Pustaka
Bahasa Indonesia

Bucin Berujung Sengsara

32.0K · Ongoing
Laradin
40
Bab
226
View
9.0
Rating

Ringkasan

Kepercayaan yang Syaila berikan kepada sang suami ternyata tidak membuat pernikahannya baik-baik saja. Azka, sang suami yang ia bangga-banggakan selama ini mengkhianati nya. Berselingkuh dengan sekretaris barunya. Hal tersebut tentu membuat Syaila terluka. Ia mengajukan gugatan perceraiannya. Naas, rencananya harus tertahan karena sang ayah tidak menyetujui perceraian itu. Sebab hubungan bisnis yang sudah lama terjalin dengan keluarga Azka. Haruskah Syaila menentang keinginan sang ayah atau ia lebih memilih memaafkan Azka walaupun hatinya tidak rela? Nantikan kelanjutan ceritanya!!!

PresdirPerceraianPengkhianatanMenantuRomansaPernikahanKeluargaIstriMenyedihkanPerselingkuhan

Kepercayaan

"Aku enggak pulang lagi ya malam ini, sayang. Urusanku belum selesai."

Perempuan cantik berkemeja satin itu tersenyum maklum saat mendengarkan ucapan suaminya melalui sambungan telepon. Ia memutarkan kursinya lalu beranjak duduk di sofa.

"Iya, enggak apa-apa, Mas. Semoga pembukaan cabang barunya lancar, ya?" jawabnya kemudian.

"Hmm, makasih. Aku tutup dulu, ya. Love you."

"Eum, love you more."

Syaila memandangi ponselnya beberapa saat setelah panggilan dari suaminya itu berakhir.

"Najis bucin!" Suara wanita lain menyahut. Itu Nadira, sekretaris sekaligus sahabat Syaila.

Wanita dengan tahi lalat di hidungnya itu nampak muak mendengar percakapan antara Syaila dan suaminya tadi. Tidak, ia tidak iri melihat sahabatnya itu nampak mesra dengan Azka—suami Syaila. Nadira hanya merasa sahabatnya itu terlalu percaya kepada Azka.

"Apa sih! Lo tuh, sinis mulu kalo gue lagi sama Azka. Buruan nikah, biar enggak jadi jones! Jomblo ngenes," gurau Syaila santai diakhiri kekehan.

Nadira memasang wajah sinis. Matanya mendelik persis tokoh antagonis di sinetron yang sering ia lihat di televisi. "Gue tuh bukan enggak laku. Cuma gue enggak percaya sama yang namanya cowok. Semuanya sama aja!"

"Azka beda. Mau apa lo?" tantang Syaila dengan wajah menyebalkan.

Bola mata Nadira memutar malas. "Gini, ya bu bos Syaila. Lo tuh jangan percaya-percaya banget sama cowok. Azka enggak pulang tiga hari menurut lo dia kemana? Lo bisa jamin dia enggak macem-macem di luar sana?"

Syaila membenarkan posisi duduknya. Menatap sahabatnya lekat, dengan serius. "Dalam suatu hubungan itu harus ada yang namanya kepercayaan, Nad. Gak perlu khawatir dia ngapain aja. Kalau dia tahu batasan, dia akan menjaga kepercayaan yang gue kasih sama dia."

"Kalau enggak?" tanya Nadira. Perempuan itu berdehem. "Lo nyadar enggak sih, sama sikap suami lo yang seolah seenaknya sama lo? Yang katanya nganterin sekretaris nya pulang lah, nemenin sekretaris barunya ke rumah sakit buat jenguk ibunya. Lo pikir itu wajar? Terus lo oke-oke saja dia nginep lagi di sana?"

"Gue percaya Azka. Memangnya enggak boleh berbuat baik sama bawahan?" tanya Syaila balik. Ia menanggapi ucapan Nadira dengan santai sampai sekretaris nya itu dibuat gemas sendiri.

"Astaga! Lo kayaknya bukan bucin lagi sama Azka. Tapi udah di titik cinta mati." Nadira geleng-geleng kepala.

Syaila bukan tipe istri yang selalu menaruh curiga kepada suaminya sendiri. Karena menurutnya, itu hanya akan membuang-buang waktu.

"Azka kan lagi pembukaan cabang baru. Mungkin kalau bolak balik agak repot. Gue enggak apa-apa, kok. Ini kan buat masa depan gue, anak gue, sama Azka juga," tutur Syaila dengan nada rendah.

"Halah! Lo sekali-sekali marah dong, Sya sama Azka. Jangan iya-iya aja. Emang dasarnya bucin si jadi begini."

Tidak menghiraukan Nadira, Syaila memilih meraih remot televisi dan mengayalakannya. Ia memilih channel yang menampilkan Berita.

"Azka Prabakesa. Pengusaha muda itu kembali melebarkan sayapnya. Pria berusia 31 tahun itu kini membuka cabang perusahaannya yang ke tiga"

Keluarga Azka memang tidak pernah luput dari media. Semenjak Syaila menikah dengan Azka pun, perempuan itu harus membiasakan diri hidup diikuti kamera. Entah, publik seolah lebih penasaran mengapa putra tunggal dari keluarga Prabakesa itu bisa sesukses itu. Terlebih, Azka memiliki wajah yang rupawan, sehingga orang-orang senang menyorot apapun yang Azka lakukan.

"Tuh liat, suami gue tuh kerja. Lo mah buruk sangka terus. Gue curiga lo sebenernya suka deh sama suami gue," selidik Syaila yang langsung dihadiahi tatapan tajam dari Nadira.

"Dih! Kalo iya juga dari dulu gue rebut suami lo. Dah ah mending gue balik!" Nadira mengambil map yang tadi ia berikan untuk Syaila tanda tangani. Lantas ia membalikkan tubuhnya membuat Syaila bereaksi heran.

"Apa?" kening Syaila mengernyit.

"Kepercayaan itu sama halnya kaya hati, Sya. Lo enggak boleh kasih ke sembarang orang. Lo belum tahu sih rasanya dibohongin sama orang yang bahkan sangat kita percaya. Sakit ... Sampe rasanya gue enggak mau lagi percaya sama manusia. Kalo bisa, gue mending hidup sama gorila."

Mendengar nada bicara Nadira yang seperti sebuah lelucon, Syaila terkekeh. Ia sempat melirik televisi yang menampilkan wajah suaminya dan sekretaris baru Azka. Tapi detik berikutnya, ia mematikan televisi itu.

"Lo enggak salah. Kepercayaan memang enggak bisa kita kasih ke sembarang orang. Tapi gini, manusia enggak bisa tahu isi hati orang lain kan? Gue, bahkan lo juga mungkin enggak tau harus kasih kepercayaan itu ke siapa. Sementara kita cuma punya kapasitas buat nilai orang dari apa yang kita lihat, denger, atau rasain."

"Tapi gue liat lo cuma pake hati." Nadira meraih knop pintu di hadapannya. Melanjutkan, "Pake logika juga, Sya. Biar lo enggak sakit hati dikemudian hari." Sekretaris dari Syaila itu berlalu begitu saja selepas mengucapkan itu.

Helaan napas panjang terdengar dari mulut Syaila. Ia berdiri menghadap jendela, memandang begitu sibuk nya jalan ibu kota sore itu. Tapi meski begitu, pikirannya masih kalah sibuk menerka.

Ia tahu Nadira memiliki sebuah trauma terhadap laki-laki karena ayahnya. Bersyukur dia dan ibunya bisa survive kembali.

Jika dipikir kembali, Nadira bukan tipe orang yang suka menuduh atau berbicara omong kosong. Syaila jadi menerka-nerka apakah Nadira mengetahui sesuatu yang tidak ia ketahui sehingga dia sering kali mengingatkannya untuk tidak terlalu percaya Azka?

"Sebenernya lo, tuh mau ngasih tahu tentang apa sih, Nad?" gumam Syaila.

Sebuah notifikasi dari ponselnya membuat lamunan Syaila harus terpaksa ia sudahi. "Oh, Azka," lirih Syaila.

Pesan dari Azka yang memberitahu kembali jika lelaki itu lusa baru bisa pulang.

Itu tidak masalah bagi Syaila. Yang jadi masalahnya sekarang, bersamaan nya ia akan membalas pesan dari Azka, Nadira juga mengirimnya sebuah pesan yang mampu membuat keningnya mengernyit.

[Lo kalau mau tahu kelakuan suami lo kaya apa, sekarang ke Jakarta pusat ke hotel still sleep. Itu hotel punya bokap gue, mintain kunci back up nya sama resepsionis. Sorry gue enggak bisa nemenin.]

Jika boleh memilih, Syaila tidak mau tahu apa-apa. Ia lebih takut kecewa dengan seseorang yang ia anggap baik. Tapi pesan yang Nadira kirim untuk ke dua kalinya membuat Syaila begitu penasaran. Sebenarnya Nadira ingin menunjukan apa padanya?

[Lo harus tahu, Sya. Gue harap lo susulin suami lo. Gue gak mau temen gue dibodohin sama cowok kaya Azka. Lo enggak usah takut, gue selalu ada di belakang lo.]

Untuk memastikan dan memenuhi rasa penasarannya, Syaila lantas merapikan perlengkapan pulangnya. Meraih tas dan jasnya lalu segera keluar dari ruangan yang sudah sepenuhnya gelap itu.

Ia berjalan sedikit terburu-buru sehingga ujung sepatu haknya menimbulkan suara yang cukup nyaring di telingaal. Beberapa karyawan nya yang lembur saling adu pandang. Mungkin mereka bertanya-tanya, mengapa bosnya itu terlihat sangat buru-buru. Pun biasanya Syaila akan menyapa dengan senyum lebar atau sebuah gurauan, tapi sore ini ia tidak melakukannya.

"Gue harus ke sana nyusulin Azka. Gue buktiin kalau omongan Nadira itu salah." Syaila tidak berhenti meyakinkan dirinya sendiri.

Hatinya terlalu gundah. Ia memikirkan banyak hal kemungkinan. Ia tidak siap untuk kemungkinan terburuk nya. Doa yang ia terus lapalkan adalah, semoga Azka tidak diantara kemungkinan-kemungkinan buruk itu.

Ketika mobilnya keluar dari parkiran, langit sudah sepenuhnya gelap. Kakinya menginjak pedal gas sedikit lebih dalam, sebab dua jam harus ia lewati untuk menuju hotel yang Nadira katakan tadi.

"Gue yakin Azka bisa jaga kepercayaan gue. Iya, gue yakin," ulang Syaila. "Please jangan macet. Gue mohon .... "

Beruntung sore menjelang malam jalanan lenggang. Sehingga mobil hitam yang ia kendarai dengan lancar menghantarakan keresahannya.

Sampainya di tempat tujuan, detak jantung Syaila kembali berpacu, ketika ia mendapati mobil Azka ternyata ada di sana.

"Bukan! Bukan! Mobil yang sama seperti itu ada banyak. Iya, itu pasti bukan punya Azka." Syaila berusaha menepis pikiran buruk dalam kepalanya.

Keresahan hatinya semakin membuncah, tapi pikirannya masih bisa berpikir positif. Kemudian ia keluar dari mobil menuju meja resepsionis. Butuh waktu beberapa menit untuk Syaila mendapatkan kunci back up yang Nadira maksud. Karena resepsionis itu sempat tidak percaya dengan dirinya. Beruntung Nadira meneleponnya, jadi Syaila dapat mendapatkan kunci itu.

Melewati puluhan pintu kamar hotel, pintu nomor 350 akhirnya ia temukan. Kemudian setelah ia mengumpulkan keberaniannya. Syaila membuka pintu itu dengan hati-hati.

Kakinya tiba-tiba merasa lemas setelah melihat apa yang suaminya tengah lakukan dengan perempuan lain. "Azka?" ucapnya gemetar.