Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Berdamai Dengan Takdir

Bab 7.

Berdamai Dengan Takdir.

Usia kandunganku sudah memasuki bulan ke 8, semakin hari aku semakin tenang. Akmal juga begitu riang. Dia selalu menghabiskan waktu bermain bersama kawannya Fatih. Melihat tawa riangnya, membuat aku lebih bersemangat. Akmal semakin pintar, walau aku belum memasukkannya ke sekolah. Dia lebih aktif daripada saat bersama ayahnya, bahkan dia sudah tidak pernah menanyakan tentang ayahnya lagi.

"nak, hpl mu sudah semakin dekat. Bagaimana rencanamu? "umi Hafsah masuk membawakan segelas teh hangat untukku.

" aku hanya mengikuti seperti apa takdir menuntunku, Mik. "

" jika boleh ku sarankan, bayimu itu memang butuh sosok ayah. Bukan cuma bayimu, tapi juga Akmal, apa kau tidak memikirkan masalah itu? " ku resapi kata-kata umi. Memang benar apa yang umi katakan. Aku juga tidak mungkin terus bergantung di sini. Yayasan ini memang tidak akan keberatan menampungku. Para santri di sini dibekali keterampilan seperti menjahit, tata boga, dan masih banyak lagi. Jadi di sini pun bisa sambil mencari nafkah dari keterampilan itu. Tapi, hanya aku yang memiliki anak. Bahkan sebentar lagi akan ada dua. Mereka juga membutuhkan biaya sendiri. Tapi untuk keluar dari sinipun aku tidak tahu, harus ke mana.

"Amirah, cobalah untuk memafkan Yusuf. Dia adalah sosok yang baik. Hatinya baik dan tulus. Tentang dosanya di masa lalu, kita tidak berhak menghakimi, apalagi, dia sudah bertobat dan bertekad menjadi lebih baik. Kita justru seharusnya mendukung pertobatannya. Lagipula, dia bukan cuma menyayangimu, tapi juga Akmal," umi menjelaskan. Aku memikirkan kata-katanya kembali. Terdiam dan menerawang. Terlintas sosok Yusuf, dia sering mengunjungi ku, kadang bersama mama Meri. Memang bukan hanya padaku, tapi, Akmal pun mendapat curahan kasih sayangnya. Akmal merasa menemukan sosok seorang ayah yang pengasih. Ku lepaskan nafas panjang. Mungkin, aku memang harus menerima kenyataan bahwa Yusuf adalah ayah dari bayi yang ku kandung.

"umi benar. Aku akan memikirkannya kembali, Mik. " umi tersenyum mendengar jawabanku. Tak lama abah Arif datang, dia baru saja mengisi pengajian di luar. Abah begitu sibuk, tapi dia selalu perhatian dan peduli padaku. Abah dan umi benar-benar malaikat yang Allah kirim untukku. Kasih sayang mereka menghidupkan semangatku lagi. Aku seperti menemukan keluarga baru yang hangat dan menyayangiku.

"ada yang lagi rundingan nih kayaknya. " abah yang baru datang ikut bergabung bersama kami, dia duduk di samping Umi Hafsah.

" ini loh, bah. Aku menyarankan Amirah agar mau menerima Yusuf dan memafkan apa yang pernah terjadi. Masa depan Amirah, kan, masih panjang. Dia harus bisa mengambil keputusan, bukan cuma untuk dirinya sendiri tapi juga anak-anaknya. " umi menjelaskan pada abah.

" yah, itu memang benar, Amirah. Aku yakin, Yusuf itu sebenarnya hatinya baik. Dia juga sudah menyesali perbuatannya dan bertobat. Insyaallah, kau tidak akan salah jika memilih Yusuf. " abah menambahkan. Dua pendapat dan nasihat dari sosok bersahaja ini membuka pintu hatiku. Aku memandang Akmal yang berlarian bersama Fatih. Dia dan adik yang masih dikandungan ini butuh sosok ayah. Dan memang, Yusuf memiliki keriteria ayah yang baik bagi mereka. Kejadian itu terjadi bukan hanya murni karena kesalahan Yusuf, tapi juga diriku sendiri.

