Bab 12
Ethan tampak menatap kosong ke layar handphone nya dimana terdapat foto dirinya dan Arinka saat berpacaran dulu. Tak pernah terbayangkan sedikitpun kalau Arin, wanita yang berhasil mengambil hatinya, yang berhasil menyembuhkan luka juga mimpi buruknya adalah dari musuhnya sendiri. Dan ia juga tidak bisa mempercayai kalau Arin mengkhianati dirinya dan menipunya.
Rasa cinta dan benci kini bercampur menjadi satu di dalam hatinya hingga membuatnya merasa kesakitan sendiri dan sesak. Kenapa takdir harus sekejam ini?
Bahkan sekarang ia pun belum tau harus bagaimana menghadapi Arin, mampukah dia membunuh Arin sesuai janjinya? Ataukah harus memaafkan Arin?
"Ethan." Panggilan itu menyadarkan Ethan dari lamunannya. Ia segera mematikan handphonenya dan menengadahkan kepalanya ke asal suara.
"Vallen?" serunya saat tatapannya beradu dengan mata tajam milik Vallen di depannya.
"Kau tampaknya sedang sibuk, sejak tadi aku memanggilmu." Vallen mengambil duduk di kursi yang bersebrangan dengan Ethan.
"Tidak juga, bagaimana? apa kau membawa kabar?" tanya Ethan.
"Aku menemukan dimana keberadaan anak sulung Jeff, Kakaknya Arin," ucap Vallen sedikit berdehem tetapi hanya wajah datar nan dingin yang di tunjukkan Ethan padanya.
"Kita harus menangkapnya dan menjadikannya sandra untuk memancing Jeff keluar," seru Ethan.
"Ethan, kenapa tidak kau jadikan Arinka sebagai sandramu untuk memancing Jeff keluar dari persembunyiannya? Atau memaksa Arin untuk berbicara, mungkin dia tau sekarang dimana keberadaan Dad dan Momnya." Vallen menatap tajam penuh selidik menatap perubahan raut wajah Ethan.
"Itu-" Ethan terdiam sesaat. "Akan ada saatnya dia yang akan ku sandra."
"Ethan, jangan selalu membohongi dirimu sendiri. Aku tau kalau kau tidak bisa menyakiti Arinka."
"Aku bisa menyakitinya, bahkan lebih kejam dari bayanganmu!" ucap Ethan penuh penekanan.
"Benarkah seperti itu?" tanya Vallen masih dengan nada tenang nan tajam.
"Apa kau meragukanku, Vallen?" Ethan bangun dari posisi duduknya dan berjalan memunggungi Vallen menatap keluar jendela.
"Kalau begitu lakukanlah," seru Vallen.
"Apa?" tanya Ethan sedikit membentak seraya menoleh ke arah Vallen.
Vallen berdiri dari duduknya seraya berdehem kecil. "Ku dengar malam ini akan ada badai salju dan semua warga Boston di larang keluar rumah. Jalananpun akan banyak yang di tutup, kalau kau memang bisa membunuhnya, maka tinggalkan Arin di tengah jalan saat badai berlangsung. Biarkan Arin meninggal karena kedinginan, bukankah itu lebih mudah?" tanya Vallen masih dengan nada santai membuat Ethan diam membisu.
"Kau bilang rahasia mengenai keterlibatan Arin hanya kau dan aku yang mengetahuinya, jadi membunuh Arin dengan meninggalkannya di tengah badai tak akan ada yang mencurigaimu," ucap Vallen.
"Kenapa kau ingin sekali aku melakukannya?" tanya Ethan menatap tajam ke arah Vallen yang menampilkan senyumannya.
"Karena aku ingin melihat kesungguhanmu, kau harus memutuskan pilihan yang tepat. Memaafkan Arin dan mempercayainya atau membunuhnya sekalian. Jangan hanya menyakiti perasaannya, karena itu tampak sekali perbuatan seorang pecundang."
Mendengar ucapan Vallen barusan membuat Ethan melotot kesal dan menahan amarah. Vallen hanya tersenyum simpul dan menerima panggilan masuk.
"Hallo princes," ucap Vallen.
"...."
"Daddy akan segera pulang, kamu jangan takut yah. Apa Grandma masih di sana?"
"...."
