6. Nongkrong Bersama Sahabat
Sabtu sore, langit Jakarta sedang cerah, memberi nuansa hangat namun tidak terlalu terik. Pondok Indah Mall tampak ramai seperti biasa, dengan lalu lalang pengunjung yang datang menikmati akhir pekan.
Di salah satu sudut kafe yang bernuansa bohemian, dengan tanaman gantung, sofa empuk, dan musik jazz mengalun lembut, tiga perempuan cantik duduk bersama di meja pojok dekat jendela besar.
Diandra mengenakan blouse putih gading dan celana kulot warna khaki, terlihat kasual namun tetap elegan. Di hadapannya, Mikha, yang kini sudah menjadi ibu muda, tampak chic dengan dress floral sederhana. Di samping Mikha, ada Deborah, istri dari Rayner, mengenakan blazer tipis dan celana panjang dengan tatanan rambut rapi seperti biasa.
“Akhirnya ya kita bisa ngumpul bertiga lagi. Udah kayak nostalgia zaman kuliah dulu,” ucap Mikha sambil tersenyum, mengaduk es kopi susu yang baru saja diantar pelayan.
“Iya, walaupun sekarang udah bawa status istri semua. Eh … kecuali kamu, Di,” celetuk Deborah sambil melirik tajam ke arah Diandra, senyum jahil menghiasi wajahnya.
Diandra menghela napas dan tersenyum setengah.
“Ya … belum aja. Tapi, siapa tahu sebentar lagi, kan?”
“Lho, lho, tunggu! Maksud kamu apa?” tanya Mikha sambil menyandarkan tubuh ke sandaran kursi dengan mata membulat penasaran.
“Jadi gini …” Diandra menarik napas dalam.
“Aku lagi dideketin seseorang. Pria yang mau dijodohin sama aku.”
Mikha dan Deborah hampir bersamaan mengeluarkan suara “Hah? Apa!”
“Tenang, tenang. Nggak seburuk itu kok. He-he-he,” lanjut Diandra sambil tertawa kecil.
“Namanya Sebastian.”
Deborah langsung menegakkan duduknya.
“Sebastian? Tunggu, jangan-jangan Sebastian Ronaldo?”
Diandra mengangguk pelan.
“Iya. Kamu kenal?”
Deborah tersenyum lebar.
“Kenal banget! Dia itu kolega bisnis Rayner. Mereka sering banget meeting bareng. Bahkan sesekali dinner, kerja juga. Orangnya sopan, cerdas, dan ... well, banyak yang bilang dia pria idaman.”
“Bener tuh,” sahut Mikha antusias.
“Suamiku juga kenal baik sama Sebastian. Waktu Samuel ngadain business gathering akhir bulan lalu, Sebastian datang. Orangnya ramah, low profile banget walaupun tajir. Sopan juga.”
Diandra terdiam sejenak, lalu menyeruput minumannya.
“Ya … dia memang sopan. Nggak nyebelin sih, cuma aku masih berusaha ngerasa nyaman. Hubungan kami ... ya, masih dalam tahap kenalan lebih dalam.”
“Tapi kamu udah mulai suka dikit-dikit kan, Di?” goda Mikha sambil menaikkan alis.
Diandra tertawa malu. “He-he-he. Aku belum tahu. Aku juga bingung. Ada saat-saat di mana dia bikin aku nyaman, tapi aku takut ini cuma karena perjodohan aja. Bukan karena perasaan.”
Deborah mencondongkan tubuh ke depan.
“Denger ya, Di. Aku dan Rayner juga nggak langsung jatuh cinta. Apalagi dia itu orangnya dingin banget waktu pertama kenal. Tapi setelah aku berani buka hati, ternyata banyak sisi dari Rayner yang bikin aku jatuh cinta setiap hari.”
Mikha mengangguk setuju.
“Sama kayak aku dan Samuel. Kami memang pacaran dulu, tapi awalnya juga karena tak sengaja bertemu. Kalau kamu nunggu rasa cinta langsung datang dari langit, bisa-bisa selamanya kamu akan ragu. Kadang, rasa itu tumbuh karena kemauan untuk mengenal, bukan karena takdir jatuh dari langit.”
Diandra memandangi dua sahabatnya dengan ekspresi campur aduk. “Kalian ngomongnya gampang sih. Sudah pada nikah, udah nemu tempat untuk pulang. Lah, aku masih takut. Kalau nanti ternyata Sebastian beneran sayang, tapi aku yang nggak bisa balas rasa itu, bagaimana dong?”
Deborah tersenyum lembut.
“Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri, Di. Cinta itu bukan kompetisi siapa duluan jatuh cinta atau semacamnya. Tapi siapa yang mau bertahan meski sedang dalam tahap perkenalan. Kalau Sebastian serius dan kamu masih mencoba, itu udah cukup, Di.”
Mikha menyentuh tangan Diandra di atas meja.
“Satu langkah kecil pun tetap langkah. Kamu udah mau ketemu dia, mau ngobrol berdua, bahkan jalan bareng sama Sebastian, itu udah jauh lebih baik daripada menolak mentah-mentah. Kita bangga banget sama kamu, Di.”
Diandra tersenyum lebar.
“Thanks ya, kalian selalu jadi support system paling solid. Kalau aku jadi nikah, kalian harus jadi pendampingku di pelaminan.”
“Udah pasti dong! Mikha bisa bawa anaknya sambil jalan elegan di aisle,” celetuk Deborah sambil tertawa.
“Eh jangan gitu! Aku bisa kok lepasin gendongan dulu. Tapi kamu, Deb, harus nyanyi resepsi!” balas Mikha tak kalah heboh.
Suasana semakin cair. Mereka bertiga tertawa, berbagi cerita, membahas sedikit tentang pernikahan, bahkan sempat melihat-lihat akun media sosial Sebastian sambil berkomentar jahil.
“Liat deh, dia senyum di foto ini. Ganteng juga ya,” ujar Mikha sambil menunjuk layar ponselnya.
“Kamu jangan naksir ya, suami orang!” sahut Diandra cepat, membuat mereka tertawa serentak lagi.
Saat senja mulai turun perlahan dan lampu-lampu kafe dinyalakan, Diandra menyandarkan tubuhnya di kursi dan menghela napas panjang.
“Aku belum jatuh cinta, tapi aku akan terus coba. Kalau nanti aku bisa sayang sama Sebastian seperti kalian sayang sama suami kalian, itu mungkin hadiah terbesar dari Tuhan yang nggak aku duga.”
Deborah dan Mikha saling menatap, tersenyum, lalu meraih tangan Diandra bersamaan.
“Kita akan selalu di sini untuk kamu, Di,” ujar Deborah pelan.
“Dan kalau suatu hari kamu butuh kabur dari rumah sebentar karena ribut sama Sebastian, kamu tahu harus ke rumah siapa. He-he-he,” tambah Mikha sambil terkekeh.
“Deal,” jawab Diandra dengan senyum bahagia.
Hari itu, bukan hanya kopi yang menghangatkan suasana. Tapi juga pertemanan sejati, dukungan tulus, dan keyakinan bahwa cinta bisa tumbuh dari langkah-langkah kecil yang berani.
Diandra baru saja menaruh gelas kopinya yang tinggal separuh ketika ponselnya berdering. Layar ponsel itu menyala dengan nama yang belakangan ini semakin sering muncul, Sebastian.
Dengan sedikit ragu, Diandra mengangkat panggilan itu sambil tersenyum tipis. Mikha dan Deborah langsung memberi kode saling melirik satu sama lain.
"Halo, Bas?" sapa Diandra, suaranya tenang tapi terdengar lebih lembut daripada biasanya.
"Hai, Diandra." Suara Sebastian terdengar hangat di seberang.
"Kamu lagi sibuk? Aku tadi lewat Pondok Indah Mall, ingat kamu suka nongkrong di situ. Lagi di sana nggak?"
Diandra sedikit melirik kedua sahabatnya.
"Iya, kebetulan aku lagi di sini juga. Lagi ngopi bareng Mikha dan Deborah."
Sebastian terdengar antusias.
"Wah, boleh aku nyusul? Aku belum pernah ketemu sahabat-sahabat kamu. Sekalian kenalan, kalau kamu nggak keberatan."
Diandra tersenyum tipis. Ada rasa senang yang sulit dirinya sembunyikan.
"Boleh, kita di Kafe Verona, dekat jendela kaca."
"Okay, lima belas menit lagi sampai."
Setelah menutup telepon, Mikha langsung berseru,
"Sebastian mau nyusul ya?"
Deborah menambahkan,
"Wah, penasaran banget akhirnya bisa ketemu juga. Kita harus jaga sikap nih, Mik."
"Tenang aja, kita akan jadi sahabat yang sopan tapi tajam matanya," ujar Mikha sambil tertawa pelan, membuat Diandra memutar mata geli.
Lima belas menit kemudian, sosok pria jangkung, berjas kasual warna biru gelap, memasuki kafe. Dia menoleh ke kanan dan kiri hingga matanya menemukan sosok Diandra yang melambaikan tangan pelan.
Sebastian menghampiri meja itu dengan senyum ramah.
"Hai, maaf ganggu waktu kalian."
Diandra berdiri dan memperkenalkan, "Sebastian, ini Mikha, dan ini Deborah. Mereka sahabatku sejak kuliah."
Sebastian menjabat tangan Mikha dan Deborah dengan sopan. "Senang akhirnya bisa bertemu. Diandra sering cerita tentang kalian."
