Pustaka
Bahasa Indonesia

Cegil Kesayangan Tuan Muda

89.0K · Tamat
Ayla Lee
58
Bab
3.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Baca juga novel lainnya!!

Cinta Pada Pandangan PertamabadboyTuan MudaRomansaTeenfictionSweetKampusLove after MarriageMemanjakanBaper

Salah Jurusan

POV: SURI MIKHAYLA 

"Galang, nggak ada yang ceweknya, njir ...," bisik ku, mencolek pinggang Galang.

"Namanya juga STM. Udah, tenang aja ... ada aku semua aman," jawabnya.

Aman-aman mulu katanya. Padahal, dia sendiri juga anak baru di tempat yang penuh dengan para cowok ini. Aku bisa merasakan kalau semua mata sedang mengawasi ku, mengikuti setiap pergerakan ku. Rasanya seperti berjalan di antara kerumunan para zombie yang lapar.

Flashback mode on....

Kemarin....

"Yes!!"

Aku melompat girang melihat papan pengumuman sekolah negeri unggulan di mana namaku terpampang sebagai calon murid baru yang diterima. Urutan ketiga, diurutkan berdasarkan nilai tertinggi dari 240 pendaftar yang lolos. Bangga bukan main, aku yang notabene dari SMP kampung, jauh dari kota masuk peringkat 3 terbaik.

Ekspetasi ku sepanjang jalan terbayang wajah-wajah bangga kedua orang tua ku. Pujian dari kakak-kakak ku. "Gue gitu, loh!"

Akan tetapi....

"Sekolah di kota emang nggak mahal?"

"Transportasi pulang pergi gimana?"

"Udah lah! Sekolah yang dekat-dekat saja!"

Mampus, deh! Aku lupa kalau orang tua ku tidak peduli dengan pendidikan ku. Aku lupa kalau mereka sebenarnya tidak niat menyekolahkan ku. Aku lupa kalau aku ini anak yang tidak pernah diharapkan kehadirannya. Ck! Dasar aku.

Rasanya sia-sia saja nilai-nilai ku itu. Aku nyaris putus asa dan ingin ku robek saja surat keterangan hasil kelulusan milikku. Namun....

"Melamun!!"

Buyar, Galang temanku sekaligus tetangga ku tiba-tiba datang.

"Apa sih, Lang?!" sungut ku padanya.

"Mikirin apa? Gimana hasilnya? Katanya kemarin udah pengumuman? Pasti diterima, dong?" tanyanya.

"Iya, sih," jawabku.

"Kok, iya sih?" tanyanya keheranan.

"Diterima, tapi nggak diizinkan sama ortu ku. Katanya jauh, boros, nggak ada yang mau nganterin juga. Kayaknya aku nggak usah sekolah aja," keluhku.

"Udah ... nggak usah mewek gitu! Kita sekolah di STM aja, mau? Besok kita daftar bareng, deh!" ajaknya. Aku mengerutkan dahi. Masa iya cewek kayak aku sekolah STM?

"Mau nggak?" tagih Galang.

"STM?" tanya ku lebih yakin.

"Iya. Kan deket, jalan kaki juga sampai. Malah lebih jauh sekolah SMP kita dulu. Ada aku di sana, apa yang kamu takutkan?" bujuk Galang.

Bukan perkara takut sebenarnya. Akan tetapi, anak perempuan sekolah STM emang ada? Mungkin di kota lain ada. Namun, di tempatku rasa-rasanya hampir tidak mungkin. Lagi pula, apa yang bisa dipelajari oleh seorang remaja perempuan jika sampai sekolah di STM?

Akhirnya, setelah berdiskusi dengan orang tuaku. Mereka rupanya lebih meridhoi aku sekolah di STM dengan alasan SPP nya murah meriah, uang masuk bisa dicicil, dan yang pasti dekat dengan rumah. Jadi, mereka tidak perlu mengeluarkan ongkos untuk ku pergi dan pulang sekolah.

Flashback mode off.....

Selain Galang, beberapa teman SMP ku juga terlihat hendak mendaftar. Ya, lagi-lagi mereka semua cowok, tidak ada satupun cewek yang mungkin khilaf atau terpaksa mendaftar di STM ini seperti aku misalnya.

Tiba-tiba.... Sirine mendengung dan ternyata sekolah ini menggunakan suara sirine sebagai pengganti bel. Kemudian, para senior yang berpakaian almamater OSIS mengatur barisan.

"Jangan jauh-jauh," bisik Galang memperingati ku agar tetap berdiri di belakangnya.

"Hu'um, aku di belakang kamu," jawabku yang juga berbisik.

"Siip!" sahutnya mengacungkan jari jempol tidak terlalu tinggi.

Dan tibalah waktunya bagi para calon murid baru menunggu giliran untuk masuk ke ruangan tes. Lama menunggu, akhirnya giliran Galang dan aku tiba. Eh, apa-apaan ini? Aku dan Galang digiring ke arah yang berlawanan. Itu artinya kami tidak satu ruangan tes.

Seperti dugaan ku. Mereka yang sudah lebih dulu berada di ruangan itu pun langsung melihat heran dengan kedatangan ku, termasuk guru penguji. Ya-ya ... mungkin aku terlihat seperti alien bagi mereka dan aku bisa memaklumi itu.

Satu per satu pertanyaan lisan ku jawab. Ternyata tes masuk SMA unggulan berbeda dengan tes masuk STM. Di STM kita hanya perlu menjawab seputar pertanyaan yang sering kita temui saat tes IQ dengan menebak pola, angka, dan warna. Tidak ada salah dan benar, semua tergantung sudut pandang masing-masing.

"Jadi, jurusan apa yang diminati?" tanya guru penguji.

"Apa?" batinku. Mapus, deh! Aku lupa bertanya pada Galang dia masuk jurusan apa? Kalau sampai salah, bisa-bisa kami tidak satu jurusan.

"Jurusan apa?" ulang ku.

"Iya, isi formulirnya. Boleh pilih satu jurusan utama dan satu jurusan alternatif. Jika jurusan utama yang dipilih full kuota, maka kamu akan diterima di jurusan alternatif," urai guru pembimbing semakin membuatku seperti dikejar deadline.

Waduh, bahkan nama-nama jurusannya saja asing bagiku.

"Sudah memutuskan masuk jurusan apa?" tanya guru itu lagi, melirik ke belakang ku di mana calon murid baru lagi nungguin giliran mereka.

"Sudah, Pak," jawabku ragu-ragu.

Akhirnya, aku pun asal-asalan memilih jurusan. Budidaya Tanaman sebagai pilihan utama dan Budidaya Peternakan sebagai pilihan kedua. Tadinya mau ku pilih mekanik otomotif karena feeling aku mungkin Galang milih itu. Akan tetapi, sebelumnya guru penguji sudah memberi tahu bahwa tahun sebelumnya tidak menutup kemungkinan tahun ini juga peminat jurusan mekanik otomotif membludak sampai pihak sekolah harus menyediakan ruang kelas lebih banyak ketimbang untuk jurusan lain. Aku yang peka ini langsung paham jika itu guru lagi menyuruhku pilihlah jurusan lain selain mekanik otomotif.

Dan....

"Apa?! Kamu di Budidaya Tanaman?!" kejut Galang sepertinya aku beneran salah pilih jurusan.

"Hu'um, kamu?" tanya ku.

"Kamu ngapain milih jurusan petani? Suriii ... Suriii," ucapnya geram.

"Kamu juga nggak bilang biar sama jurusan apa yang harus dipilih," eyelku.

"Udah lah! Udah terlanjur. Ayok, pulang!" ajaknya.

Galang terlihat sangat kecewa. Aku juga sebenarnya, tapi seperti yang dia bilang 'udah terlanjur' dan parahnya ternyata selain beda jurusan, letak tempat praktek kedua jurusan tersebut sangat jauh sekali mengingat sekolah ini memiliki luas 20 hektar. Niat hati biar bareng-bareng terus sama sohib. Eh, malah berpisah gara-gara beda jurusan.

"Kenapa, Lang?" tanya ku pada Galang yang kepayahan menyetater motor, tetapi tidak mau hidup mesinnya.

"Mogok, nih. Kamu pulang sendiri, ya!" perintahnya.

"Nggak, ah!" tolak ku. "Aku ikut kamu aja."

"Lama, loh! Udah balik dulu sana! Telepon Bima biar dijemput," perintahnya.

"Bima belum balik magang, katanya masih nanti sore," jawabku. "Ya udah, deh! Aku balik sendiri aja."

Bima juga teman sepermainan kami dari kecil. Kami bertetangga dan besar bersama. Bima dua tahun lebih tua dari kami. Saat ini ia sedang magang di luar kota.

Karena Galang memaksaku pulang dan dia tidak mau aku temani. Akhirnya aku pun berjalan kaki yang jauhnya nggak kira-kira dari tempat parkir ke pintu gerbang. Bisa kubayangkan kalau setiap hari begini, berarti aku harus berangkat lebih pagi kalau tidak mau terlambat masuk kelas.

Sedang melamun menghitung jarak tempat parkir ke pintu gerbang sekolah dengan satuan per meter persegi. Tiba-tiba seorang cowok dengan jas almamater OSIS terengah-engah menghampiri ku.

"Eh, ada apa, Kak?" tanyaku pada senior tersebut. What? Kakak? Iya, emang harus begitu kalau memanggil senior, meskipun sebenarnya yang namanya kelas 10, 11, 12 itu itungan nya seumuran.

"Kamu Suri, kan?" terkanya.

"I — iya. Kakak ini...?" tanyaku terhenti.

"Aku Prima. Suri di jurusan apa?"

Cowok itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dan kusambut dengan agak ragu. Aku mengawasi area sekitar, takut dikira aneh-aneh sama dia.

"Budidaya Tanaman sih, Kak," jawabku.

"Ooh, semoga betah," ucapnya seperti memperingatkan sesuatu yang tidak ingin dia katakan. Ada apa dengan jurusan yang aku pilih ini sebenarnya?

"Makasih, Kak Prima. Hehe...," jawabku.

"By the way, Suri sekarang mau ke mana?" tanyanya.

"Pulang, Kak," jawabku singkat.

"Pulang ke mana?" Dan dia mulai banyak tanya.

"Ke rumah," jawabku.

Tiba-tiba dia tertawa. Mungkin menurutnya jawaban ku lawak. Tapi yang namanya pulang kan memang ke rumah. Ngomong-ngomong, kok cowok ini ganteng banget. Manis banget ada lesung pipi yang tidak terlalu kentara, tapi dia benar-benar sangat tampan.

"Nggak gitu, maksud aku, Suri tinggal di mana? Aku antar, ya?" lanjutnya.

"Oooh, aku tinggal dekat sini aja, kok. Nggak usah dianterin, aku biasa jalan kaki," tolak ku.

Huft! Apa jadinya kalau hari pertama saja sudah pulang dianterin sama cowok? Bisa-bisa ayahku keluar rumah bawa parang. Kalau Galang dan Bima sih memang tetangga. Lha, ini cowok siapa? Daripada memancing kekisruhan dan salah paham, mendingan aku tolak saja.

"Nggak apa-apa. Ayok! Motorku udah di depan, kok!" paksanya.

"Tapi...."

"Ayok! Kenapa? Takut pacar Suri marah, ya?" selorohnya.

"Nggak-nggak! Mana ada kayak gitu? Aku mana ada pacar," bantahku.

"Cieee ... ngaku jomblo, nih? Beneran?" tanyanya.

Aku langsung salting. Bodoh banget kenapa bilang gitu? Kesannya aku sedang mempromosikan diri sendiri. Ah, bodoh banget emang.

"Aku, gini loh! Aku—" gugup ku seketika.

"Iya-iya. Udah, ayok!" ajaknya lagi.

Dan aku pun mengekor Kak Prima sambil berjalan menunduk melihat ke arah sepatunya. Setelah ini bagaimana? Apa aku minta diturunkan di gang saja? Jam segini pasti masih ada di rumah. Gawat.....