Pustaka
Bahasa Indonesia

Beli Aku Dong, Om

17.0K · Ongoing
ratu_rebahan
16
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

"Dibeli, Pak. Dibeli. Ayo, dibeli." Sudah putus asa aku kesana kemari menawarkan dagangan tapi gak ada satu pun yang membeli. Ada sih yang melirik tapi hanya sekedar menatap wajahku lalu melengos gak jadi beli. Oh, jadi begitu rasanya jadi orang kaya. Kalo begitu, aku juga ingin mendadak kaya. Laki-laki brewokan yang duduk di dalam mobil dengan kaca terbuka itu menggelengkan kepala saat kutawari dagangan. Dia bahkan hampir menutup kaca tapi segera ku cegah dengan seruan, "Bukan rokoknya, tapi aku nya. Beli aku dong, Om. Tukar pake iPhone gak papa."

RomansaMetropolitanDosenAnak KecilTuan MudaBillionaireSalah PahamKampusPernikahan

1. Buang-buang Duit

Bagaimana mau kaya kalo baru dapat uang bulanan langsung dihamburkan? Siapa juga yang mau kaya, lha wong aku sudah kaya, meskipun kekayaannya milik Papa. Ingin banget aku tertawa ngakak, tapi gak enak sama food vloger yang sedang syuting di meja seberang.

"Thanks Zia. Lo emang the best." Lucia baru saja keluar dari pintu Lawson, sembari menenteng beberapa paper cup berisi macam makanan. Bocah itu memang mahir untuk gak menyia-nyiakan kesempatan.

"Buset dah, lo mau makan apa mau menambah lemak? Food vloger di sebelah saja beli makanan gak sebanyak lo." Vay yang sedari tadi anteng menikmati setusuk odeng, tertarik membuka bibirnya untuk mengomentari Lucia.

"Bodo amat. Gue yang makan, kenapa lo yang repot sih." Lucia langsung duduk di depanku, setelah meletakkan banyak cup yang dia tenteng. Untung saja kuah odeng itu gak tumpah-tumpah akibat dia bawanya ugal-ugalan kayak bocah SD racing.

Senang sekali rasanya menjadi orang kaya. Bisa berbagi kebahagiaan kepada orang-orang. Apa sekalian kubuat konten saja ya biar dapat uang jajan tambahan dari open endorsement? Pasti banyak yang nonton kan. Negeri Wakanda kan selera tontonan masyarakatnya rendah banget, apalagi kalo videonya diberi tumbnail cewek umbar dada umbar paha. Bisa juga deh. Vay yang suka gaya solehot pasti mau kok direkrut jadi model tumbnail.

"Lo kenapa Ya, senyum-senyum gaje kayak orang gila baru," seloroh Vay mengomentari ekspresiku yang sedang kesenangan karena berhasil menghalu. Di mana-mana yang namanya menghalu ternyata enak banget. Pokoknya enaknya ngalah-ngalahin corndog yang dimakan Lucia.

"Siapa? Gue? Nggak. Mana ada gue senyum." Bantah saja meskipun kenyataannya iya. Tapi maksudku bukan iya beneran gila.

"Habis ini ke mall yuk. Gue perlu baju baru buat ke pestanya Tamara." Dengan mulut penuh makanan, Lucia masih bisa bicara dengan intonasi yang jelas. Kalo lihat cara makan dia kayak gitu, aku jadi pengen ngasih saran, mending dia ikutan jadi food vloger saja kayak mbak-mbak di meja seberang.

"Eh, Tamara mau ngapain?" Mendadak, aku ketinggalan berita mengenai cewek sok kecantikan seangkatan di kampus, meskipun kenyataannya dia beneran cantik, meskipun juga katanya hidungnya yang mancung hasil otak-atik dokter.

"Lo gak diundang, atau emang gak tau, atau lupa?" Ya begini kalo punya teman kayak Vay, yang cerewetnya kebangetan. Ditanya, malah balik nanya, jadi pengen banget menyaut omongannya pakai kalimat yang lagi viral, "Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya?"

"Gak tau, gak diundang juga. Kenapa tuh anak? Ulang tahun?" jawabku sembari kembali melontarkan pertanyaan lagi.

"Lo gimana sih Vay." Sebelum Vay menyahut omonganku, malah Lucia yang mencerocos. Padahal itu bocah lebih baik diam menikmati makanannya yang tinggal separoh. Hebat juga, meskipun kecil, ternyata perutnya kayak karet.

Gak berhenti di situ, Lucia menyambung kalimatnya, "Zia kan musuh terbesarnya Tamara."

Aku mengangguk membenarkan. Tamara memang kentara banget gak menyukaiku sejak pertama kami dipertemukan dalam acara ospek kampus satu bulan lalu. Aku gak tau alasan spesifik dia membenciku karena apa, yang jelas sejak pertama kali kami bertatapan mata, sorot yang dia pancarkan adalah sinar menandakan perang, alias bukan sinar kedamaian.

Kalo mendengar desas-desus yang anak-anak kampus katakan mengenai ketidaksukaan Tamara kepadaku, alasannya adalah karena cewek itu merasa kalah saing denganku. Yailah, padahal sudah jelas kalo aku sama dia gak bisa disejajarkan. Meskipun teman-teman cowokku bilang, aku gak kalah cantiknya kayak Tamara. Selain itu, aku juga gak kalah kaya kayak Tamara. Yang terakhir, pengen ku tertawakan sih, soalnya aku bisa kaya kan karena uang Papa, uang dari hasil kerja keras Papa. Jadi intinya, bukan aku yang kaya melainkan papaku.

Awalnya sih aku gak percaya sama alasan itu, tapi pas ku ingat ada kejadian yang memaksaku mengingat, aku jadi percaya. Soalnya, aku ingat banget, satu bulan lalu sepulang ospek aku dijemput Bang Willy, kakak laki-laki ku yang membawa Lamborghini miliknya. Aku ingat banget bagaimana tatapan terkejut Tamara pas dia melihatku pulang mengendarai mobil mewah itu. Setelah reda keterkejutannya, sorot matanya berubah menjadi tatapan sinis sudah persis kayak mata ibu tiri.

Gak hanya itu kenapa aku bisa percaya sama omongan anak-anak kampus. Ada bukti lain yang mendorongku untuk yakin kalo Tamara membenciku karena dia kalah saing adu kekayaan. Di hari ospek kedua, Tamara dan teman-temannya kentara sekali membicarakanku. Dia dengan gamblang berkata, "Yailah, pulang dijemput sama om-om aja bangga."

Parah banget gak sih. Dia salah paham lho, dan gak mencari kebenaran. Enak saja abangku yang masih bujang dikatain om-om. Gak berhenti di situ, dia juga menuding sepatu yang kupakai itu barang KW. Astaga naga, dia gak tau saja kalo Papa membelikan sepatu itu langsung dari Perancis.

Ilfil banget kan jadinya sama dia. Aku memang gak menggubris semua yang keluar dari bibirnya mengenai kritik pedasnya kepadaku. Prinsipku aku gak mau ikut campur, soalnya beban hidupku saja sudah banyak. Tapi takdir gak mendukung banget lho, dan malah memaksaku untuk bertemu dia setiap hari kecuali Sabtu dan Minggu karena itu hari libur. Kami ditakdirkan satu kelas. Omegat, kebetulan macam apa itu coba.

"Walaupun gak diundang, datang saja sih Ya. Gue yang ngajak lo. Sekalian lo keluarin semua barang branded yang lo punya biar dia kepanasan."

Perkataan Vay langsung disetujui Lucia. Sementara aku, masih bertopang dagu sembari melihat mbak food vloger yang belum kelar syuting. Pekerjaan paling enak kayak mbak itu gak sih. Sudah kenyang bisa makan enak, bisa dapat uang pula. Kalo begitu caranya, aku bisa berubah haluan, dari yang semula ingin jadi direktur beralih ingin menjadi food vloger.

"Seru juga tuh pasti," gumamku yang langsung mendapat anggukan dari kedua temanku. Padahal aku gak lagi merespon sarannya Vay, tapi sedang berdialog internal tapi sayangnya kekerasan. Jadinya bukan aku saja yang dengar, tapi juga ciwi-ciwi di depanku ini ikutan mendengar.

Masih sibuk memperhatikan si food vloger, perhatianku langsung teralihkan sama Vay yang mendadak berkata, "Tapi gila sih si Tamara. Masa tema nya seksi. Apa perlu gue pakai bikini?