Bab 2
Luna dan Sofia langsung menoleh ke belakang, mendapati Peni, ART di rumah Kalingga yang bekerja sejak dua tahun lalu, menatap mereka dengan wajah terkejut bukan main.
"Eh, Bu Luna. Maaf, saya kira tadi ART rumah sebelah dan saudaranya yang datang ke sini waktu saya masih di luar. Soalnya tadi sempat mengirim pesan wa mau berkunjung ke sini sebentar. Maaf, Bu," kata Peni buru-buru sambil menunduk takut.
"Ssstt, jangan keras-keras. Ibu sama Mas Lingga masih di dalam?" peringat Luna sambil berbisik.
Peni mengerutkan kening, tapi setelah itu membelalak. "Mereka masih di ruang keluarga, Bu. Lho, saya kira Bu Luna malah masih terapi di rumah sakit. Makanya saya pikir teman-teman saya lancang sekali masuk ke sini tanpa saya. Hampir saja jantung saya copot kalau sampai ketahuan. Bisa dipecat saya."
Luna berdecak sambil mengibaskan tangan.
"Jangan bilang sama Bu Devi kalau aku dan Sofia ada di sini. Kalau mereka sudah pergi, buruan bilang ke aku," pesan Luna masih sambil berbisik.
Peni mengangkat jempol.
"Peni! Mana kopinya? Bikin kopi aja lama banget?" teriak Bu Devi.
"Saya masuk dulu, Bu," pamit Peni dengan terburu-buru.
Setelah kepergian Peni, ponsel Sofia bergetar. Wanita itu menatap Luna tak enak. "Lun, aku ada jadwal kuliah satu jam lagi. Kamu nggak apa-apa kan, sendirian nungguin sampai mereka pergi?"
Luna menghela nafas panjang. Mau menahan Sofia pun rasanya tidak tahu diri, karena dia sudah berhutang banyak pada wanita itu.
"Pergi aja, Sof. Aku nggak apa-apa kok," ujarnya.
Sofia mengangguk. "Hubungi aku kalau ada apa-apa. Ingat, jangan bertindak gegabah."
Setelah mengatakan hal itu, Sofia pergi lewat samping rumah dan buru-buru keluar agar tidak dipergoki oleh Kalingga dan Bu Devi. Untung saja Sofia datang ke rumah ini dengan menaiki taksi online.
Sekarang hanya tinggal Luna sendirian sambil merenung. Memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya agar Kalingga tidak menceraikannya. Jangan sampai pria itu tahu bahwa dia sudah mulai bisa berjalan. Dia mungkin akan menghentikan pengobatannya di rumah sakit tempat sepupu Kalingga bekerja.
"Maafin aku, Mas. Kalau saja kamu nggak berubah lembut sama aku, aku nggak akan jatuh cinta sama kamu," gumamnya.
***
Selama hidupnya, Luna tidak pernah berhubungan dengan lawan jenis karena sadar akan statusnya. Ayahnya hanyalah seorang satpam perusahaan, sedangkan ibunya sudah lama meninggal.
Tidak ada waktu untuk memikirkan laki-laki, karena dia sibuk membantu ekonomi sang ayah dengan berjualan kue dan aneka jajanan lainnya.
Lalu sekarang, dia harus bisa menggoda suaminya agar tidak menceraikannya. Dia akan menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya, karena Kalingga tidak lagi dingin padanya.
Pintu kamar terbuka, menampilkan Kalingga dengan wajah kusut dan masih memakai pakaian kerja. Jantung Luna berdebar tak karuan. Tanpa sadar dia mengeratkan genggaman tangannya pada piyama berbentuk jubah yang dikenakannya.
"Kok baru pulang, Mas?" tanya Luna dengan senyuman lembut di bibirnya.
Seandainya dia sudah lancar berjalan, dia akan menghampiri sang suami dan memeluk pria itu.
"Lembur," jawab Kalingga singkat. Pria itu melihat kursi roda di sebelah Luna, setelah itu melengos pergi menuju ke kamar mandi.
Luna menggigit bibir bawahnya. Kecewa dengan respon dingin pria itu. Padahal biasanya Kalingga bersikap lembut. Sekarang, laki-laki itu kembali seperti semula. Dingin padanya.
"Nggak, aku nggak boleh nyerah. Aku pasti bisa membuat Mas Lingga luluh lagi," ucapnya dengan percaya diri.
Sebelum Kalingga pulang, Luna sengaja melakukan perawatan pada tubuhnya. Dengan menahan sakit di kakinya yang masih kaku, dia menyiapkan semuanya demi sang suami. Dia melihat tutorial di internet tentu saja.
Sekarang, Luna melepaskan piyamanya untuk memperlihatkan apa yang tengah dipakainya. Lingerie dengan warna merah menyala, hadiah dari Irfan, sahabat Kalingga sekaligus dokter spesialis saraf yang menangani fisioterapinya.
Jantung Luna seperti ingin melompat dari tempatnya ketika pintu kamar mandi terbuka. Dia berbaring dengan gugup, tidak sanggup untuk berpose seksi seperti tutorial yang dilihatnya tadi saking malunya.
"Kenapa belum tidur? Nggak usah nunggu aku," ucap Kalingga.
"Mas..." panggilnya ragu.
Kalingga yang sejak tadi sibuk mengeringkan rambutnya akhirnya mendongak. Mata pria itu membelalak. Wajah Luna terasa panas ketika mata Kalingga menelusuri tubuhnya dengan liar. Bisa dia lihat pria itu menelan ludah.
Tanpa bicara apa-apa, Kalingga melemparkan handuk sembarangan dan bergegas menghampirinya dengan sorot mata penuh gairah. Hal yang mulai dihafal oleh Luna setelah dua bulan mereka "berbaikan".
"Mas..."
Luna hanya bisa mendesahkan nama pria itu setiap kali Kalingga menyentuhnya, dan kali ini pria itu melakukannya dengan bersemangat.
"Kamu wangi sekali," bisik Kalingga di sela-sela aktivitas panas mereka.
Luna tersenyum puas. Ternyata sangat mudah menaklukkan pria. Atau setidaknya itulah yang dia kira.
"Luna!"
Tidak ada yang lebih membahagiakan Luna selain mendengar namanya yang baru kali ini disebut oleh lelaki yang telah mengisi hatinya ketika mencapai puncak. Usahanya berhasil.
"Aku mencintaimu, Mas."
***
Pagi ini, Luna merasa sangat bahagia. Dia terus saja tersenyum sejak bangun tidur.
"Mbak Peni, jangan bilang sama Mas Lingga kalau aku udah bisa jalan dikit-dikit ya," pesan Luna sambil berbisik setelah mereka selesai masak.
"Loh, kenapa Bu? Bukannya malah bagus kalau Pak Lingga tahu?" tanya Peni heran.
Luna menggeleng. "Pokoknya jangan bilang siapa-siapa. Terutama Bu Devi."
Peni yang memang merasa senasib dengan Luna karena sama-sama dari kampung, mengangguk sambil mengangkat dua jempolnya. Luna menyerahkan urusan plating makanan pada Peni agar Kalingga tidak curiga.
Buru-buru dia duduk di kursi rodanya dan mengarahkannya pada ruang makan. Matanya langsung berbinar ketika mendapati Kalingga baru saja keluar dari kamar dengan pakaian kerja. Rambut pria itu basah, membuat Luna tersipu malu dan wajahnya memerah.
Aktivitas malam mereka kemarin benar-benar luar biasa dan membuat Luna merasa berbunga-bunga. Dia semakin yakin bahwa Kalingga juga mencintainya, karena pria itu terus bercinta dengannya setelah dia menyatakan cinta.
"Mas, ayo sarapan. Aku udah nyuruh Mbak Peni buat masak tumis udang kesukaan kamu," kata Luna antusias.
Tak berapa lama kemudian, Peni datang dengan membawa berbagai lauk dan secangkir kopi untuk Kalingga. Mereka sarapan dalam diam. Luna terus memperhatikan reaksi Kalingga yang tengah memakan tumis udang buatannya. Rasanya jelas berbeda dari buatan Peni.
Kalingga tidak berkomentar apa-apa. Pria itu hanya mengernyitkan alis dan sempat menghentikan kegiatan makannya, setelah itu kembali melanjutkan sarapannya.
"Nanti pulang jam berapa, Mas?" tanya Luna dengan lembut.
Kalingga yang tengah meminum kopi langsung berhenti. Pria itu menatapnya tajam dan dingin, membuat Luna kaget. Kenapa pria itu kembali seperti dulu?
"Kenapa..."
"Kamu sudah bisa berdiri kan?"
Luna terengah kaget. Sedikit panik, namun setelah itu pura-pura memasang wajah bingung. "Belum Mas."
Tiba-tiba saja, Kalingga berdiri dan berjalan mendekatinya. Tanpa diduga sama sekali oleh Luna, pria itu menarik tangannya kasar sampai dia berdiri. Karena tidak siap dan kakinya memang kembali sakit setelah lama berdiri, dia langsung terjatuh.
"Aduh! Mas, kamu kenapa sih?"
"Jangan berpura-pura di depanku, sialan! Kamu pasti udah bisa jalan, kan?"
