Pustaka
Bahasa Indonesia

Catatan Ujung Teras

45.0K · Ongoing
Bagus Effendik
37
Bab
186
View
9.0
Rating

Ringkasan

Sebuah cerita perjalanan Effendik sebagai pemuda Indigo dari lahir. Effendik selalu mengalami kejanggalan-kejanggalan kejadian mistis. Saat iya tengah menikmati kesendirian di ujung teras. Dari mulai hanya gangguan kecil dari sosok pocong. Hingga bertarung dengan sosok dukun pembawa setan. Bagaimanakah keseruan Effendik dalam melawan para setan? Temui keseruannya di Catatan Ujung Teras.

SupernaturalPengembara WaktuFantasiAktorThriller

Kelahiran Effendik

Mari kita mulai cerita dengan awal saat aku mulai menatap dunia. Saat aku baru saja mengenal apa arti dari dunia dengan tatapan pertamaku. Mari kita mulai bercerita tentang sebuah keanehan kelahiran akan ku tiga puluh satu tahun yang lalu.

Namaku Effendik Bin Kasturi setidaknya begitulah sebuah rancangan rencana nama yang hendak diberikan kepada anak pertama dari seorang Bapak muda. Namanya Kastury Bin Karlim Bin Singa.

Pagi kali ini saat alam masih berkata terlalu dini hari. Bahkan kabut masih menggelayut di atas daun-daun serta rerumputan tepian jalan setapak utama dusun Mojokembang.

Dusun Mojokembang adalah sebuah dusun dari lingkup enam dusun menjadi satu kesatuan bernama desa. Desa Karanglo begitulah nama dari kesatuan enam desa tersebut tanpa ada dusun di dalamnya yang bernama Karanglo.

Keenam dusun di dalam desa Karanglo terdiri dari dusun kedonglo dusun paling selatan berbatasan langsung dengan kecamatan Ngoro. Sedangkan desa Karanglo dimana keenam dusun termasuk dusun Mojokembang berdiri masuk dalam sebuah kecamatan di utara kecamatan Ngoro bernama kecamatan Mojowarno.

Dusun kedua adalah dusun Serapah dimana dusun ini berdiri bangunan kokoh pusat desa bernama kantor kelurahan desa Karanglo. Dari perempatan tengah desa Serapah menuju barat melewati kantor kelurahan di sisi barat perempatan sebelah selatan jalan menghadap utara. Terus ke barat sampai ujung jalan pas pertigaan.

Sebuah bangunan sekolah dasar negeri 1 Karanglo berdiri pas di ujung pertigaan. Belok ke selatan arah kiri jalan sekiranya berjarak seratus meter. Desa ketiga berdiri sebuah desa yang dibangun dari pembukaan lahan barongan atau kebun luas milik orang jaman dahulu dengan puluhan macam dan jenis pepohonan di tengah sawah. Dusun Mbayeman nama dusun tersebut berdiri dengan segala mitos keseraman lokasi sekitar kebun lama yang mengelilingi desa.

Tak jauh dari desa Mbayeman ada sebuah pertigaan di ujung desa sebelah selatan. Sebuah pertigaan apabila lurus terus ke selatan sampailah pada dusun keempat bernama dusun Mbajang legendanya dahulu kala pada masa jaman kerajaan Majapahit.

Dusun Mbajang adalah sebuah kadipaten dimana pemimpi kadipaten Mbajang memiliki putri berparas cantik jelita bernama Putri Mbajang. Putri Mbajang memiliki kekasih bernama Maling celuring begitulah kisah dusun Mbajang berkoar hingga masaku kini di tahun 2021 tertutur rapi dari mulut-ke mulut.

Dari pertigaan dusun Mbayeman dimana bila ke selatan menuju dusun Mbajang. Jalan yang menuju ke barat sekiranya berjarak dua ratus meter lebih sedikit berdiri dusun kelima bernama dusun Kelagen.

Entah tiada cerita di dusun Kelagen, tetapi pernah ada suatu peristiwa viral yang menghebohkan keseluruhan enam dusun. Sebuah peristiwa tentang satu keluarga yang meninggal akibat mengambil jalan pintas untuk menjadi kaya yang disebut banyak orang dengan nama pesugihan.

Kembali pada pusat desa Karanglo pada dusun tengah yakni dusun Serapah. Merujuk dari perempatan jalan tengah terus ke utara satu kilo meter jaraknya. Dusun keenam atau dusun terakhir sebelah utara desa Karanglo. Sebuah dusun bernama dusun Mojokembang di dusun inilah aku Effendik Bin Kasturi dilahirkan.

Kala itu hampir pagi tertanggal pada kalender usang di rumah kakek Kasnam atau sering dipanggil dengan sebutan Mbah Ali bapak dari ibuku Amanah delapan Oktober seribu sembilan ratus delapan puluh sembilan.

Depan teras rumah kakek Kasnam tampak sibuk sekali rupanya. Pak Budi sang pemilik becak sudah bersiap di depan teras dengan kendaraan modifikasi dari sepeda dipasang sebuah dudukan khas di depannya terpasang jua sebuah roda kedua sisi dudukan. Begitulah sedikit penggambaran becak milik Pak Budi seorang tukang becak asal dusun Serapah.

Pukul empat pagi sudah berdetak dari jam dinding lama terbuat dari ukiran kayu menempel di atas pintu tengah rumah kakek Kasnam. Kasturi tampak mondar-mandir, keluar-masuk rumah membawa segala keperluan untuk sang istri tercinta melahirkan anak pertamanya.

"Jangan banyak-banyak Mas Kas bawa perlengkapannya. Nanti kasihan Mbak Amanah enggak dapat tempat untuk duduk. Seperlunya saja apa yang dibutuhkan seperti bantal, guling, selimut dan perlengkapan dedek bayi nantinya," ucap Pak Budi memperingatkan Kasturi agar tak membawa banyak barang supaya Amanah dapat tempat duduk di atas becak.

"Benar juga kata Pak Budi, baiklah kalau begitu sudah semua terbawa Pak tinggal menunggu Dek Amanah keluar. Sebentar ya Pak Budi saya jemput Dek Amanahnya dahulu di dalam," Kasturi bergegas masuk kembali ke dalam rumah Sang mertua untuk menjemput Amanah istri tercinta.

Beberapa saat berselang Amanah keluar rumah berjalan agak tertatih-tatih sebab merasakan sakit punggung yang luar biasa. Serta mulai mulas dalam perutnya yang sudah tampak begitu besar.

Kasturi dan Kakek Kasnam tampak membantu Amanah berjalan disisi kanan dan kirinya. Sedangkan nenek Tiari terlihat membawa sebuah sarung motif batik beberapa buah berjalan di belakang Amanah.

"Hati-hati Ndok, pelan-pelan, pegangi istrimu Kas," dengan hati-hati Kakek Kasnam membantu Amanah menaiki becak milik Pak Budi.

"Iya, iya Pak ini aku pegangi kok!" jawab Kasturi seraya ikut naik duduk di atas becak di samping Amanah untuk menemani pergi menuju Bidan yang rumahnya di desa sebelah utara Desa Karanglo dan berjarak dua dusun dari dusun Mojokembang.

"Bapak tidak ikut apa?" tanya Kasturi menatap wajah mertua laki-lakinya yang tengah berdiri di depan becak membenahi kain sewek sejenis sarung tanpa disambung hanya lembaran kain bermotif batik yang dibuat Amanah sebagai penutup tubuhnya dari bagian pusar hingga lutut.

"Nanti Bapak menyusul naik sepeda sudah tenang saja kamu jaga istrimu baik-baik. Sampai rumah Bu Bidan Ambar nanti nurut apa yang dikatakan Bu Bidan agar Istri dan bayimu selamat. Jangan lupa Kas dan Ndok Amanah berdoa ya, terus memohon kepada Allah untuk keselamatan kalian dan bayi kalian," ucap Kakek Kasnam terus menasihati Anak dan menantunya sebab ini adalah anak pertama mereka.

"Pak Budi tolong ya Pak jangan kencang-kencang menggoes becaknya," pinta Nenek Tiari sambil mengulurkan beberapa kain sarung yang terlipat rapi ditangannya kepada Kasturi.

"Baik Mbak Tiari, ya sudah Mas Ali tolong bantu dorong sampai depan pertigaan ya?" pinta Pak Budi pada Kakek Kasnam yang sering Pak Budi panggil dengan sebutan Mas Ali.

Bukan tanpa sebab Pak Budi meminta bantuan pada Kakek Kasnam. Karena jalan di depan gapura rumah kakek Kasnam agak menanjak menuju ke arah pertigaan sebelah barat rumah kakek Kasnam.

Letak rumah Kakek Kasnam yang tak jauh dari pertigaan terakhir dusun Mojokembang pas di tengah tanjakan. Membuat siapa saja yang bertamu selalu kesulitan menanjak apa lagi apabila yang bertamu membawa mobil atau sejenisnya.

"Sudah bisa Pak Budi?" teriak Kakek Kasnam sambil membantu dorong becak Pak Budi.

"Sudah Mas Ali terima kasih ya kami pamit berangkat dulu ke rumahnya Bu Bidan Ambar, Assalamualaikum," teriak Pak Budi yang sudah agak jauh menggoes becak miliknya. Sedangkan Kasturi sedang menenangkan Amanah yang terus merintih kesakitan.

"Waalaikumsalam hati-hati loh Pak Budi," teriak Kakek Kasnam di ujung pertigaan sebelah rumahnya berdiri bersama Nenek Tiari.

"Nek, Nenek di rumah saja ya. Kakek hendak menyusul Nak Kasturi dan Ndok Amanah ke desa Mojodukuh tempat rumah Bu Bidan Ambar. Jangan lupa kunci semua pintu ya paling Kakek pulang saat terang nanti sekalian ibadah Subuh di Masjid Mojodukuh dekat rumah Bu Bidan saja," ucap Kakek Kasnam yang sudah menuntun sepeda hordok miliknya.

"Baik Kek, Kakek hati-hati ya dijalan jangan lupa lekas pulang kabari Nenek kalau Ndok Amanah telah melahirkan," pinta Nenek pada Kakek Kasnam.

"Pasti Nek, nanti Kakek akan langsung pulang. Ya sudah Kakek pergi dulu jangan lupa kunci pintu, Assalamualaikum," ucap salam Kakek Kasnam mulai menggoes sepeda tua merek Hordok miliknya.

"Waalaikumsalam Warahmatulahi Wabarakatuh," jawab salam Nenek Tiari sembari masuk ke dalam rumah seraya menguncinya dari dalam.

Roda-roda becak Pak Budi melaju perlahan membawa Kasturi dan Amanah duduk di bagian depan becak. Sementara itu mendung hitam tiba-tiba berarak dari segala arah. Seakan mendung tersebut hendak menghalangi laju becak Pak Budi. Semakin lama semakin petang dan pekat membuat gelap sekitar jalan dimana Pak Budi tengah asyik menggoes becak.

Duar, kratak, kratak,

Tiba-tiba satu kilatan cahaya dari ujung mendung serupa petir menyambar pada sebuah pohon kelapa pas beberapa meter saja di depan Pak Budi yang sedang melajukan becaknya.

"Allahuakbar, Astagfirullah hal Adzim...!" teriak Pak Budi, Kasturi dan Amanah berbarengan saat melihat pohon kelapa pecak menjadi beberapa bagian. Saat becak pas melaju di bawah pohon kelapa.