tersengal mengimbangi langkah Langit yang cepat, baginya tak ubahnya berlari-lari kecil.

Langit tetap diam tak bersuara. Ia juga tak memelankan langkahnya sedikit pun. Hingga akhirnya Bulan menyerah, melepaskan tautan jari mereka. Lalu berhenti untuk menghirup oksigen sebanyak mungkin.

Bulan berharap sang suami berhenti, lalu berbalik dan menawarkan punggungnya seperti biasa. Namun, hal itu tidak terjadi, bahkan hingga tubuh itu menghilang  di tikungan.

Wanita itu menghela napas kasar sebelum berjalan gontai menyusuri trotoar. Mereka selalu berjalan kaki seperti ini pulang-pergi ke taman kota. Rumah mereka tidak terlalu jauh. Hanya saja, kalau biasanya mereka akan bergandengan tangan dengan mesra, hingga membuat perjalanan tidak terasa capek. Kini, Bulan merasa terseok-seok sendiri.

Perlakuan Rico, keinginan bertemu Rindu yang masih belum tercapai, padahal mereka sudah begitu dekat. Juga sikap pencemburu Langit, membuat tubuhnya lelah. Energinya  tersedot memikirkan itu semua.

Bulan tiba di persimpangan, di mana tadi terakhir melihat tubuh suaminya sebelum berbelok. Mata wanita bercardigan biru dongker itu berbinar. Di sana, setelah tikungan itu, Langit berdiri dengan wajah cemas.

Ah, sungguh menggemaskan suaminya. Ternyata Langit tidak benar-benar meninggalkannya.

Dengan senyum mengembang, Bulan mendekat. Namun, senyuman itu kembali sirna, saat Langit lagi-lagi berjalan meninggalkannya. Kali ini tidak terlalu cepat, tetapi sang suami masih enggan berjalan beriringan. Terpaksa Bulan hanya mengekor sampai rumah.

Aksi tutup mulut Langit berlangsung hingga malam. Ini bukan kali pertama. Sang suami memang pencemburu. Ia bahkan tidak rela bila seseorang menatap lama sang istri. Apalagi mendengar mantan suami Bulan yang dengan lancang memintanya kembali.

Malam ini mereka sudah bersiap pergi tidur. Penunjuk waktu di dinding sudah mendekati angka sepuluh, tetapi Langit masih betah mengunci mulutnya rapat-rapat. Bulan gemas dibuatnya. Padahal segala cara sudah ia lakukan agar mood sang suami kembali.

Sebuah ide nakal terlintas. Ia akan menggoda suaminya.

Bulan meraih cardigan yang tergantung di belakang pintu, memakainya, lalu meraih ponsel di atas meja.

"Mas, aku pergi dulu, ya," pamitnya seraya menatap tubuh yang duduk di sisi tempat tidur dengan membelakanginya. Kemudian berjalan ke arah pintu.

Akhirnya Langit bereaksi. Serta-merta tubuh yang sedari tadi memunggunginya itu berdiri, lalu bertanya.

"Mau kemana?"

Bulan tersenyum, ia berhasil membuat sang suami bicara.

"Mau ngademin hati," jawab Bulan dengan tubuh membelakangi, kemudian meraih gagang pintu. Terdengar langkah kaki mendekat. Bulan menahan senyum, lalu menghitung mundur dalam hati. Tiga, dua, satu, dan … berhasil. Sepasang tangan kekar melingkari perutnya.

***

Malam itu di tempat berbeda, Rindu sedang merengek terhadap sang ayah. Kenapa dirinya berbeda dengan anak-anak lain yang memiliki ibu. Kenapa hanya dirinya yang tidak memiliki ibu?

"Yah, kenapa Ibu Erlin tidak ikut pindah ke sini?" Sepasang bola bening itu menatap wajah Rico penuh tanya.

Rico yang tidak menyangka dengan pertanyaan gadis kecilnya, melirik sebentar wajah Rindu.

"Kalau Bu Erlin ikut ke sini. Rumah di sana kosong, dong," jawab Rico sekenanya.

"Terus kenapa kita pindah ke sini? Kenapa kita tidak di sana saja tinggal bareng-bareng?"

Lagi, pertanyaan Rindu membuat Rico harus memutar otak untuk memberikan jawaban yang bisa diterima sang anak.

"Sayang, sini!" Rico menepuk sofa kosong di sisinya. Rindu menurut, gadis kecil berusia dua belas tahun itu duduk di sisi sang ayah. Merebahkan kepala di dadanya. Tangan Rico membelai rambut sang putri penuh sayang.

"Nanti, kalau Rindu sudah besar, pasti mengerti kenapa Ayah tidak tinggal lagi sama Bu Erlin. Bukan Ayah tidak mau, bukan Bu Erlin tidak mau, tapi kami memang tidak boleh tinggal bersama lagi. Sekarang kita tinggal di sini dulu, ya."

"Tapi, Yah. Di sana Ririn punya ibu. Di sini tidak ada," ucap Rindu lagi dengan sedih.

"Kan, ada nenek."

"Nenek bukan ibu!"

Rico menarik napas panjang. Entah bagaimana menjelaskan kalau dirinya dan Erlin sudah bercerai dan tidak mungkin tinggal bersama lagi.

Rico tahu sang anak sangat merindukan seorang ibu, dan ibu yang ia tahu, hanya Erlin. Perempuan yang ia nikahi jauh setelah Bulan pergi dari hidupnya.

Bulan. Masih terbayang di mata Rico, tadi sore wanita itu bersimpuh memohon dipertemukan dengan Rindu. Sepertinya benar ia sudah berubah dan menyesal. Namun, sungguh luka yang digoreskannya dulu masih membekas kuat di hati Rico.

Masih segar dalam ingatan, Bulan yang waktu itu masih muda dan ranum, walaupun sudah memiliki anak. Menyeret kopernya dan pergi dengan ringan. Padahal Rico sampai bersujud agar wanita yang dicintainya tidak pergi.

"Realistis saja Rico, kita tidak mungkin begini terus. Hanya mengandalkan hidup dari penghasilan kamu sebagai driver ojol, mana cukup?" Wajah Bulan waktu itu begitu kesal.

"Nanti aku cari kerja lagi, Lan."

"Kapan? Sebelum kita menikah, kamu sudah menjanjikan akan mencukupi hidupku. Tapi mana buktinya? Sampai Rindu sudah berumur dua tahun, hidup kita masih juga seperti ini. Aku lelah, Ric. Harusnya kamu bangga Rico, dari sekian banyak orang yang menonton shooting sinetron itu. Pencari bakat hanya memilihku untuk ikut seleksi menjadi model. Itu artinya aku punya bakat terpendam menjadi artis, yang hanya mereka yang bisa lihat." Bulan sangat berapi-api saat itu.

"Sudahlah, aku mau mengejar mimpiku dulu menjadi artis dan model. Nanti kalau sudah sukses, aku akan menjemput kalian." Bulan melepaskan tangan Rico yang terus menahannya.

"Bagaimana dengan Rindu? Dia masih membutuhkan kamu, ibunya?" Masih dengan bersimpuh, Rico menatap nanar wanita pujaannya.

"Rindu kan, ada ibu kamu yang bisa momong. Sudahlah, nanti aku terlambat. Bisa diambil orang kesempatanku!" Bulan benar-benar pergi. Berjalan tergesa dengan menyeret kopernya, tanpa menoleh lagi. Padahal tangisan Rindu terdengar hingga jauh.

"Yah, Ayah!" Guncangan di lengan Rico menyadarkan lelaki itu dari lamunan masa lalu.

"Tadi di taman, Ayah bicara sama siapa?" Tangan Rindu melambai di depan wajah sang Ayah. Dahi Rico berkerut.

"Maksud kamu?"

"Tadi aku lihat dari jauh, Ayah bicara sama wanita berambut panjang. Dia sampai bersujud di kali Ayah. Siapa, Yah?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel