Pustaka
Bahasa Indonesia

CEO Gravity

89.0K · Tamat
Romansa Universe
80
Bab
14.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Seorang CEO tampan nan kaya yang hidup kesepian. Dengan segala hartanya, nyatanya dia tidak mampu membeli sesuatu yang bisa membuat hidupnya lebih berwarna. Serbuan gossip dan rumor-rumor miring tentangnya selalu mengikuti setiap langkahnya. Menghindari semua wanita yang mencoba menggodanya, membuat banyak orang berpikir bahwa dia adalah pria penyuka sesama jenis. Dia membayar seorang pelacur buta untuk melampiaskan nafsunya, yang tak lain adalah Susan. Susan tidak memiliki pengalaman tentang hal itu, dan dia sangat ketakutan. Tetapi seakan tidak bisa berbuat apa-apa lagi dengan keadaannya yang buta, dia menerima semuanya. Melayani Tora saat pria itu butuh pelampiasan nafsunya.

RomansaMetropolitanBillionaire

Bab 1 Gay?

Bab 1 Gay?

“Bagaimana menurut anda Pak Tora? Saya rasa proyek ini akan sangat menguntungkan bagi perusahaan anda.” Wanita yang saat ini sedang berdiri di ujung meja rapat menatap penuh minat ke arah Tora.

Sejak awal presentasinya, mata wanita itu selalu mencuri pandang ke arah dada Tora yang dibalut kemeja ketat dan dipadukan dengan jas biru gelap yang dipakainya. Ada tatapan tidak sabar yang diperlihatkan wanita itu, seakan ingin menelanjanginya saat ini juga.

“Tidak. Aku tidak tertarik.” Tora berucap dengan suara yang dalam dan penuh dengan penekanan.

Semua orang yang ada di dalam ruangan itu diam seakan mengerti keputusan akhir dari rapat ini. Jika pemilik perusahaan yang kini menduduki peringkat satu di dunia perbisnisan sudah mengatakan ‘tidak’ maka jangan berharap jika selanjutnya akan berubah menjadi ‘iya’.

Semua mata kini mengalihkan atensinya ke arah Tora. Tidak terkecuali sekretarisnya yang duduk di sebelah kanan. Wajahnya menyiratkan sedikit keberatan. Dia lalu berbisik pelan, “Pak, proyek ini sangat besar dengan tempat yang strategis. Jika kita menyetujuinya, kita akan mendapatkan keuntungan tiga kali lipat.”

Tora tidak langsung menanggapi ucapan sekretarisnya. Tetapi matanya kini menatap dingin ke arah wanita yang berbalut blazer hitam di ujung meja. “Tentu. Tapi akan sangat merugikan bagi perusahaan kita jika bekerja sama dengan orang-orang yang tidak memiliki attitude dan keprofesionalan dalam bekerja.” Tora berucap tegas dan dingin tanpa mengalihkan tatapannya dari wanita itu. “Marvin, cepat selesaikan rapat ini dan segera temui aku di ruanganku.”

Setelah mengatakan hal itu Tora beranjak dari kursinya dan meninggalkan ruangan rapat yang tiba-tiba menjadi hening seperti tidak berpenghuni. Wajah semua orang tiba-tiba menjadi tegang. Tidak terkecuali dengan wanita cantik yang ada di ujung meja. Wajahnya sudah memerah dan menjalar hingga di kedua telinganya. Sungguh, rasanya dia sangat malu dan rasanya dia ingin cepat-cepat keluar dari perusahaan ini sekarang juga. Ucapan yang dilontarkan Tora benar-benar membuat wajahnya sudah tidak berbentuk lagi. Bagaimana tidak, semua orang pasti mengerti apa yang dimaksud oleh pria itu dengan tatapan dinginnya yang tertuju ke arahnya.

Wanita itu kemudian sedikit berdehem dan mencoba untuk menguasai dirinya kembali. “Jadi, proyek kami ditolak?” tanyanya ke arah Marvin, sekretaris Tora.

“Maaf, tetapi keputusan yang telah diucapkan oleh pemimpin kami bersifat mutlak. Jadi, keputusannya kami tidak akan melakukan kerja sama dengan perusahaan anda.” Marvin membalas dengan penuh keyakinan.

Wanita itu tidak bisa berkata-kata. Dalam hatinya dia merasa sedikit menyesal karena telah mengabaikan gosip-gosip yang sudah tersebar luas tentang pria itu. Yang jelas dia seketika melupakan fakta gosip yang mengatakan bahwa pria itu sangat dingin, sarkas, tidak suka berbasa-basi, dan cenderung menghindar dari wanita. Yang tidak bisa ditampiknya adalah tubuh pria itu benar-benar terlihat sangat seksi walau dalam balutan kemeja yang berlapis jas gelapnya. Entah kenapa dia tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari objek itu.

Sial! Rasanya dia merasa terobsesi dengan pria seksi itu.

Terlebih lagi pria itu sudah mapan, bahkan sangat kaya dengan perusahaannya yang saat ini berada di puncak kesuksesan. Berada di rank satu perusahaan terkaya selama lima tahun berturut-turut, dipimpin oleh seorang CEO tampan dan sangat kaya tentunya. Siapa yang akan menolak pesona pria itu. Bahkan mungkin, semua wanita akan rela melempar dirinya dengan percuma jika saja pria itu tidak menolak mereka secara mentah-mentah.

Marvin kini berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruangan Tora. Bosnya bukan tipe pria yang suka menunggu. Semuanya harus selesai dengan cepat dan tepat.

Saat sudah berada di dalam satu ruangan yang sama dengan CEO, yang tidak lain adalah Tora, Marvin menjadi sedikit gugup karena tatapan bosnya tepat megarah ke dalam matanya. Bukannya dia takut, tetapi rumor yang mengatakan bahwa bosnya gay sedang mengganggu pikirannya saat ini. Bagaimana jika…

“Singkirkan pikiranmu yang tidak berguna itu.” Seperti tepat sasaran Marvin sedikit tersentak mendengar suara dalam milik Tora. “Aku tidak memberimu gaji untuk mendengarkan gossip sampah di luar sana”

“Maaf Pak, saya tidak bermaksud--”

“Keluar!!” usir Tora dengan suara yang sangat dingin.

Lantas Marvin pun langsung keluar dari ruangan itu, tidak berusaha untuk membela diri. Karena sangat berbahaya jika bosnya ini sampai marah.

Setelah kepergian Marvin, Tora menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Dia menghembuskan napasnya kasar, tidak habis pikir dengan orang-orang yang selalu mengomentari hidupnya. Terlebih dengan statusnya, dia sudah berumur dua puluh sembilan tahun saat ini, dan belum menikah. Lalu di mana letak kesalahannya dan bagaimana mereka sampai berpikir dia adalah penyuka sesama jenis.

Sangat menggelikan, pikirnya dalam hati.

Tora lalu menegakkan tubuhnya, tangannya kemudian meraih ponselnya dan mendekatkannya ke telinga setelah mendial nomor seseorang.

“Hubungi dia. Pastikan dia sudah menemukan apa yang kuminta dan segera bawa ke tempat yang sudah kukirimkan.” Setelah mengatakan hal itu, Tora langsung memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari seberang.

Matanya kemudian beralih menatap meja kerjanya. Faktanya bahwa dia akan meminta sekertarisnya itu untuk memeriksa beberapa dokumen, tetapi melihat gelagat pria yang sudah berkerja padanya selama tiga tahun itu, dia kemudian mengurungkan niatnya.

‘Benar-benar tidak ada yang bisa diandalkan selain dirimu sendiri’ kata-kata itu selalu tertanam dalam hatinya.

Perlahan tangannya mulai mengambil satu persatu dokumen itu, membukanya dan mulai menatap serius pada tulisan-tulisan yang tertera di sana, hingga larut kembali dalam dunianya.

Kantor sudah sepi sejak dua jam yang lalu karena jam kerja sudah berakhir. Jika karyawannya sudah bisa berendam air panas, berbeda dengan Tora yang justru masih bergelut dengan pekerjaannya. Terlalu pokus dalam pekerjaannya membuat Tora lupa waktu, hingga dering ponselnya mampu mengalihkan atensinya dan segera mengambil ponselnya.

“Bos. Dia mendapatkannya.” Suara di seberang sana terdengar.

“Hmm.” Sebuah jawaban singkat sebelum dia memutuskan sambungan telepon. Dia lalu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Setelahnya dia berdiri dari duduknya dan melangkah meninggalkan ruang kebesarannya itu.

Kakinya melangkah santai menyusuri lorong gelap kantornya, memasuki lift yang kemudian membawanya ke area basement yang dikhususkan untuk para petinggi kantornya.

Langit sudah berubah gelap saat mobil Ferrari yang dikendarai oleh Tora ke luar dari area kantor. Pemandangan yang selalu sama ketika dia meninggalkan kantor. Datang saat matahari belum menampakkan diri dan keluar ketika matahari sudah tidak terlihat lagi. Terasa sangat membosankan, tetapi dia sangat menikmatinya.

Saat ini mobil Tora sudah memasuki area parkiran sebuah gedung hotel mewah yang tidak jauh dari kantornya. Tempat persinggahan sebelum dia kembali ke apartemennya.

“Selamat malam Pak Tora,” sambut seorang resepsionis wanita ketika Tora berjalan di loby hotel.

Tapi tidak, jangankan membalas sapaan itu, untuk menoleh pun pria itu sangat enggan. Dia terus berjalan ke arah lift, menekan nomor lantai teratas di mana kamar yang dipesannya berada.

Tora mengeluarkan kartu yang digunakan untuk membuka pintu. Menggeseknya lalu setelahnya terdengar bunyi ‘klik’ yang artinya pintu sudah terbuka.

Saat kakinya baru saja memasuki kamar, dia sedikit terkejut dengan suara teriakan dari dalam hotel.

“Siapa di sana?!” suara seseorang yang membuat Tora menghentikan langkahnya. Pandangannya kemudian terfokus pada punggung mungil yang sedang memunggunginya di ruang tengah.