Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Bertemu Pacar

Suara dentingan sendok mewarnai meja kami. Sesekali canda dan tawa ikut mengiringi. Kami sengaja makan di sekitar bandara, agar nanti gampang mencari transportasi menuju kawasan Malioboro.

"Habis ini, rencana kamu apa Mbar?" Aku menoleh ke arah Ilo yang rupanya sudah selesai makan.

"Gak tahu Il. Yang jelas bantu-bantu Ibu jualan dulu paling. Lainnya, nantilah. Kamu sendiri gimana?"

"Aku mau buka dealer mobil niatnya."

Aku menghentikan suapanku, menoleh kearahnya. Kutatap mata Ilo dengan penuh selidik. Tatapan itu begitu yakin.

"Kamu yakin?"

"Iyalah, yakin banget."

"Prospeknya kira-kira bagus gak?"

"Baguslah, kan sekarang roda empat banyak yang nyari."

"Eh Il, gak mending motor aja?" celetuk Tuti.

"Gak ah, udah banyak. Aku mau mobil aja."

"Modal lumayan tuh?"

"Iya Tut, makanya aku getol nyari modal dulu."

Aku dan Tuti saling berpandangan. Sementara Yuyun yang paling polos asik makan. Tiba-tiba selera makanku jadi ambyar.

"Habis ini kita jalan-jalan dulu yuk?" ajak Ilo.

"Tentulah. Buat apa jauh-jauh ke Jogja cuma naik sepur (kereta) sama ngubengi (mengelilingi) bandara doang. Rugi," celetuk Tuti.

"Ayo, jangan lupa kita beli jajanan ya sama mampir beli daster. Hehehe." Yuyun semangat sekali kalau masalah jajan dan belanja.

Kami pun menuju ke kawasan Malioboro. Disana kami membeli beberapa daster, batik dan tentu saja jajanan khas Jogja.

"Mbar."

"Hem."

Kulirik Ilo, dia hanya menatapku tanpa suara membuatku malu dan sepertinya pipiku memerah karena rasanya hangat.

Aku membuang mukaku. Tak sanggup  bertatapan dalam waktu yang lama dengan mata tajam itu.

"Hahaha. Kamu itu gemesin tahu Mbar."

"Apaain sih? Tahu ah."

Aku berjalan duluan sambil menekan kedua pipiku dengan tanganku. Sebuah remasan pada tangan kiriku menerbitkan senyum pada bibirku.

"Sayang yah, kita cuma bisa ketemu sebentar."

"Iya."

"Nanti aku main ya?"

"Boleh. Ibu pasti seneng."

"Ibu apa kamu?"

"Menurutmu?" ujarku sinis.

Ilo hanya tertawa lalu menarik tanganku untuk mengunjungi salah satu toko batik.

"Ini buat kamu, ibu sama adik-adikmu."

Ilo mengulurkan beberapa batik padaku dan aku pun menerimanya dengan senang hati. Aku hendak bilang sesuatu namun sebelum kata terucap, Ilo sudah bicara kembali.

"Kamu gak usah beliin aku apa-apa. Cukup hatimu aja yang buat aku ya?"

Aku tertawa, "Kamu lebay deh Il."

"Tapi kamu cinta kan?"

"Enggak."

Mata Ilo membelalak, kemudian tatapannya sangat tajam menghujamku. Aku tertawa.

"Enggak salah."

"Ck. Kamu ya. Awas kau!'

"Aw .... aw ... aw. Sakit Ilo." Jeritku karena pipiku sudah ditarik oleh Ilo.

Hampir dua jam kami menghabiskan waktu menikmati suasana Malioboro dan sekitarnya. Dan kini kami berdua sudah menaiki trans Jogja untuk menuju stasiun Lempuyangan.

"Aku balik ya Il," pamitku.

"Iya, hati-hati ya."

"Iya, kamu juga. Salam buat ibumu ya."

"Salam juga buat ibumu."

Hening. Tak ada dari kami yang bersuara.

"Coba aku masih di Cilacap ya Mbar, pasti kita bisa pulang bareng."

"Ya mau gimana lagi?"

Keluarga Ilo pindah ke Pati sejak dua tahun lalu. Ayah Ilo asli Pati.

"Ya sudah sana masuk. Keretanya bentar lagi berangkat."

Aku mengangguk lalu kami berdua berjabat tangan. Jangan kalian bayangkan model pacaran kami ala anak ABG jaman sekarang. Bagi kami sebuah hubungan akan menjadi baik dengan saling menjaga hati dan diri. Termasuk menjaga diri dari bersentuhan dengan yang belum halal. Karena disadari atau tidak sentuhan tangan akan merambat pada sentuhan yang lainnya. Hingga akhirnya berujung pada zina.

"Aku pulang," ucapku.

"Iya. Hati-hati."

"Kamu juga."

Aku menaiki gerbong dan sepintas menatap Ilo. Ilo menyunggingkan senyumnya kemudian melambaikan tangan. Aku pun ikut tersenyum lalu melambaikan tangan dan segera masuk untuk mencari tempat duduk. Kebetulan tempat dudukku berada di sebelah kiri sedangkan Tuti dan Yuyun berada di sebelah kanan.

Karena kursi dekat jendela masih kosong aku sengaja duduk di sana sambil menyandar pada kaca jendela. Cukup lama aku memandang ke luar seolah-olah aku melihat bayangan Ilo yang tengah menatapku dari luar.

"Permisi, maaf kursi saya di dekat jendela."

Aku menggeser tempat dudukku menjauh dari jendela.

"Terima kasih."

Sama sekali aku tak melirik atau bersuara pada penumpang itu. Aku malah sibuk memposisikan diri dan mencoba memejamkan mata. Mungkin karena lelah aku pun tertidur.

Pemberitahuan kalau kereta sebentar lagi memasuki stasiun Purwokerto terdengar. Aku menggeliat kemudian menoleh ke arah kanan. Kedua sahabatku rupanya juga baru bangun.

"Nyampe Purwokerto ya Mbak."

"Iya." Ucapku sambil menata barang-barangku, takut ada yang ketinggalan.

"Ayuk siap-siap."

"Oke."

Kami beriringan menuju pintu keluar.  Yuyun sejak tadi menatapku aneh. Seperti ada binar memuja. Kenapa tuh anak? Kesambet atau gimana?

"Jalan Yun, cepetan."

"Eh. Hehehe."

Turun dari kereta kami langsung berjalan keluar stasiun.

"Ngopi dulu yuk?" ajak Tuti.

"Oke."

Kami beriringan menuju Indonesiamart dan memesan tiga cup kopi.

"Mbak Ambar."

"Hem ... apa Yun?"

"Cowok yang tadi duduk sama Mbak, ganteng banget loh."

Aku mengernyit, "Oh ya?"

"Hooh. Suer ewer ewer mirip Wang Yibo."

Plak.

"Aw, Mbak Tut? Sakit?"

"Halumu kejauhan. Gak kok Mbar, kulitnya emang putih tapi gak mirip Wang Yibo."

"Jadi intinya cakep apa nggak nih?" tanyaku.

"Cakep." Kompak keduanya.

"Ooo."

Plak.

"Apa sih Tut?"

"Kamu itu kebiasaan kalo sama cowok cuek. Pasti kamu gak merhatiin tampangnya 'kan?"

"Enggak."

"Ck. Dasar. Diajak kenalan kek, malah kamu tinggal tidur. Malah pake nyandar  manjah lagi."

"Hah? Yang bener?"

Kedua sahabatku mengangguk. Alamak, aku lupa punya kebiasaan asal nyandar kalau lagi bobo cantik.

"Ya Allah, beneran aku nyandar ke dia?"

"Beneran?"

"Suer?"

"Wer ewer ewer." Lalu keduanya tertawa.

Aku menutup mukaku. Ya Allah malunya.

"Gak papa lah, toh gak bakalan ketemu lagi."

"Kalau ketemu lagi gimana Mbak?"

"Pura-pura gak kenal lah? Orang aku aja gak hafal mukanya."

"Ntar juga lama-lama hafal ya Mbar?" Tuti menatapku dengan senyum jahil.

"Iyalah bakalan hafal, orang ntar jadi suamiku. Kamu mau aku ngomong gitu?" ucapku dengan nada sinis.

"Aamiin."

"Astaghfirullah, kok diaminin sih?"

"Doa baik harus diaminin ya gak Yun."

"Hooh Mbak, dari pada nungguin Mas Ilo yang gak jelas. Mending sama yang jelas."

"Emangnya yang mau ngasih kejelasan buat aku selain Ilo siapa?"

"Tarnooooo." Kompak keduanya.

"Apa? Big no. Hiiii, plis deh. Hidungku imut tapi muka gak jelek-jelek amat kali."

"Ya gak papa, Juragan Tarno lumayan kok. Lumayan kaya ya gak Yun."

"Hooh, siapa tahu Mbak Ambar jadi istrinya."

"Istri kelima maksudnya," lanjut Tuti.

"Astagfirullah. Ogah. Kenapa gak kalian aja?"

"Ogah!" seru keduanya. Dan kami pun tertawa.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel