Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3

Manusia adalah makhluk hidup yang menjunjung tinggi status sosial. Berbeda dengan makhluk ciptaan tuhan lainnya, manusia cenderung menghormati orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi dan dikira akan menguntungkan mereka.

Tak ada istilah empati. Hukum alam terus bergerak, mereka yang lemah akan musnah ditelan oleh alam dengan sendirinya. Predator ada dimana-mana, dan makhluk lemah seperti wanita akan mencari perlindungan dari mereka yang jauh lebih kuat.

Itu juga yang selalu diterapkan oleh Altheda dalam menjalani hidup. Hormati yang harus dihormati, utamakan mereka yang berilmu, dan amankan dirimu sendiri dengan berlindung disisi yang kuat, jika kamu

tidak cukup kuat.

Munafik jika Altheda mengatakan bahwa persahabatannya dengan Alva merupakan karena perasaan empati dan kesenangan belaka. Alvasahabatnya sekaligus pelindungnya yang bisa dia hormati dengan cara berteman. Persahabatan mereka bertimbal balik, sama-sama meraup keuntungan sebanyak mungkin.

Alva yang merupakan anak orang kaya dan berada, sedangkan Altheda memiliki otak cerdas dan berilmu tinggi. Memiliki pemikiran rasional dan tidak pernah gegabah dalam mengambil keputusan. Itulah yang menyatukan mereka berdua dalam lingkaran yang bernama persahabatan.

Bahkan dengan teman-temannya di SCaRY. Altheda dengan terang-terangan mengatakan jika hubungan mereka hanya sebatas saling menguntungkan. Meskipun demikian, sikapnya pada mereka tidak menunjukkan tanda-tanda jika hubungan mereka hanya terikat dengan hubungan timbal balik yang berbayar kan keuntungan semata.

"Haa... ." Altheda kembali menghela nafas berat. Entah ini kali

keberapa dirinya melakukan hal itu. Ia sangat merasa lelah. Kenapa sepertinya takdir sangat senang bersenang-senang dengan mempermainkan hidupnya. Bagaikan sebuah lelucon, Altheda terkekeh geli mengingat jiwanya yang baru saja berpindah ke dalam raga seorang gadis yang bernama Azalea Caleste-Putri dari seorang wali kota yang bernama Winston Corner di Kota Chen.

"Itu sangat memalukan," gerutu Altheda dengan kedua tangannya menopang dagu yang bersandar di pembatas jendela.

Pikirannya kembali menerawang kejadian tiga hari yang lalu. Dimana dirinya harus berteriak histeris karena kaget dengan wajahnya yang berubah. Serta bentuk tubuhnya yang langsing sempurna menjadi sedikit sintal dan berisi.

"Agh ... Apa ini? Apa yang? Oh... Astaga ...! Arghh ... Ini bukan wajah gue." Teriak Altheda frustasi. Bagaimana bisa dirinya berganti wajah hanya dalam hitungan hari, selain itu wajah ini terlihat alami tanpa bekas operasi sama sekali. Satu-satunya yang mengganggu hanya makeup tebal, yang hampir merubah semua bentuk wajah aslinya.

Brak ... Altheda melonjak kaget. Ia menolehkan kepalanya melihat intensitas yang sedang berdiri tegap didepannya. Pemuda yang baru saja diusirnya sebelum memasuki kamar mandi, melihatnya dengan tatapan datar dan dingin, wajahnya menunjukkan kesan malas dan tidak peduli akan apa yang terjadi pada Altheda di dalam kamar mandi.

"Apa-apaan lo? Keluar!" bentak Altheda geram.

Apa-apaan ini, kenapa pria ini sangat tidak tahu malu! Batinnya.

"Lo ngusir gue lagi?".

