Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

7. Sadisme

“Aku harus pergi dari Puglia secepatnya sebelum orang-orang Tuan Botticelli menangkapku,” gumam Caritta sambil mengemasi barang-barangnya ke dalam koper.

“Aku akan menjual kalung curiannya ke Tuan Salvoni nanti malam. Uang itu akan kupakai untuk pulang ke Magnolia Springs,” celotehnya lagi.

Telepon seluler milik Caritta yang ada di atas ranjang mendadak berdering dan membuat pekerjaannya terhenti untuk sementara. Dia meraup benda elektronik keluaran terbaru itu dengan penuh semangat. Bukti bahwa suasana hatinya sedang baik.

“Nyonya Carfagna?”

“Leah? Sayang? Di mana kau?” sapa sang wanita dengan dialek selatannya itu.  

“Aku ada di Hotel Firenze. Aku akan kembali ke kota kelahiranku lusa. Ada apa?” sahut Caritta yang kemudian mengempaskan pantatnya ke kursi lincak—bangku panjang yang terbuat dari bahan bambu dengan susunan bilah berongga pada bagian sandaran—di dekat jendela.

“Aku membawa berita yang luar biasa. Ada pelanggan yang ingin memesanmu selama dua hari.”

“Dua hari? Aku tidak punya waktu. Bukankah aku baru saja mengatakan padamu bahwa aku akan pergi lusa?”

“Ya, tetapi bayarannya sangat menjanjikan. Aku bertaruh kau akan terkejut mendengarnya.”

“Seberapa banyak?”

“Kau akan diupah lima ratus dolar per jamnya.”

“Li-lima ratus dolar? Benarkah? Siapa orang itu?”

“Dia adalah seorang politisi. Kau akan dapat bonus yang jauh lebih besar,” balas Nyonya Carfagna di seberang sana dengan setengah berbisik.

“Politisi?” beo Caritta yang keningnya refleks mengernyit ingin tahu.

“Tuan Pacciardi. Dia menjabat sebagai senator sejak tahun lalu.”

“Bukankah si tua bangka itu terkenal dengan perilaku seksnya yang agak menyimpang?”

Helaan napas berat Nyonya Carfagna mengisyaratkan jeda selama beberapa detik sebelum lagi-lagi melanjutkan, “Well, kau—uh, aku tahu kau mampu mengatasinya. Dia hanya sedikit berbeda. Itu saja, bukan?”

“Tidak,” tegas Caritta yang kemudian memalingkan tatapannya ke arah pemandangan tepi danau yang menakjubkan di luar.

“Pikirkanlah sekali lagi, Leah. Itu kesempatan yang jarang terjadi,” bujuk Nyonya Carfagna yang berusaha menggoyahkan keyakinan Caritta.

“Aku sayang dengan nyawaku. Aku juga masih ingin hidup sampai kira-kira enam atau tujuh puluh tahun berikutnya.”

“Percayalah padaku, itu tidak akan membuatmu celaka. Kita boleh membuat sejumlah perjanjian agar kau tetap aman,” rayunya lagi.

“Dia penganut sadisme, Nyonya Carfagna. Aku pernah mendengar dia akan mencambuki para wanita yang dia panggil dan mengikat mereka dengan posisi terbalik selama berhari-hari di halaman. Aku bahkan tidak sanggup membayangkan sesuatu yang akan terjadi padaku dalam dua hari ke depan.”

“Itu hanya kabar burung. Tidak akan ada yang terjadi padamu.”

Caritta mendesah putus asa, lantas memantapkan suara, “Maaf. Jawabanku tetap tidak. Kau masih punya Marina dan yang lainnya. Tawarkan saja itu pada mereka.”

“Tuan Pacciardi hanya menginginkanmu. Kau koleksiku yang paling cantik. Semua orang selalu tergila-gila padamu.”

“Pujian tidak akan menyumbang pengaruh apa pun. Aku akan tetap dengan pendirianku.”

“Kau akan menyesalinya, Leah. Kau masih bisa menunda jadwal perjalananmu, tetapi tidak akan mendapatkan peluang emas yang sama lagi.”

Nyonya Carfagna memang benar, pikir Caritta. Ucapan wanita paruh baya yang menjadi agen penyalurnya selama berada di Italia tersebut cukup masuk akal untuk dipikirkan ulang. Itu tawaran yang kelewat menggiurkan.

“Well, aku akan—um, berikan aku waktu untuk memikirkannya. Aku akan mengabarimu nanti.”

“Waktumu tidak banyak,” tekan Nyonya Carfagna yang merendahkan nada.

“Katakan saja sekarang,” desaknya lagi.

Caritta sontak mengenyahkan seluruh kekhawatiran yang sempat mengisi dadanya. Dia pun mengiyakan dan setuju untuk datang—melakukan kencan dua hari sesuai seperti tarif fantastis yang akan dia terima—menciptakan kelipatan saldo pada rekening pribadinya dalam sekejap. Semudah itu bagi Caritta.

“Baiklah. Aku sudah mencatat alamatnya.”

“Don’t be late, huh?”

“Pukul enam sore. Aku tahu itu.”

Panggilan seketika terputus setelah Caritta mematikan sambungan. Dia beranjak dari duduknya dan menepi ke sekitar balkon. Udara pagi bulan September kala itu cukup nyaman untuk dinikmati tanpa harus menggigil oleh tiupan angin monsun. 

Caritta melipat kedua tangannya di dada. Sorot matanya menerawang di kejauhan—menatap sayu ke hamparan jurang terjal yang memesona di balik bukit—memikirkan keputusan yang baru saja dia buat. Wanita itu justru teringat pada Rosetta—saudari kembarnya.

“Bagaimana kabarmu?” desis Caritta dengan perasaan rindu yang mengendap di hatinya.

Caritta menghela napas panjang. Dia bergerak menghambur langkahnya menuju ke setumpuk pakaian model lama di dekat lemari dan mengambil sesuatu dari sana. Jemarinya terulur menarik sebuah potret keluarga lengkap dengan bingkai yang terbuat dari kayu.

Foto itu diambil sekitar lima tahun yang lalu. Ada Tuan Silvio dan Nyonya Diana yang tengah mengapit Caritta dan Rosetta dari samping. Senyum lebar menghiasi sudut bibir mereka dengan harap dan mimpi—dua hal yang selalu pasangan itu tanamkan pada putri-putrinya.

Simbol kesempurnaan yang utuh dari keluarga Alighieri. Sesuatu yang kemudian harus direnggut paksa oleh kejamnya takdir. Sesuatu yang sukses membuat mereka terpisah dan terlibat dalam kesalahpahaman satu sama lain.

“Kau pengkhianat, Rosetta. Kau akan membayar untuk itu,” bisik Caritta di antara tetesan air mata yang menjatuhi kaca yang melapisi pigura.

Pikiran Caritta kembali mengulangi kenangan yang pernah terjadi di acara prom night lalu. Acara itu berlangsung meriah seperti tahun yang sudah-sudah. Caritta datang dengan gaun megarnya yang indah dan Rosetta memukau dalam balutan gaun lilitnya yang baru.

Tiba di penghujung malam, segalanya masih terasa berkesan bagi mereka yang hadir. Setiap orang, kecuali Caritta yang tanpa sengaja menyaksikan Rosetta masuk dengan mengendap-endap ke gudang kosong belakang sekolah bersama Levon—kekasihnya. Aksi yang berhasil membuat wanita itu tersesat dalam sejuta prasangka di benaknya.

Caritta selalu memendamnya hingga suatu hari kejadian naas tersebut menimpa keluarga mereka. Hubungan Caritta-Rosetta pun menjadi sering diwarnai oleh pertengkaran dan retak selepasnya. Dia bahkan lupa kapan terakhir kali mereka melakukan komunikasi.

Caritta sempat menetap di Pittsburgh sebelum akhirnya menjelajahi Marseille dan berlabuh ke Puglia. Memutuskan relasinya dengan Levon tanpa kabar. Membiarkan mereka bertiga larut dalam kekeliruan yang akan dia sesali nantinya.

“Mengapa kau selalu merebut segala sesuatu yang seharusnya kupunya? Peringkat kelas. Perhatian. Pujian. Mengapa kau mengambil semua itu dariku?” 

Cairan asin itu kembali menggenangi wajah Caritta. Dia menyeka kedua pipinya dengan punggung tangan sesaat sebelum menyebut nama Levon dan berucap, “Kau juga telah merampas cinta pertamaku, Rosetta. Kau memang menyangkalnya, tetapi aku tahu kalian terlibat dalam skandal itu di belakangku.”

“Aku selalu berharap kau bukan saudariku. Aku selalu berharap kau tidak pernah ada dan hanya ada satu rupa yang seperti kita,” sambungnya lagi sambil menyentuh wajahnya sendiri.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel