Bab 7. Kedatangan Orang Tua Joice
Pelupuk mata Joice terbuka secara perlahan. Object pertama yang Joice lihat adalah Hana. Manager-nya itu duduk di tepi ranjang dan terus menatapnya. Dia sedikit memijat kepalanya di kala merasakan sedikit pusing.
“Joice, minumlah.” Hana segera memberikan segelas air putih untuk Joice, dan juga membantu Joice untuk sedikit bangun.
“Thanks, Hana.” Joice meminum perlahan air putih itu.
Hana meletakan secangkir gelas yang berisikan air putih ke atas meja. “Aku senang kau sudah siuman, Joice.”
Joice duduk dibantu Hana. Wanita itu bersandar di kepala ranjang dalam posisi ada bantal yang bisa membuat punggungnya merasa empuk dan nyaman. Tampak raut wajah Joice menjadi muram. Kepingan memori ingatannya mengingat semuanya.
Kehamilan yang sama sekali tidak pernah dia sangka. Joice tak mengira hubungan satu malamnya dengan Marcel berakibat membuat dirinya sampai harus mengandung benih pria itu.
Jika saja Joice bisa bertindak untuk mencegah kehamilan, maka dia akan melakukan hal tersebut. Dia tahu bahwa anak yang dirinya kandung hanya akan merasakan penderitaan.
Menikah dengan Marcel De Luca adalah hal yang sia-sia. Joice tidak ingin anaknya lahir ke dunia dan harus menyaksikan pahitnya kehidupan. Bagi Joice lebih baik anak yang ada di kandungannya tidak perlu lahir ke dunia.
“Joice, are you okay?” tanya Hana hati-hati melihat Joice yang sejak tadi muram.
Hana tahu bahwa banyak sekali beban berat yang dipikirkan Joice. Pun dia tak berani mengajukan banyak rentetan pertanyaan. Pasalnya tadi dokter mengatakan kandungan Joice lemah. Joice dilarang memikirkan beban berat. Itu yang membuat Hana semakin berhati-hati. Dia tidak mau membuat Joice semakin sakit.
Joice berusaha tersenyum. “Kau sudah tahu semuanya, kan?”
Hana menggigit bibir bawahnya dan mengangguk. “I-iya, sudah, Joice. Tapi aku tidak akan pernah menyalahkanmu. Aku yakin semua yang terjadi ada alasannya.”
Hana tidak mau menghakimi Joice. Dia sangat mengenal sifat Joice seperti apa. Mungkin saja kehamilan Joice disebabkan oleh sebuah insiden yang sama sekali tak dia ketahui. Itu kenapa Hana tetap berpikir positive dan bijak tentang Joice.
Joice terdiam sebentar dan menatap lurus ke depan. “Aku tidak pernah menjebak Marcel. Aku memang sangat mencintainya. Dia adalah cinta pertamaku sejak aku kecil, dan tidak pernah sedikit pun aku ingin menjebaknya agar dia bisa menjadi milikku. Tepatnya sudah lebih dari satu tahun aku berhenti berharap padanya. Tapi semuanya hancur berantakan. Aku dan Marcel terjebak di malam yang seharusnya tidak terjadi, Hana. Anak yang aku kandung adalah anak hasil dari sebuah kesalahan. Kalau aku tetap nekat melahirkan anak ini, sama saja aku tega membiarkan anakku hidup menderita.”
Dulu, Joice selalu menaruh harapan lebih pada Marcel. Sejak dia masih kecil, Marcel adalah pusat kehidupannya. Akan tetapi semuanya telah berubah. Sudah lebih dari satu tahun Joice memutuskan menyerah pada perasaannya.
Joice tahu bahwa sekeras apa pun dirinya berusaha mendapatkan hati Marcel, tetap saja itu semua percuma. Joice tidak pernah bisa mengambil hati Marcel. Dia sudah memutuskan untuk menyerah. Tapi ternyata semesta kembali berusaha membuat Joice harus kembali dipertemukan dengan pria yang selama ini mati-matian sudah dia lupakan.
Hana tak langsung menjawab apa yang Joice katakan. Wanita itu sangat mengerti berada di posisi Joice sangatlah tidak mudah. Dia tahu banyak hal yang telah Joice lewati. Pun dia tahu tentang cinta Joice yang selalu mendapatkan penolakan dari Marcel.
Joice dulunya tak pernah lelah mengejar Marcel De Luca, tapi sekarang Joice cenderung lebih menekan perasaannya. Walau sebenarnya Hana yakin seratus persen bahwa cinta Joice pada Marcel tak pernah padam.
“Joice, kalau boleh aku saran lebih baik kau pikirkan ini. Jangan dulu terburu-buru dalam mengambil sebuah keputusan. Jujur, aku tidak setuju dengan keinginanmu yang ingin menggugurkan kandungan. Apa bedanya kau dengan seorang pembunuh, Joice?” Hana memberi tahu pada Joice tentang pendapatnya.
Joice diam seribu bahasa dengan raut wajah yang nampak sangat muram. Tidak ada kata yang dia ucap di kala Hana mengatakan apa beda dirinya dengan seorang pembunuh. Kalimat yang sangat menancap relung hatinya terdalam.
***
Marcel menatap lurus ke depan dengan jutaan hal yang membendung pikirannya. Raut wajahnya menunjukkan keseriusan. Otaknya penuh dengan banyak hal yang mengusik ketenangan dalam dirinya.
“Marcel?” Paige melangkah mendekat ke arah Marcel. Refleks, Marcel mengalihkan pandangannya menatap Paige.
“Paige? Kenapa kau di sini?” Marcel menatap Paige yang mendekat ke arahnya. Dia sedikit kesal karena Paige mendatangi kantornya. Dia sedang benar-benar tidak ingin diganggu.
“Aku merindukanmu, Marcel. Kenapa teleponku tidak kau jawab?” Paige memeluk lengan Marcel, menciumi lengan kekar pria itu.
Marcel mengembuskan napas kasar. “Aku sedang sibuk, Paige. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.”
Bibir Paige menekuk sebal. “Iya, aku tahu kau pasti sibuk dengan pekerjaanmu, tapi aku merindukanmu, Marcel. Harusnya sesibuk apa pun dirimu, kau tetap menjawab teleponku.”
Marcel kembali mengembuskan napas kasar. Ya, dia memang tidak menjawab telepon Paige, karena pikirannya benar-benar sangat penuh. Dia tidak bisa berpikir jernih. Terlebih dirinya memiliki masalah rumit.
“Paige, jangan kekanakan. Pulanglah. Nanti aku akan menghubungimu, kalau waktuku sudah senggang,” tukas Marcel dingin dan penuh penekanan.
Paige nampak kesal dengan sikap dingin Marcel. Dia ingin sekali menghabiskan waktu berdua dengan Marcel seperti sebelumnya, akan tetapi sikap dingin Marcel, membuat Paige mau tidak mau harus menurut. Paige sangat mengenal sifat Marcel. Bisa-bisa, Marcel murka padanya kalau sampai dirinya tak patuh pada pria itu. Marcel selalu menyukai jika Paige menurut padanya.
“Baiklah, tapi sebelum aku pergi, aku ingin bertanya padamu kenapa kau terlihat peduli sekali pada Joice?” tanya Paige seraya menatap Marcel. Dia cemburu melihat Marcel menggendong Joice di kala Joice pingsan waktu acara pelelangan berlian langka.
“Aku bukannya peduli. Aku hanya kasihan,” jawab Marcel dingin.
Paige menatap Marcel. “Kau tidak bohong, kan?”
Marcel memberikan tatapan dingin pada Paige. “Jika aku menyukai Joice, maka aku pasti sudah menjalin hubungan dengannya sejak lama. Kau tahu itu, Paige. Jadi berhenti berpikir konyol!”
Paige terdiam sebentar mendengar ucapan Marcel. Apa yang dikatakan Marcel adalah benar. Jika memang Marcel menyukai Joice, maka pasti sudah sejak lama Marcel dan Joice menjalin hubungan. Mengingat keluarga Marcel dan Joice sangatlah dekat.
Paige membelai rahang Marcel. “Ya sudah, aku akan pulang sekarang, tapi kau janji kalau nanti kau senggang kau akan meneleponku?” pintanya dengan tatapan memohon pada Marcel untuk tetap menghubunginya.
Marcel mengangguk singkat merespon ucapan Paige.
Paige mengecup bibir Marcel. “Bye, Sayang,” bisiknya sengaja menggoda—lalu melangkah pergi meninggalkan Marcel.
“Tuan.” Hendy—asisten pribadi Marcel—melangkah menghampiri Marcel di kala Paige sudah pergi meninggalkan ruang kerja Marcel.
Marcel menatap dingin asistennya itu. “Ada apa?”
“Tuan, maaf mengganggu Anda, saya hanya ingin memberi tahu kalau kedua orang tua Nona Joice Osbert sudah mendarat di Milan sekitar beberapa menit lalu. Saya yakin mereka akan langsung menuju ke rumah sakit menemui Nona Joice Osbert,” jawab Hendy sopan memberi tahu.
Marcel memejamkan mata singkat. “Kau siapkan pernikahanku dengan Joice secara tertutup.”
Hendy terkejut. “Tuan, Anda—”
“Joice mengandung anakku. Aku harus menikahinya sampai paling tidak anak itu lahir. Setelah itu aku akan bercerai dengannya,” jawab Marcel yang sontak membuat Hendy semakin terkejut.
“T-Tuan, a-apa Anda yakin? M-maksud saya apa Anda yakin akan mengatur semua ini? Nona Joice Osbert adalah keponakan dari Tuan Samuel Maxton—yang mana adalah Suami dari Bibi kandung Anda, Tuan. Jika sampai Anda berani menikah dengan Nona Joice Osbert, maka itu artinya Anda diwajibkan untuk serius,” ucap Hendy mengingatkan Marcel.
Joice adalah keponakan dari Samuel Maxton—seorang pengacara kondang—yang merupakan juga suami dari Bibi kandung Marcel. Bibi kandung Marcel ini adalah saudara kembar ibunya sendiri. Itu yang membuat semakin rumit.
Marcel menyadari bahwa masalah ini akan berdampak di keluarga besarnya nanti. Dia akan mendapatkan amukan besar dari keluarganya. Tidak tanggung-tanggung pasti dirinya juga akan mendapatkan kemarahan dari ibu kandungnya sendiri.
Akan tetapi, meski demikian Marcel sama sekali tidak peduli. Yang Marcel pikirkan adalah dirinya segera menyelesaikan masalah dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Orang lain tidak berhak ikut campur dengan apa yang Marcel pikirkan.
“Kau cukup patuhi perintahku, Hendy. Aku akan mengatur apa pun yang aku inginkan. Tidak ada yang bisa menghentikanku,” tukas Marcel dingin penuh penekanan dan ketegasan di sana.
Hendy akhirnya mengangguk merespon ucapan Marcel. Dia tak berani membantah jika Marcel sudah mengatakan hal demikian. Keputusan yang dibuat Marcel sangat sulit untuk diubah. Kecuali Marcel sendiri yang ingin mengubah keputusannya.
***
“Oh, astaga. Putriku.” Brianna—ibu Joice—menghamburkan tubuhnya memeluk erat Joice yang duduk di ranjang rumah sakit.
Dean—ayah Joice—juga memeluk putrinya dengan erat. Brianna dan Dean terbang dari London ke Milan setelah mendapatkan kabar dari Hana kalau Joice masuk rumah sakit.
“Mom? Dad? Kalian di sini?” Joice membalas pelukan kedua orang tuanya. Senyuman hangat berusaha dia tampilkan.
“Iya, Sayang. Hana bilang kau pingsan saat fashion show. Mommy dan Daddy langsung ke sini. Mommy kan sudah berkali-kali bilang padamu, jangan terlalu diet ketat. Sekarang lihat, kan? Kau malah jadi menderita seperti ini. Kau itu sudah sangat cantik dan sempurna, Nak. Kesehatan tetap nomor satu.” Brianna membelai pipi Joice lembut. Sebagai seorang ibu, tentu saja Brianna mencemaskan keadaan putrinya. Apalagi di kala dia mendengar kabar putrinya jatuh pingsan, itu membuatnya khawatir luar biasa.
“Apa yang ibumu katakan benar, Nak. Harusnya kau jangan diet ketat. Sudahlah, kau tidak perlu jadi model pun kau bisa tetap memiki karir bagus. Perusahaan Daddy dan Mommy bisa kau urus seperti adikmu yang mengurus perusahaan Daddy dan juga perusahaan Mommy,” ujar Dean sambil mengecup kening putrinya.
Joice tetap berusaha tersenyum. Jauh dari dalam lubuk hati Joice terdalam, dia benar-benar tidak tega untuk bicara pada kedua orang tuanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak ingin kedua orang tuanya mencemaskan dirinya.
“Joice, katakan pada Mommy siapa yang membawamu ke rumah sakit? Apa Hana bersama dengan security?” tanya Brianna.
“Mom—” Seketika ucapan Joice terhenti di kala pintu ruang rawat Joice terbuka. Refleks, Joice bersama dengan kedua orang tuanya—mengalihkan pandangan mereka—menatap Marcel yang baru saja datang.
Raut wajah Brianna dan Dean sedikit terkejut melihat kehadiran Marcel.
