7. Kehidupan Setelah Pernikahan
Ini bukan pertama kalinya bagi Ellena menginjakkan kakinya di rumah Erwin, namun entah mengapa hari ini Ellena merasa suasana rumah ini terasa lebih mencekam.
Pajangan kepala hewan buas yang sengaja diawetkan dalam wadah terbuat dari kaca, entah mengapa terasa seperti hidup, seolah seperti sedang mengintimidasi Ellena dengan sorot mata tajam yang siap menerkamnya.
Di tengah rasa takutnya Ellena sampai tidak sadar jika Erwin memberhentikan langkahnya ketika akan menaiki tangga, hingga tanpa sengaja Ellena menubruk punggung Erwin.
"Huh, kebohongan apa lagi yang akan kamu ucapkan sebagai alasan menabrakku," sarkas Erwin dengan nada dingin.
"Hah, a-aku-"
Ellena belum selesai berbicara, namun sudah dipotong Erwin terlebih dahulu.
"Stop! Aku malas mendengar suaramu!" Tukas Erwin, membuat Ellena semakin gemetar ketakutan, seolah baru saja disadarkan oleh kenyataan, bahwa orang di depannya inilah yang lebih menyeramkan dari hewan paling buas sekalipun.
Setelah mengatakan itu Erwin melanjutkan langkahnya, sedangkan Ellena lebih memilih tetap diam di tempatnya sambil menundukkan kepalanya.
Hingga terdengar suara pintu kamar ditutup dengan keras dari lantai atas, pertanda Erwin sudah masuk ke dalam kamarnya, baru setelah itu Ellena berani menegakkan kepalanya, menghembuskan napas dalam, inilah kehidupan setelah pernikahan yang disebut neraka cinta oleh tuan Erwin.
Dengan lesu Ellena mulai menaiki tangga, dia baru melangkah di kehidupan barunya, namun pengalaman yang baru saja dijalaninya ini membuatnya ingin lari seketika.
"Aku butuh istirahat, agar bisa memikirkan jalan apa yang harus aku ambil kedepannya," gumam Ellena dalam hati.
Lagi-lagi Ellena harus masuk ke dalam kamar yang membuat dadanya semakin sesak, air matanya sudah jatuh ke pipi tidak dapat lagi ia cegah.
Jika mungkin waktu itu Erwin melakukannya karena cinta, mungkin Ellena tidak akan merasa sesakit ini. Badannya yang terasa lelah akhirnya membawanya masuk ke dalam alam mimpi.
Matahari tepat berada di atas kepala, tidur siang Erwin dibangunkan oleh alarm yang tadi dia setel, ada sedikit masalah di markas yang membuatnya harus datang sekarang.
Setelah mandi dan bersiap Erwin keluar dari kamarnya, Erwin sempat menoleh ke kamar Ellena yang pintunya telah tertutup rapat, hanya sekilas saja setelah itu dia kembali melanjutkan langkahnya. Entah apa yang sedang dipikirkannya.
***
Jam makan malam tiba, Erwin baru saja datang dari markas. Perutnya terasa keroncongan meski tadi siang dia tidak lupa mengisinya, tanpa pikir panjang dia langsung menuju dapur.
"Selamat malam, Tuan," sapa bi Ema ramah.
"Malam Bi," sahut Erwin datar.
"Apa yang dikerjakan wanita itu setelah aku pergi ke markas?" Tanya Erwin.
"Tidak ada Tuan, nona tidak keluar sama sekali, nona mengeluh tidak enak badan," jawab Bi Ema, dia melirik tuan mudanya yang memberikan sorot mata tajam, yang semakin membuat bi Ema ragu mengatakan hal selanjutnya.
"Apakah dia juga tidak makan siang?" Informasi inilah yang ingin Bi Ema sembunyikan, mengingat sifat tuan mudanya yang pasti jawabannya akan memancing kemurkaannya.
"Ti-tidak Tuan," jawab Bi Ema tergagap.
"Suruh dia kemari! jika tidak mau seret saja!" Perintahnya yang membuat Bi Ema segera melaksanakannya, dia tidak ingin membuat tuan mudanya semakin murka.
Setelah cukup lama membujuk Ellena, akhirnya Ellena dan Bi Ema sampai di depan pintu ruang makan, baru saja mereka memasuki ruangan itu...
Praankkk
Suara piring pecah yang jatuh tepat di depan kaki Ellena, Erwin lah yang melemparkannya.
"Kamu benar-benar ingin membuat reputasiku terlihat jelek di mata Azkia, tidak mau makan, agar sakit?! Aku akui otakmu sungguh licik," cibir Erwin.
"Maaf, aku hanya-"
"Berhenti mencari alasan! Cepat makan atau aku akan membuatmu makan dengan caraku!" Ancaman Erwin membuat Ellena segera duduk di hadapan Erwin bersiap untuk mengambil makanan.
"Siapa yang menyuruhmu makan makanan ini, masak sendiri! Ataukah aku perlu ingatkan, jika kamu tidak lebih dari seorang pelayan?"
"Maaf," setelah mengatakan itu sambil menundukkan kepalanya, Ellena segera beranjak ke dapur.
Beruntung dia pernah belajar memasak dengan para koki ketika bekerja di rumah Deffin, cukup lama berkutat di dapur, akhirnya bau harum masakan yang dibuatnya telah menggoda Indra penciuman orang yang berada tidak jauh dengan ruang dapur itu.
Termasuk dengan Erwin, wangi masakan itu sudah pasti jelas mempunyai rasa yang enak, hingga membuat Erwin memikirkan cara untuk kedepannya agar dia bisa selalu makan hasil masakan Ellena.
Entah cara apa yang sedang dipikirkan Erwin...
***
Sambil menghabiskan makanannya, Erwin memikirkan cara bagaimana membuat Ellena menderita, mungkin selain mengacuhkannya Erwin juga benar-benar akan menjadikan Ellena pelayannya.
Menjadikan Ellena pelayan mungkin sudah menyiksanya, mengingat Ellena yang berasal dari keluarga kaya, dia pasti tidak pernah melakukan pekerjaan rumah.
"Setelah dia selesai makan, suruh dia menemui ku di ruang kerjaku," ujar Erwin kepada bik Ema yang masih setia berdiri di belakangnya.
"Baik Tuan Muda," jawab bik Ema yang langsung melaksanakan perintah tuan mudanya.
Sedangkan Erwin bergumam, "Sial, jika tidak mengingat Azkia, aku tidak harus menjaga tanganku agar tidak melakukan kekerasan kepada wanita bermuka dua itu."
***
Di dapur.
"Nona," sapa bik Ema sopan.
"Iya, ada apa Bik?" Tanya Ellena yang baru saja selesai makan.
"Tuan Erwin meminta anda untuk menemuinya di ruang kerjanya."
"Oh, baiklah Bik, aku akan segera kesana."
"Biar pelayan lain yang mencuci piring Anda, Nona. Sebaiknya Anda segera menemui Tuan Erwin." Bik Ema mencegah Ellena yang akan mencuci piring, meski Erwin tadi pagi mengatakan derajatnya sama dengan pelayan, tapi bik Ema tidak tega jika melihat nona mudanya mengerjakan pekerjaan yang bukan seharusnya dikerjakan majikannya.
"Baiklah," ucap Ellena patuh. Ellena juga takut menambah kemurkaan Erwin, jika dia membuat Erwin menunggunya lama.
Ellena berjalan meninggalkan dapur menuju ruang kerja Erwin yang juga terletak di lantai satu, setelah sampai dengan gugup dia mengetuk pintu berwarna putih itu.
"Masuk." Terdengar suara dingin yang menusuk Indra pendengarannya.
"Huh, kenapa suaranya selalu membuatku merinding," kata Ellena dalam hati.
Dengan perlahan dia memutar kenop pintu dan mendorongnya pelan, suasana mencekam langsung menyapa Ellena ketika baru saja melangkahkan kakinya untuk masuk.
Terlihat Erwin dan auranya yang mengerikan duduk di kursi kerjanya bersandar sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
Dengan ragu Ellena mulai mendekat di hadapan Erwin yang berbatas dengan meja kerja milik Erwin.
"Tidak hanya bermuka dua, tapi kamu juga orang yang lelet, jadi apa yang bisa dibanggakan mempunyai istri seperti kamu!" Hardik Erwin tajam.
Ellena tidak bisa menjawab, dia hanya menundukkan kepalanya, pandangannya mengabur melihat lantai yang dipijaknya, karena matanya kini sudah berkaca-kaca siap keluar untuk membasahi pipi mulusnya.
Ellena tahu jika Erwin tidak menyukainya, namun pantaskah dia membencinya seperti ini, padahal jika Erwin tidak merenggut kesuciannya, pernikahan ini tidak akan pernah terjadi, haruskah Ellena yang pantas dibenci dan disalahkan atas kejadian malam terkutuk itu.
"Aku memanggilmu kemari hanya untuk mengingatkanmu, mulai besok kamu harus melakukan pekerjaan seperti para pelayan lakukan, kamu harus mengutamakan segala kebutuhanku, mulai dari memasak sampai mencuci bajuku, dan satu lagi, aku tidak mau mendengar informasi kamu bermalas-malasan di rumah ini!" Ujar Erwin.
Ellena hanya mengangguk, namun di detik berikutnya dia berjengkit kaget karena Erwin memukul meja dengan keras.
"Apa sekarang kau juga bisu?!" Tanya Erwin dingin.
"Ba-baik saya akan melakukan semua yang Tuan perintahkan," jawab Ellena cepat, dia sedikit mendongak untuk melihat bagaimana reaksi Erwin selanjutnya.
Tidak ada perkataan yang keluar dari mulut Erwin, dia hanya mengibaskan tangannya mengusir Ellena, Ellena yang mengerti segera membungkukkan badannya untuk undur diri.
Setelah keluar dari ruang kerja Erwin, Ellena bisa menghembuskan napas lega, namun kakinya masih gemetar, dengan pelan dia berjalan menuju kamarnya.
Setelah sampai di kamar Ellena langsung menutup pintunya, tubuhnya langsung merosot ke bawah, dia sudah tidak bisa menahan berat tubuhnya sendiri, begitu pula dengan hati dan harga dirinya yang juga ikut hancur.
Bagaimana bisa dunia sekejam ini? Dosa apa yang dia perbuat, hingga dia dihukum dengan nasibnya yang buruk.
***