"Baiklah kalau begitu, Daddy akan segera kesana." Vallen mematikan sambungan telponnya.
"Valerie membutuhkanku, aku akan pulang," ucap Vallen.
Saat Vallen hendak kembali berucap, ucapannya tertahan di udara karena suara telpon di ruangan Ethan berbunyi nyaring. Ethan menekan tombol hijau hingga telponnya tersambung.
"Kenapa Maria?" tanya Ethan.
"Nyonya Arin ada di luar, Sir."
"Baiklah, suruh dia masuk." Ethan mematikan sambungan mereka.
"Lakukanlah saranku," ucap Vallen dengan senyumannya lalu terdengar suara pintu terbuka dan menampakan Arin di sana dengan kantong bawaannya.
"Hai Arin," seru Vallen.
"Hai Kak," jawab Arin diiringi senyuman kecilnya. "Bagaimana kabar Valerie?"
"Kabarnya baik, dia menanyakan kabarmu. Datanglah kapan-kapan," seru Vallen yang di angguki Arin.
Vallen berlalu pergi meninggalkan Arin dan Ethan berdua di dalam ruangan. Ethan menatap Arin tanpa ekspresi, membuat Arin merasa gugup dan menelan salivanya sendiri.
"Emm, kamu tidak sempat sarapan dan jarang makan malam di rumah. Aku membawakan makanan untukmu," ucap Arin dengan sedikit gugup.
"Aku tidak lapar," jawab Ethan dengan memalingkan wajahnya. "Pulanglah."
"Tidak, aku tak akan pulang sebelum kau makan, aku tidak ingin kondisi kesehatanmu terganggu."
"Apa perdulimu?" tanya Ethan dengan sinis menatap tajam ke arah Arin.
"Aku istrimu dan aku berhak merawatmu dan menjaga kesehatanmu." Arin berucap dengan cukup lantang.
"Begitukah, istri?" seru Ethan. "Dan bukankah seorang istri akan selalu mendukung suaminya?"
"Iya kau benar," jawab Arin.
"Kalau begitu lakukan sesuatu untuk suamimu," ucap Ethan dan berjalan mendekati Arin.
Ethan kini berdiri di hadapan Arin, ia merampas paksa handphone milik Arin yang berada dalam genggaman Arin. "Sekarang juga hubungi Ayahmu dan tanyakan dia ada dimana!"
Arin membelalak lebar mendengar penuturan Ethan, ada rasa takut di dalam hatinya, akankah Ethan mencelakai Ayahnya?
"Ada apa Arinka, kenapa kau diam saja? Bukankah kau ini ISTRIku, maka lakukan perintahku. Aku hanya memintamu untuk menanyakan keberadaannya kan, bukan membunuhnya!" ucap Ethan dengan tajam membuat Arin semakin membelalak lebar.
"Lakukan Arinka!" Ethan berucap dengan penuh penekanan seraya menyodorkan handphone ke arah Arin.
"A-aku-"
"Kau tidak bisa melakukannya untuk suamimu, hm?" tanya Ethan.
Dengan tangan yang sedikit bergetar, Arin mengambil handphone itu lalu mencari nama Ayahnya dan mencoba menghubunginya. Ethan masih berdiri di depan Arin dengan sabar. Arin masih menempelkan handphone pada telinganya dengan tatapan yang tertuju pada Ethan.
"Emm tidak di angkat," ucap Arin mematikan sambungan telpon.
"Lakukan lagi," perintah Ethan yang di turuti Arin.
"Masih tidak di angkat," ucap Arin membuat Ethan tersenyum mengejek.
"Kau sungguh bermuka dua Arinka! ku pikir kau sungguh gadis polos yang baik, tetapi ternyata kau jauh lebih picik!" hinaan Ethan membuat Arin mengernyitkan dahinya.
"Kau pikir dengan membawakan semua ini dan berlaga memperhatikanku, aku akan tertipu kembali oleh muka polosmu itu, hah!"
Prank
Arin memekik kaget saat kantong makanan yang di bawanya di tepis Ethan hingga jatuh ke lantai dan berserakan.
"Ethan," gumam Arin sekuat tenaga menahan air matanya supaya tak sampai jatuh membasahi pipi.
"Kau pikir bisa membodohiku, hah? Kau sudah bekerjasama dengan Ayahmu untuk menghancurkanku! Ayahmu tau kau bersamaku dan dia tidak akan mungkin mengangkat telpon darimu karena dia tau kau bersamaku. Terkecuali dia yang akan menelponmu! kau pikir bisa membodohiku, Hah?" bentak Ethan membuat Arin tersentak kaget.
"A-apa maksudmu Ethan? aku sungguh tidak paham. Aku menuruti keinginanmu dan kamu membentakku. Aku sungguh tidak tau Dad berada dimana," ucap Arin.
"Berhenti memasang tampang polos dan bodoh itu! aku tidak akan pernah tertipu oleh kebusukan kalian! Keluargamu sungguh keluarga bajingan dengan ribuan topeng dan kemunafikan!" Ethan mendorong lengan Arin hingga menyingkir dari hadapannya dan meninggalkan Arin sendirian.
"Kenapa? sebenarnya apa salahku," isaknya menatap nanar makanan yang ia hias dan masak untuk suaminya kini berserakan di lantai sudah tak berbentuk.
***
Malam semakin larut dan udara semakin dingin, hujan salju dan angin cukup kencang menghadang kota Boston. Arin berjalan sendirian dalam jalanan sepi dengan tumpukan salju dimana-mana. Rasa dingin seperti menusuk-nusuk ke dalam kulitnya hingga ke peredaran darahnya.
Sudah berkali-kali ia mengusap lengannya yang hanya memakai mantel tak terlalu tebal dan syal di lehernya. Rambutnya sudah penuh dengan butiran salju dan wajahnya yang putih itu semakin putih seputih kertas.
Ia terus berjalan tanpa lelah, pikirannya melayang ke kejadian tadi siang dan beberapa kejadian sebelumnya setelah ia menikah dengan Ethan. Terlalu banyak rasa sakit yang ia terima dari pria yang di anggapnya akan selalu membahagiakannya.
Bahkan sekarang kepercayaan Ethan pada dirinya pun sudah pupus terhapus dendam dan kebencian. Kebencian Ethan pada Ayahnya begitu besar hingga Ethan tega memperlakukannya dengan seperti ini.
Arin tak mengetahui apapun, bahkan kejadian itu saat Arin bahkan mungkin masih belajar berjalan. Tetapi kenapa kebencian itu harus di tanggung olehnya.
Arin lebih ikhlas kalau Ethan membunuhnya, Arin bisa meninggal dengan membawa cintanya untuk Ethan hingga mati. Bukan kesakitan seperti ini, siksaan yang lebih menyakitkan daripada siksaan fisik. Perlahan-perlahan tetap akan membunuhnya karena cinta itu sendiri. Arin tak ingin dia menjadi membenci cinta dan membenci Ethan, tetapi kalau Ethan terus menyiksa hati dan batinnya seperti ini, akankah cinta itu tetap bertahan tanpa ada rasa benci?
Arin mengambil duduk di halte bus yang sepi, kepalanya ia sandarkan dan matanya ia pejamkan. Tanpa sadar air mata itu kembali luruh membasahi sudut matanya.
Kenapa takdir harus mempermainkannya seperti ini, dia tak bisa memilih rasa sayangnya pada Daddy dan rasa cintanya pada Ethan. Haruskah ia mengorbankan salah satu dengan memutuskan hubungan yang terjalin kuat dengannya? Lalu manakah yang harus ia korbankan dan pertahankan?
***
"Bagaimana bisa kau tak menemukannya!?" pekik Ethan melalui sambungan telponnya.
"...."
"Aku tidak mau tau, kau harus menemukan keberadaan Arinka malam ini juga! Cari dia sekitar kantor dan sepanjang jalan dari kantor ke sini! Apa kau paham?" bentak Ethan seraya menutup sambungan telponnya dan melempar handphonenya ke atas ranjang dengan kesal.
"Sial! kemana dia pergi!" gerutunya. "Apa dia berniat meninggalkanku dan melaporkan apa yang terjadi di sini pada tua bangka itu?" gerutunya dengan sangat emosi.
Sebenarnya bukan hanya rasa kesal dan kebencian yang di rasakan Ethan, melainkan rasa khawatir yang besar karena Arin masih belum kembali juga sejak siang tadi.
"Dimana wanita itu," gumamnya mengusap wajahnya dengan gusar.
****