"Wah, senang juga akhirnya bisa ketemu orang yang sering disebut-sebut tapi nggak pernah kelihatan," sahut Mikha sambil tertawa ringan.
"Kamu duduk sini, Bas," ujar Diandra sambil sedikit menggeser kursinya.
Pelayan datang, dan Sebastian memesan secangkir cappuccino. Begitu suasana mulai cair, mereka mulai mengobrol santai.
"Kalian sudah lama sahabatan?" tanya Sebastian, membuka percakapan.
"Sejak kuliah semester pertama. Kita satu jurusan, dan sejak itu kayak udah sepaket aja," jawab Deborah sambil tersenyum.
"Dan kebetulan juga, aku dan Deborah sudah lebih dulu nikah. Tapi tetap ngopi dan curhat kayak anak kampus," tambah Mikha.
Sebastian mengangguk. "Wah, luar biasa. Pasangan kalian pasti bangga punya istri yang saling mendukung begini."
Deborah tertawa. "Rayner, suamiku, itu orangnya diam dan agak kaku, tapi dia tahu banget kalau aku ketemu Diandra, pasti pulang bawa cerita segudang."
Sebastian terdiam sejenak, lalu menatap Deborah.
"Rayner … Rayner Brett?"
Deborah mengangguk, kaget.
"Iya! Kamu kenal?"
Sebastian tersenyum lebar.
"Tentu. Dia partner bisnis aku di proyek ekspansi logistik. Kita sering meeting bareng."
"Serius?" Deborah nyaris tak percaya.
"Dunia ini sempit banget ya."
"Dan kamu Mikha, suamimu bukannya Samuel Anderson?"
Mikha membulatkan mata.
"Kamu kenal juga? Ya Tuhan!"
"Dia sahabatku juga, kami satu alumni sekolah bisnis di London. Bahkan sempat bareng bikin venture kecil sebelum balik ke Jakarta."
Diandra yang sejak tadi diam menyimak, akhirnya angkat bicara. "Tunggu … jadi kalian bertiga ini sebenarnya satu lingkaran pertemanan yang saling beririsan?"
"Sepertinya begitu. He-he-he," sahut Sebastian sambil terkekeh.
"Cuma belum ketemu langsung aja."
"Duh, kenapa nggak dari dulu ya? Kita bisa triple date atau ngumpul bareng kayak reuni," ucap Mikha antusias.
"Aku pikir kalian udah tahu kalau Sebastian itu temen Rayner dan Samuel," ujar Diandra sambil menyandarkan punggung.
"Justru kita baru tahu hari ini. Tapi ini sinyal bagus, Di," ucap Deborah sambil menatap Diandra penuh arti.
"Kamu dikelilingi orang-orang yang support kamu dan Sebastian. Alam semesta udah kasi jalan, tinggal kamu mau buka hati atau nggak."
Sebastian hanya tersenyum dan menatap Diandra dengan lembut. "Aku nggak nyangka bisa ketemu kalian hari ini. Tapi senang sekali bisa mengenal dua orang penting dalam hidup Diandra."
Mikha menatap Sebastian dengan pandangan setuju. "Kamu terlihat tulus, Sebastian. Jagain temen kami ya. Dia kadang keras kepala, tapi hatinya lembut banget."
Sebastian menoleh ke Diandra, lalu menjawab serius,
"Aku akan berusaha sebaik mungkin. Karena yang sahabat kalian memang spesial."
Pipi Diandra langsung bersemu merah. Deborah dan Mikha hanya tertawa pelan sambil saling melirik penuh makna.
Obrolan mereka terus berlanjut dengan santai, tentang kerjaan, rencana traveling, bahkan pengalaman lucu masa kuliah. Suasana menjadi hangat, seperti reuni lama yang tak pernah terjadi.
Setelah hampir dua jam, Mikha dan Deborah pamit lebih dulu karena harus pulang menemui suami dan anak-anak mereka.
"Bas, jaga Diandra ya. Jangan bikin dia nangis," ujar Deborah sambil menjabat tangan Sebastian.
"Siap selalu, selama dua puluh empat jam penuh," jawab Sebastian bercanda, yang membuat semua tertawa.
Saat Sebastian dan Diandra tinggal berdua di meja itu, suasana mendadak menjadi sedikit lebih tenang. Mata mereka saling bertemu sejenak.
"Kamu senang aku nyusul?" tanya Sebastian perlahan.
Diandra tersenyum.
"Iya. Aku nggak nyangka kamu kenal mereka."
Sebastian menatapnya lembut.
"Mungkin ini cara Tuhan bilang, kita memang nggak terlalu jauh satu sama lain."
Diandra terdiam, namun dalam hatinya mulai tumbuh keyakinan kecil. Jika mungkin, kedekatan ini, memang bukan kebetulan semata.