"semoga aku bisa mengambil keputusan tepat dan terbaik, Mik, bah. Doakan aku selalu. " umi memeluk pundakku. Abah masuk ke kamar, mungkin dia lelah dan ingin beristirahat. Aku memanggil Akmal dan mengajaknya tidur siang. Fatih pun ikut dibelakangnya. Keduanya sudah sangat akrab. Umi pergi ke dapur, mungkin untuk menyiapkan makan siang. Aku pergi ke kamar bersama Akmal dan Fatih, menemani mereka tidur. Orang tua Fatih sangat jarang di rumah. Ning Fatimah, bunda Fatih, putri abah dan umi menjadi dosen di sebuah fakultas tinggi negeri di Bandung. Ayahnya sibuk dengan bisnis travelnya. Mereka keluarga yang kebih dari mampu, tetapi uang mereka sebagian besar di dermakan untuk kaum dhuafa dan miskin yang berada di yayasan pesantren mereka. Aku mempelajari banyak hal dari sini. Keluarga baru, juga kehidupan baru.

***

Senja mulai memerah, kali ini aku sedikit tak sabar menunggu seseorang. Yusuf. Ingin segera kukabarkan padanya bahwa aku telah memaafkan, dan menerimanya. Aku bahagia dengan keputusanku sendiri. Benarlah, jika kita baru bisa melangkah maju saat kita bisa berdamai dengan takdir. Berdamai dengan segala keputusan dari Allah, dan ikhlas menerimanya.

Matahari semakin tenggelam. Hatiku gelisah karena Yusuf tak kunjung tiba. Biasanya, aku cuek dengan kehadirannya yang selalu memberi kehangatan bagi Akmal, menghujani putraku cinta dan kasih sayang, menghabiskan beberapa jam untuk bercanda dengannya. Tetapi aku selalu jual mahal, cuek, seolah tak mau tahu. Ah, betapa naifnya aku.

"om Yusuf mana ya, Bun? Biasanya jam segini sudah datang, " tanya Akmal. Dia memeluk punggungku. Aku mengacak rambut tebalnya.

" mungkin om Yusuf lagi sibuk, hari ini tidak datang," jawabku. Akmal tampak sedikit kecewa. Sebenarnya aku pun merasa kecewa. Padahal, aku sudah tak sabar ingin memberitahu Yusuf tentang keputusanku yang mungkin bisa membuat dia senang.

"lagi nunggu siapa, nih? " tiba-tiba umi Hafsah muncul dan ikut duduk di kursi. Pipiku memerah, aku takut umi tahu bahwa aku menunggu Yusuf dengan tak sabar.

" ini Akmal gak sabaran, mik. Dia cemberut terus nunggu om Yusuf. " aku tersenyum. Akmal menunduk. Umi Hafsah tertawa renyah.

" mungkin om Yusuf absen gak datang hari ini. Kemarin kan datang, mungkin dia pas lelah. " umi mencubit pipi Akmal gemas. Kini, Akmal memang mulai bergantung pada Yusuf. Aku sendiri pun merasa heran, kali ini hatiku merindukannya.

" kita makan dulu saja, semoga nanti habis maghrib om Yusuf datang," usul Umi Hafsah. Aku tersenyum, lalu mengajak Akmal masuk. Di sini, aku diperlakukan istimewa, umi begitu memanjakanku. Bahkan untuk masak saja aku tak diperbolehkan, umi selalu menghawatirkan kesehatanku. Tapi, ini semua juga berkat Yusuf. Dia selalu mewanti-wanti umi agar menjagaku. Juga memberi uang belanja lebih, selain donasi untuk yang lain, agar aku dan calon anaknya tidak kekurangan apapun. Seharusnya aku bersyukur dan menghargai kebaikannya. Itulah kenapa, kini aku tak sabar, ingin membuat dia bahagia dan senang, aku ingin menerimanya dan hidup bersama. Semoga keputusanku ini adalah yang terbaik dan diridoi Allah.

***

Sudah dua hari ini, bukan cuma Akmal, akupun terus menantikan kedatangan Yusuf. Akmal ahirnya merengek dan memintaku untuk menghubungi Yusuf. Bagaimana Akmal bisa begitu merindukan Yusuf. Ku hubungi nomor telpon mama Meri. Hanya berdering. Kembali ku hubungi, dan kali ini tersambung. Aku sedikit kikuk menanyakan tentang Yusuf. Ku buat Akmal sebagai alasannya, meski sebenarnya aku pun ingin tahu mengapa dua hari ini Yusuf tidak datang tanpa memberi kabar. Biasanya, jika dia tidak datang akan mengatakan alasannya pada Akmal sebelumnya.

"Yusuf sedang di rumah sakit, dia mengalami kecelakaan. Kondisinya kritis, dia masih belum sadarkan diri di ruang Icu. " berita itu meledak di hatiku. Betapa terkejutnya aku. Seketika aku merasa bingung harus apa dan bagaimana. Aku berlari pada umi Hafsah dan memberitahu kabar Yusuf. Umi pun terkejut. Dia segera memanggil abah Arif dan memintanya untuk mengantarkan aku ke rumah sakit. Abah bergegas mengeluarkan mobil dari garasi. Aku ikut masuk ke dalam mobil dan meluncur ke jalan raya. Ku tinggalkan Akmal bersama umi Hafsah. Jika ku ajak, hawatir mengganggu Yusuf yang entah seperti apa kondisinya sekarang. Umi tetap di rumah, menjaga Akmal dan Fatih.

Ahirnya mobil abah sampai di rumah sakit, aku bergegas turun. Ku telpon mama Meri untuk menanyakan di mana mereka. Mama memberi intruksi. Aku mengikutinya. Bersama abah, aku berjalan cepat menuju ruang Icu.

Ku lihat mama Meri duduk sambil menutup wajahnya, dia sendirian. Ku peluk mama, mencoba menenangkan dirinya.

"Amirah..., lihatlah bagaimana kondisi putraku. " mama Meri menangis. Dia menunjuk Yusuf dari jendela kaca. Aku bisa melihatnya. Lelaki itu terbaring lemah tak berdaya. Hatiku tersentuh melihat kondisinya. Dia yang selalu menghawatikan keadaanku, kini dia sendiri yang terkulai lemah.

" ya Allah, ma.., bagaimana ini bisa terjadi? " aku masih memeluk mama yang sesenggukan. Abah berdiri agak jauh dari kami, sepertinya dia sedang menghubungi abah Hisyam dan mengabarkan keadaan Yusuf.

" Sore kemarin, Yusuf berniat ke tempatmu, tapi sebuah truk besar yang mengalami rem blong menabrak mobil Yusuf. " mama Meri terisak. Mataku berkaca-kaca. Aku tahu ini sangat berat bagi mama. Hanya Yusuf yang dia punya sekarang, sekarang putranya itu tak berdaya di sana. Pantas lah jika mama begitu sedih. Aku pun ikut bersedih, dia kecelakaan saat perjalanan menemuiku dan anakku. Ku tatap wajah lelaki itu dari jendela kaca. Air mataku menetes. Hatiku terus berdoa, semoga Allah segera menyadarkannya, lalu bisa kembali pulih.

Satu jam sudah aku di rumah sakit ini. Aku menyuruh mama untuk beristirahat. Abah Hisyam dan umi Aminah datang. Dia juga terburu-buru mendatangiku. Lalu melihat keadaan Yusuf dari balik jendela kaca. Mereka terus beristighfar, mulut mereka tak henti memanggil Allah. Aku duduk terpaku di kursi. Mungkin ini aneh, sejak kemarin aku menunjukkan sikap cuek dan acuh pada Yusuf. Tapi kini, aku terlihat begitu terluka dengan keadaannya. Dan memang benar begitu, tak bisa ku ungkapkan, betapa hatiku sedih melihat kondisi Yusuf saat ini.

"nak, terus doakan nak Yusuf, ya.. Bahngaimanapun juga, dia adalah ayah dari bayi yang kau kandung," ucap abah Hisyam. Air mataku meleleh. Abah Hisyam benar sekali. Dia adalah ayah dari anakku. 'Yusuf, sadarlah, dan kembalilah' gumamku dalam hati.

"Amirah, apa kau tetap di sini? Atau ikut pulang dengan abah? " tanya abah Arif. Dia hendak kembali pulang. Karena di sini pun, tak ada yang bisa di lakukan. Sekarang hanya menunggu pertolongan dari Allah.

" abah, bolehkah jika aku berada di sini dulu. Kasihan mama Meri tak ada yang menggantikan. " pintaku pada abah Arif.

" tentu boleh, nak. Tetaplah di sini dulu. Lagipula bu Meri sedang tidak ada, kan. " jawab abah Arif.

" terimakasih, bah. Saya nitip Akmal. "

" jangan hawatirkan dia, Insyaallah dia aman. Nanti kalau ada perkembangan kabar tentang Yusuf, jangab lupa kabari kami, ya. " aku mengangguk. Mereka kemudian pergi. Umi Aminah memelukku, aku mencium tadhim tangannya.

Sesekali ku pandangi wajah Yusuf. Beberapa luka di wajahnya. Betapa inginnya aku mendekatinya, lalu mengatakan bahwa kini aku bersedia menikah dengannya. Selama ini aku begitu egois, begitu angkuh. Mengapa harus ku sia-siakan lelaki yang benar-benar tulus mencintaiku juga putraku. Hatiku hanya bisa meminta ampun pada Allah, aku baru sadar ketika keadaan Yusuf seperti ini. Betapa piciknya aku. Air mataku meleleh, besar harapanku, Allah akan memberikan aku kesempatan untuk membahagiakan lelaki ini.

***

Mama Meri baru saja datang. Dia membawa makanan, lalu memberikannya padaku. Aku sudah terbiasa makan bersama mama Meri. Dia bukan cuma majikan, tapi juga sahabat yang baik. Aku sering mendapat nasihat tentang suamiku dulu, tapi entah mengapa, dulu aku begitu kukuh mempertahankan rumah tanggaku yang seperti neraka. Dulu aku merasa kasihan pada Zaki, hatinya baik, hanya perilakunya yang buruk. Mungkin karena Allah belum juga memberi hidayah padanya. Sekarang entah bagaimana kehidupannya. Semoga Allah menunjukkan jalan yang baik padanya.

"apa kau perduli pada putraku? " Mama bertanya. Aku diam. Bisakah aku menjelaskan segalanya, bahwa kini aku menerima Yusuf, dan ingin menikah dengannya. Apakah tidak keterlaluan diriku ini, baru menyadari setelah Yusuf terkulai lemah. Padahal dia mungkin bisa lebih membahagiakan aku dan putraku.

"ma, sebenarnya 2 hari ini, aku menunggu Yusuf. Aku ingin memberitahu dia kalau aku bersedia menikah dengannya. Tapi kenapa, keadaanya malah seperti ini. " air mataku meleleh. Semua adalah karena keangkuhanku. Mama Meri memelukku.

" tak apa, Joseph akan baik-baik saja. Nanti temui dia sebentar, dan katakan kau menunggunya. " mama menghapus air mataku. Jika aku memiliki mertua sebaik dia, dan suami yang sangat mencintaiku seperti Yusuf, mungkin aku adalah wanita yang paling beruntung. Aku menunggu lelaki itu sadar dari komanya, dan mengabarkan berita ini. Semoga Allah mengabulkan harapanku.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel