Kartu Nama Untuk Hanna
Dua hari setelah keluar dari rumah, pikiran Hanna jauh lebih tenang daripada kemarin. Kini ia mulai bisa berpikir dengan jernih. Ada rasa syukur yang berlipat-lipat karena calon anaknya sama sekali tidak 'rewel' saat ini. Tidak ada rasa mual muntah yang Hanna rasakan. Kini mau tidak mau Hanna segera mengambil tasnya dan pergi ke rumah sakit. Tidak peduli seberat apapun pikirannya namun salah satu upaya untuk tetap membuat anaknya sehat di dalam kandungannya adalah memeriksakan kandungannya ke dokter kandungan.
Hanna pergi ke salah satu rumah sakit yang tidak jauh jaraknya dari lokasi hotel tempat dirinya tinggal. Saat sampai di sana, Hanna segera mendaftar di poli Obstetri Ginekologi (obgyn). Saat menunggu antrian namanya di panggil oleh perawat untuk masuk ke ruang pemeriksaan, mau tidak mau kedua mata Hanna menangkap pemandangan yang ada di sekitarnya. Kebanyakan pengunjung di sini datang bersama pasangannya. Hanya dirinya sendiri yang tidak ditemani pasangan. Apalagi dari wajah serta penampilan saja orang-orang sudah pasti tahu bahwa ia terlalu muda untuk menjadi seorang ibu. Alamak... tanpa diumumkan menggunakan toa saja orang-orang pasti tahu jika dirinya tengah hamil tanpa memiliki suami. Sebagai orang yang masih waras, sejujurnya Hanna merasa malu saat ini. Tapi ia tahu bahwa rasa malu ini telah membuatnya tidak berani menambah dosanya lagi dengan menggugurkan kandungannya.
Ada perasaan benci yang tidak bisa ia lukiskan jika mengingat bagaimana Adit memperlakukan dirinya. Ketulusannya untuk menemani Aditya dua tahun belakangan ini nyatanya hanya dibalas Adit dengan menghancurkan kehidupannya. Lebih daripada rasa sakit hati yang ia rasakan kepada Adit, ada rasa tidak percaya yang muncul di diri Hanna ketika Adit bisa berpikiran untuk 'membunuh' calon anaknya sendiri meskipun itu masih berada di dalam rahim Hanna. Perlakuan Adit ini tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Hanna juga tidak akan pernah memunculkan batang hidungnya di depan Adit. Ia berharap laki-laki itu tidak akan pernah kembali ke negara ini. Sampai kapanpun juga, Hanna tidak akan pernah mengatakan kepada anaknya siapa ayahnya. Lebih baik ia mengatakan jika laki-laki itu sudah meninggal dalam sebuah kecelakaan di luar negri.
"Ibu Hanna Kartika Aledra, silahkan masuk ke ruang konsultasi."
Suara dari seorang perawat membuat Hanna kembali menapaki realitasnya setelah sibuk memikirkan tentang Adit yang telah sukses memporak porandakan kehidupannya. Kini Hanna menghapus air matanya yang tanpa ia sadari sudah menetes membasahi pipinya. Kini ia segera masuk ke dalam ruang konsultasi dokter.
Hal pertama yang Hanna temui kala memasuki ruang konsultasi ini adalah sebuah sapaan ramah dari dokter kandungan yang bernama dokter Edo. Setelah bercakap-cakap singkat, akhirnya dokter Edo meminta Hanna berbaring di atas ranjang dengan diantarkan oleh perawat. Saat tirai ditutup oleh perawat itu, siapa sangja jika sang perawat justru terlau cerdas untuk menilai ekspresinya yang kemungkian besar tidak menyiratkan kebahagiaan.
"Apa kamu sedih karena harus datang ke tempat ini sendirian?"
"Tidak. Saya tidak sedih karena datang sendirian ke sini, Sus. Saya sedih karena memikirkan betapa bodohnya saya yang mudah saja percaya pada ucapan laki-laki hanya karena rasa cinta tolol yang saya rasakan. Ujungnya masa depan saya hancur berkeping-keping saat ini."
Setelah mengatakan Hal itu, Hanna segera melepas celana dalam yang ia pakai karena dokter Edo akan melakukan USG Transvaginal.
"Apapun yang kamu rasakan saat ini, saya bersyukur karena kamu tetap memilih mempertahankan calon anak yang ada di dalam rahim kamu. Jika kamu merasa sendiri dan dunia seakan tidak adil pada hidupmu, coba kamu datang atau hubungi nomer ini," ucap perawat itu sambil mengulurkan sebuah kartu nama yang ada di saku celana kerjanya.
Hanna segera menerima kartu tersebut. Setelah membacanya beberapa saat, ia ucapkan terimakasih. Kini ia segera naik ke atas ranjang pemeriksaan. Begitu semua siap, perawat itu membuka tirai yang membatasi ruang pemeriksaan itu dan segera memanggil dokter Edo untuk melakukan USG.
***
Ccciiiiittttt.....
Sanusi hampir saja menabrak seorang penjual mie ayam yang sedang menyebrang di jalan depan gang rumah majikan barunya. Untung saja ia bisa mengerem secara tepat meskipun efeknya adalah boss-nya yang duduk di kursi penumpang belakang mobil ini sampai terhuyung ke depan. Semoga saja boss-nya ini tidak akan marah dan memecatnya karena ia baru bekerja satu bulan di sini.
"Pak, kenapa ngerem mendadak?"
"Maaf, Pak... Saya kurang konsentrasi. Sejujurnya saya kepikiran anak mantan majikan saya setelah mendengar kabarnya dari teman-teman kerja saya dulu di rumah itu," ucap Sanusi dengan nada yang benar-bnar terdengar sedih dan bersalah.
Kini Sanusi mulai melajukan mobilnya lagi untuk keluar dari gang ini. Hari ini dirinya baru saja mengantarkan boss-nya ke panti asuhan anak di Jakarta. Sambil menyetir, akhirnya Sanusi menceritakan tentang sosok Hanna yang diusir dari rumah karena hamil dengan laki-laki yang tidak dikenal. Padahal Hanna baru satu tahunan tinggal di luar negri. Karena merasa sepi sejak Hanna melanjutkan pendidikan di luar negri dan jarang memiliki pekerjaan meskipun digaji secara penuh, akhirnya Sanusi memilih resign dan mencari majikan baru.
"Oh, jadi ini alasan bapak resign dulu padahal sudah bekerja 18 tahun?"
"Betul, Pak Dana. Sejak Mbak Hanna usia 1 tahun saya bekerja di sana sampai akhirnya pindah ke luar negri. Kalo dulu jaman SMA saya sering antar dia ketemuan sama pacarnya di mall atau cafe, tapi dia tidak pernah memperlihatkan pacarnya. Saya hanya sering dengar suaranya ketika mereka bertelepon di dalam mobil."
"Kenapa dia harus sembunyi-sembunyi. Pacaran untuk anak SMA sudah hal yang wajar. Jangan 'kan SMA, anak SD -SMP saja sudah banyak yang melakukan itu."
"Bagi anak lain mungkin memang wajar dan bisa dimaklumi tapi untuk seorang Mbak Hanna yang merupakan penerus Aledra group tentunya bukan hal yang mudah. Dia satu-satunya harapan keluarganya karena dia anak tunggal. Kejadian ini tentu saja membuat penghuni rumah termasuk orang-orang yang bekerja di sana sedih. Karena Mbak Hanna itu orang yang sangat baik tidak seperti kebanyakan anak perempuan dari keluarga kaya yang sombong dan boros."
Dana menghela napas panjang. Ia tahu apa yang dipikul oleh Hanna ini tentunya bukan sesuatu yang mudah. Karena ada segelitir orang yang bernasib seperti Hanna, maka keluarganya mengambil tindakan preventif untuk mencari cadangan calon pewaris meskipun tidak memiliki hubungan darah. Nasibnya menjadi anak angkat hanya untuk mem-backup saja jika tejadi hal yang tidak diinginkan di masa depan yang dialami oleh pewaris utama keluarga. Meskipun keluarga angkatnya sangat menyayanginya namun hubungannya dengan keponakannya tidak cukup dekat karena umur mereka hanya selisih 8 tahun saja.
"Saya ingin mencari Mbak Hanna. Kalo dia tidak ada tempat untuk tinggal, dia bisa pulang ke rumah saya di Bantul. Istri saya akan senang karena sejak gempa 2006 dulu kami kehilangan dua anak kami selama-lamanya. Biar dia punya teman di rumah. Lagipula dia juga sudah mengenal Mbak Hanna sejak Mbak Hanna masih batita."
Dana tidak bisa membayangkan seorang pewaris yang terbiasa hidup dalam kenyamanan dan kemewahan harus hidup dalam penderitaan seperti ini. Dana hanya berharap jika Hanna tidak akan berpikiran sempit dengan mengakhiri kehidupannya begitu saja hanya karena 'plan A' masa depannya harus berantakan.
Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Hanna keluar dari rumah sakit ini dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Usia kandungannya sudah menginjak enam minggu. Dan calon anaknya dalam keadaan sehat meskipun ia sudah melakukan penerbangan jarak jauh dari Amerika ke Indonesia. Sambil berjalan, Hanna memandang kartu nama yang diberikan perawat itu. Meskipun aneh karena ia justru mendapatkan kartu nama seorang wanita beserta alamat kantornya, namun Hanna sangat penasaran dengan apa yang bisa ia temukan di sana jika mengunjungi kantor itu.
Daripada Hanna merasa penasaran, akhirnya Hanna memilih mencari taxi untuk menuju ke alamat itu yang tidak terlalu jauh dari tempatnya saat ini berada. Sekitar 15 menit perjalanan dengan menggunakan taxi, kini Hanna sampai di sebuah gedung lima lantai yang dari bentuknya, Hanna tahu bahwa tempat ini adalah sebuah kantor. Saat Hanna datang ke sana dan mengatakan jika ia ingin bertemu dengan ibu Veranda, sang resepsionis kantor ini seperti sudah tahu tujuannya datang ke sini dan memintanya menunggu di sofa yang ada di lobby karena ibu Veranda sedang ada meeting di lantai tiga.
Sambil menunggu ibu Veranda selesai melakukan meeting, Hanna mengecek emailnya yang ternyata hanya dipenuhi oleh email dari Adit. Andai tidak berada di kamar hotelnya, kemungkinan besar Hanna sudah membanting handphone yang ada di tangannya ini sekuat tenaga.
"Selamat siang, anda mencari saya?" suara seorang wanita membuat Hanna menutup handphonenya.
Saat ia menggangkat pandangannya sosok seorang wanita berusia 40 tahunan dan terlihat cantik ada di hadapannya. Hanna segera berdiri.
"Selamat siang. Saya mencari ibu Veranda. Apakah ibu adalah ibu Veranda?"
"Benar, saya Veranda. Mari ke ruangan saya saja."
Hanna menganggukkan kepalanya dan kini ia segera mengikuti Veranda berjalan menuju ke arah lift. Sambil menunggu pintu lift itu terbuka, Veranda menanyakan dari mana Hanna mendapatkan kartu namanya. Dengan jujur Hanna menjawab bahwa ia mendapatkan kartu nama Veranda dari asisten dokter Edo di rumah sakit ketika ia memeriksakan kandungannya.
Hanna heran karena Veranda tidak banyak bertanya kepadanya. Bahkan seakan informasi itu sudah cukup untuknya. Kini saat pintu lift terbuka, Hanna bisa melihat seorang laki-laki langsung tersenyum ke arahnya. Salah... salah, bukan ke arahnya namun ke arah ibu Veranda. Sepertinya dua orang ini cukup mengenal dekat entah sebagai rekan kerja atau rekan bisnis.
Hanna masih diam dan memperhatikan laki-laki ini yang saat turun dari lift tadi langsung menyapa ibu Veranda. Hanna menunggu dua orang ini berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya laki-laki ini pamit untuk pergi.
"Ayo, Han kita masuk," ucap Veranda yang mengajak Hanna untuk masuk ke dalam lift.
Hanna anggukkan kepalanya dan ia kini segera mengikuti perintah Veranda. Sejujurnya ia mengikuti Veranda kali ini masuk ke dalam lift pun di dalam hatinya masih memiliki ketakutan yang sulit untuk ia artikan. Semoga saja perawat itu tidak memberikan kartu nama seorang 'pemain' human trafficking.
***