"Menurut lo! Gak sopan memasuki toilet dengan paksa ketika seorang wanita ada di dalamnya, bocah. Jika lo gak mau keluar, gue yang keluar." Altheda menghentakkan kakinya. Berjalan dengan cepat, dan dengan sengaja menyenggol bahu anak remaja yang ada dihadapannya sedikit kasar.

"Berhentilah berulah! Apa menurut lo berpura-pura lupa ingatan akan membuat gue tertarik sama lo, dan mengehentikan rencana gue buat membatalkan pertunangan kita. No Lea ... Berhentilah bermimpi." Altheda mendelik tak percaya. Oh ayolah, memangnya siapa yang tunangan anak kecil ini? Dia masih waras dan tidak tertarik untuk menyimpan berondong jagung. Apalagi berondong jagung yang tidak tahu asal usulnya

seperti pemuda sinting satu ini.

Altheda mendudukkan tubuhnya di tempat tidur. Menatap remaja dihadapannya dengan tatapan intens menyelidik. Pikirannya kembali terpacu, bukankah wajahnya yang dilihatnya di toilet bukan wajah aslinya. Apa mungkin dirinya berpindah raga, karena tembakan itu? Jika benar, lalu dimana jiwa asli dari tubuh yang sedang ditempatinya saat ini.

"Lo kenal gue?" tanya Altheda dengan jari telunjuk yang mengacu pada dirinya sendiri. Ia sebisa mungkin untuk mencoba tenang, agar bisa mendapatkan jawaban yang pasti mengenai wajahnya. Laki-laki itu

mengernyit bingung. Sesaat kemudian

dirinya menghembuskan nafas pelan, tersirat ekspresi lelah yang sangat kentara di wajahnya.

"Hahaha Sayang sekali, masih muda tetapi sudah harus menderita alexithymia," decak Altheda kasihan. Ia cukup prihatin dengan remaja dihadapannya ini. Dilihat dari wajahnya, usia pemuda ini masih belasan tahun. Tapi wajahnya sudah tidak berekspresi, selain menyiratkan kelelahan.

"Biar gue ulang sekali lagi, Io kenal sama gue?"

"Enggak!" jawab pemuda itu tegas. Namun, meskipun demikian Altheda masih bisa menangkap ekspresi bingung dari wajahnya.

"Oh... Oke. Kalo gitu ngapain lo disini? Juga siapa nama lo?" tanya Altheda lagi dengan sedikit sinis.

"Haa ... Jujur gue muak dengan drama murahan seperti ini Azalea. Lucian Magnus Wesley-itu nama gue. Gue pergi! Gue harap setelah ini lo enggak akan membuat ulah lagi, apalagi mengganggunya hingga membuat gue semakin malu." Lucian bergerak meninggalkan Altheda sendirian di ruangan rawat yang ditempatinya.

"Azalea hemm ... ." Altheda bergumam. Tangannya bergerak untuk memijit keningnya yang tidak terasa sakit. Sangat rumit, dan tentu saja diluar nalar logika. Sebagai seorang dokter, Altheda harus selalu berpikir menggunakan logika. Apalagi prinsipnya yang terus menerus menuntutnya untuk berpikir rasional, dan logis agar dirinya tidak salah jalan.

Altheda merebahkan tubuhnya, memejamkan mata dan berusaha untuk menyelami dunia mimpi lagi. Mungkin saja ini hanya mimpi ganda yang sering orang-orang alami. Seperti kita tertidur dan bermimpi, ketika kita sedang berada di dalam mimpi.

"Argh... ." Altheda mengacak rambutnya kesal. Seberapa kuat keinginannya untuk tertidur, matanya terus saja terbuka. Seakan-akan tidak ingin mengarungi dunia mimpi, dan sengaja menjebaknya di dunia paralel yang membingungkan.

"Lucian Magnus Wesley. Lucian ... Luciehh tunggu! Apa? Shttt." Kilatan-kilatan memori dari Azalea perlahan memasuki ingatannya. Semua yang berhubungan dengan Azalea, tidak terkecuali satu pun! Altheda meremas rambutnya kuat. Kepalanya terasa sakit-teramat sakit. Sehingga rasanya dia lebih baik memecahkannya saja, dari pada mempertahankan kepalanya berada di

tempat yang semestinya.

"Apa ini? Sakit ... Ini sakit! Argh bangsst" desis Altheda dengan suara lirih yang tercekat. Dia ingin berteriak sekencang mungkin. Memohon pertolongan pada siapa saja yang bisa menghentikan rasa sakit di kepalanya, bila perlu menghilangkan kepalanya saja.

Azalea Caleste Corner, anak dari seorang walikota Jakarta. Lebih tepatnya wali kota boneka, karena kenyataannya Winston Corner memimpin kota ini hanya untuk formalitas. Kota tetap berada dipangkuan penguasa yang berpengaruh seperti layaknya permainan penguasa.

Azalea memiliki seorang saudara laki-laki-Vincent Corner, dan seorang adik tiri yang bernama Alita Stevani Corner. Ayahnya-Winston Corner memilih menikah lagi setelah kematian istri pertamanya Zarina Alfaria Wyatt, dengan seorang wanita yang memiliki satu orang putri-Alestina Barbara.

Kehidupan Azalea tidak jauh berbeda dengan Altheda. Dia harus berusaha keras untuk mendapatkan perhatian dari ayah dan kakaknya, tetapi dari awal sampai akhir hanya saudari tirinya yang diperhatikan.

Ini untuk Alita! Ini karena Alita! Jadilah seperti Alita! Berhenti merundung Alita!

Kata-kata itulah yang membangun karakter Azalea dari dia usia lima tahun hingga sekarang diusianya yang ke delapan belas tahun. Dirinya terlalu egois dan terlalu terobsesi untuk merasakan bagaimana rasanya disayang oleh ayah dan kakaknya. Hingga dia melupakan jika masih ada orang lain yang menyayangi dirinya lebih dari apapun.

Arya Geraldton Wyatt,adik dari ibu Azalea. Pria itu sangat menyayangi keponakannya lebih dari apapun. Namun, rasa sayang yang berlebihan itu jugalah yang membuat Azalea semakin optimis untuk mengejar simpati dari keluarganya. Arya selalu mendukungnya, apapun yangbdiinginkannya, maka itu harus terwujud. Meskipun harus memaksa, Arya tidak peduli. Bahkan tanpa disadari Arya juga menjadi dalang dibalik keegoisan Azalea.

Altheda dan Azalea, dua orang yang bertekad kuat dan optimis. Namun yang membedakan, jika Altheda selalu berpikir rasional dan hati-hati serta selalu menggunakan akal sehat dengan berbekalkan ilmu. Maka Azalea kebalikannya, gadis itu selalu bersikap sembrono, bertindak dengan fisik, serta selalu ingin menunjukkan jika dia kuat. Pada akhirnya itu menjadi bomerang untuk dirinya sendiri. Bahkan tunangannya—Lucian Magnus Wesley, lebih memilih untuk mendekati Alita karena tidak ingin menanggung malu.

Sampai akhir Azalea terus menjadi aib. Gadis bodoh yang bertindak semaunya, dan pencemburu buta. Itulah yang selalu melekat pada otak setiap orang yang mengenal Azalea. Sang Antagonis!

Tapi sayangnya yang mereka tidak tahu. Azalea bukanlah antagonisnya, ia hanya korban! Korban dari keserakahan dari beberapa orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri.

Dug... Dug... Dug...

Altheda membenturkan kepalanya di tembok. Sungguh, rasa sakit di kepalanya sudah tak bisa ditahan. Rasa itu menggerogoti otaknya, memecahnya hingga berkeping-keping. Altheda tak dapat

berpikir lagi, satu-satunya cara yang dapat dipikirkannya hanyalah memisahkannya dari tubuhnya.

"Astaga! Azalea..!!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel