2. Mencoba bersabar.
Pagi mencuci, sore hari menyetrika. Begitulah pekerjaan yang aku kerjakan setiap hari. Aku kerjakan tanpa mengeluh. Walau terkadang harus sering sekali mengelus dada.
"Zalia!"
Lagi-lagi sebuah teriakan mengagetkanku. Aku yang sedang menyetrika pakaian menyahut. Dari suaranya saja aku sudah tahu, itu adalah suara ibu mertuaku. Orang sekitar biasa memanggilnya Bu Nani.
Aku heran Ibu dan anak itu hobby sekali memanggilku dengan berteriak. Apa pita suaranya tak sakit?
"Assalamualaikum," sindirku saat ibu terdengar memasuki rumah.
Awal-awal menikah ibu selalu berlaku lembut padaku, ia juga tampak begitu penyayang. Tapi setelah orang tuaku, tak mengabulkan keinginan Mas Yudha, untuk meminjam uang pada orang tuaku. Sejak itu ibu bersikap cuek dan ketus padaku.
Siapa juga yang mau meminjamkan uang pada seorang lelaki pemalas. Apa lagi uang yang ia pinjam jumlahnya sangat besar. Katanya untuk membeli sebuah rumah agar aku bisa hidup nyaman. Tapi belakangan niat buruknya kebaca, ia ingin mengubah sertifikat rumah itu atas nama dirinya. Tentu saja orang tuaku menolak. Almarhum bapakku bukanlah orang yang bodoh dan mudah untuk di tipu daya.
"Kamu sama orang tua gak ada sopan-sopannya! Nih sekalian!" sungut ibu. Ia melempar pakaian yang di buntel dengan selimut ke sebelahku. Tanpa membukanya saja aku sudah tahu, apa isi dari kain buntelan itu.
Aku menelan ludahku susah payah. Pekerjaan yang ada saja sudah membuat pinggang dan tubuhku letih. Ini malah ibu tambah lagi.
"Kenapa lihat-lihat, Ibu? Kerjakan itu! Kamu, kan, juga sedang setrika, jadi sekalian!" perintahnya. Padahal di rumahnya masih ada Rika. Adik bungsu Mas Yudha. Tapi ia selalu membawa pakaiannya ke rumahku untuk di setrika. Membuat pekerjaanku semakin bertambah banyak saja.
"Aku gak janji, Bu. Pekerjaanku masih banyak. Ibu suruh saja Rika untuk mengerjakannya!" tolakku secara halus.
"Kamu berani membantah ibu sekarang, Zalia! Kamu ini sebagai menantu tidak berguna sekali. Cuma sebatas menyetrika pakaian mertua saja tidak mau!"
Jleb.
Hati ini kembali meringis sakit. Jika hanya berupa baju ibu dan bapak saja, mungkin aku masih diam. Ini hampir semua baju penghuni rumah yang ibu bawa untuk aku setrikakan. Termasuk baju Rika dan Mbak Intan kakak Iparku yang sudah menikah.
Sedangkan menyetrika baju para pelangganku saja aku sudah kecapekan. Rasanya ingin sekali aku menangis mengingat perlakuan mereka semua padaku. Tapi kali ini, mereka semakin kelewatan. Semakin di diamkan tingkahnya semakin jadi.
"Maaf, Bu. Bukannya Zalia ingin membantah ibu. Tapi ibu bisa lihat sendiri, kan. Pekerjaan Zalia masih menumpuk. Zalia ini manusia, Bu. Bukan robot!" jawabku. Tanganku masih bergerak menggosok satu persatu pakaian pelangganku hingga licin.
Ibu tampak terkejut, karena selama ini aku tidak pernah berkata tegas, apalagi menolak dengan segala yang ia perintahkan. Walau terkadang apa yang ia suruh adalah sesuatu yang tak masuk di akal. Tapi kali ini aku sudah letih. Aku letih menuruti semua kemauan mereka. Aku letih untuk terus bersabar.
"Terserah kamu mau kerjakan nanti atau nanti malam, Zalia. Yang ibu tahu, setrikaan Ibu itu selesai! Awas kalau tidak selesai!" ancam ibu sambil berlalu pergi meninggalkanku dengan setumpuk pakaian yang harus aku kerjakan.
Aku hanya bisa mendengus dengan tingkah laku mertuaku ini. Tidak anak, tidak emak sama-sama cuma bisa menyakiti saja.
Aku menendang buntalan kain itu hingga menggelinding di dekat tembok. Biar saja, pakaian itu berjamur di sana. Mereka pikir aku ini babu apa!
???
Mentari pagi menyapa, kicau burung bersahutan membangunkan tubuh yang terasa remuk-redam. Pukul sepuluh malam aku baru selesai berjibaku menyelesaikan setrikaanku.
Jika bukan karena perut yang menjerit untuk selalu di isi, mungkin aku tak akan mau mengerjakan pekerjaan ini.
Dengan gerakan malas aku bangkit dari tidurku. Melirik sejenak pada lelaki yang bergelar suami ini. Mas Yudha tidur di ujung, bersebelahan dengan Alia yang di tengah. Entah dari mana ia seharian kemaren? Pulang-pulang langsung tidur dan tak bangun juga pagi ini. Jika ada lomba pura-pura mati, aku yakin Mas Yudha lah pemenangnya.
Aku bangkit dari ranjang menuju kamar mandi, membersihkan diri sebelum berjibaku kembali menyelesaikan pekerjaan yang tiada habisnya.
Ahh ... andai dulu aku tak tergoda janji manis suamiku. Mungkin dulu kuliahku selesai dan memegang ijazah sarjana. Bekerja layaknya wanita kantoran, bukan menjadi babu cuci seperti ini.
Setelah mandi, aku ke warung sebentar membeli bahan untuk dimasak. Setelah berkutat di dapur. Akhirnya nasi hangat yang masih mengepul, tempe goreng, sambal terasi dan sayur lodeh sudah terhidang di atas meja.
"Bunda!" panggil putriku, Alia. Ia berdiri diambang pintu dengan celana yang basah. Lantai juga basah dengan air ompol yang menggenang. Alia memang tidak kupakaikan diapers. Selain gak sehat di badan juga tak sehat di kantongku.
"Ayo kita mandi sayang," ajakku. Aku membawa Alia ke kamar mandi. Meninggalkannya sebentar untuk mengelap dan mengepel bekas ompolnya yang ada di lantai. Setelah itu baru memandikan putriku hingga bersih.
Setelah bersih dan wangi. Memakaikannya pakaian dan mengajaknya ke meja makan. Menyuapi putriku hingga kenyang. Agar saat aku bekerja di belakang nanti, ia tidak rewel dan tidak menggangguku.
Alia makan dengan lahap. Putriku ini memang tidak rewel dalam makanan, ia akan makan apa saja yang aku masak asalkan tidak pedas. Terkadang hatiku terenyuh membayangkan masa depannya nanti.
"Zalia! Kamu masak apa?" tanya Mas Yudha yang tiba-tiba nimbrung duduk di meja makan. Aku menatap Mas Yudha horor. Selain pemalas ternyata suamiku ini juga jorok.
"Mas Mandi dulu sana! Atau cuci muka, kek. Jorok banget kamu!" tegurku. Sambil mendengus Mas Yudha beranjak, mengambil handuk yang terlampir diatas pintu kamar dan berjalan ke kamar mandi.
Barulah setelah mandi dan mengenakan pakaian ia kembali bergabung dengan kami di meja makan.
Mulutnya berdecak melihat makanan yang kusajikan. Hanya ada tempe goreng sebagai proteinnya.
"Tak ada ikan, atau ayam apa, Zal?" tanyanya. Aku memutar bola mata jengah. Selalu saja pertanyaan itu yang aku dengar saat ia membuka tudung nasi. Andai ia bekerja dan berikanku nafkah seperti suami-suami di luaran sana. Jangankan ayam dan ikan, daging sapi pun aku beli untuknya.
Jika aku masak ayam atau ikan hari ini, besok kami akan makan apa? Tubuhku tak selamanya kuat menjadi buruh cuci seharian. Lagi pula kebanyakan ibu-ibu komplek sekarang pada beralih mesin cuci. Hanya beberapa orang saja yang masih setia memakai jasaku.
"Adanya itu, Mas. Mau makan syukur, nggak ya udah!" jawabku asal.
Mas Yudha berdecak. Mengambil piring yang sudah kusiapkan. Ia menyendok nasi, mengambil tempe dan sambal, serta sayur lodeh dengan banyak kuah. Mas Yudha memang suka makan yang berkuah dan tergenang.
"Kamu tidak pergi kerja, Mas?" Tanyaku hati-hati. Saat suapan terakhirnya habis. Mas Yudha menenggak air putih di gelasnya hingga tandas.
Ia menyenderkan punggung di kursi, tampaknya kekenyangan. Wajar saja, masih pagi tapi porsinya sudah seperti pekerja berat saja.
"Udah nyari kerja, tapi gak dapat," jawabnya.
"Loh bukannya kemaren suami Bik Jum ngajakin kamu kerja Mas? Suami Mbak Vera juga. Kok, kamu bilang gak ada kerjaan sih, Mas?" komentarku.
"Malas lah! Kerjaan yang mereka tawarkan, kerjaan berat semua. Mana gajinya kecil, gak sesuai," balas Mas Yudha.
"Lalu kerjaan yang sesuai menurutmu itu apa, Mas? Selagi itu halal apa salahnya, dari pada kamu makan tidur seperti pohon pisang!" sungutku. Aku heran, kok, ada manusia model Mas Yudha dan naasnya aku pula yang bersuamikan dirinya.
"Alah ... kamu tahu apa, Zalia! Lagi pula duit kiriman dari ibumu, kan, ada setiap bulan untuk tambahan uang dapurmu. Kamu juga dapat upahan," tukasnya.
Aku beristighfar di dalam hati. Mengusap dada ini yang terasa sesak karena tak habis pikir dengan jalan fikiran suamiku ini. Dimana lah tanggung jawabnya sebagai lelaki dan sebagai seorang bapak? Mas Yudha benar-benar keterlaluan!
"Sampai kapan kita akan ngandelin kiriman ibuku? Lagian kamu itu kepala rumah tangga, Mas. Seharusnya kamu yang mencari nafkah untuk keluarga ini, bukan menjadi beban istri," ucapku mengingatkan akan statusnya.
"Loh, kok, kamu ngomong gitu, Zalia? Tugas istri itu membantu suami. Jika suami lagi tak ada kerjaan, lagi pula kalau aku kerja. Uangnya juga kuberikan padamu!" Mas Yudha tampak tak terima dengan ucapanku. Ia berdiri tegak menatapku nyalang. Ada amarah di binar matanya.
"Jangan mentang-mentang kamu sudah pintar cari duit, kamu bisa menghina aku seperti ini, ya, Zalia. Lagi pula yang kamu hasilkan itu tak seberapa, jadi jangan merasa bisa mengatur aku. Aku mau kerja atau tidak itu urusanku! Enak banget kamu, aku yang kerja kamu yang ongkang-ongkang kaki di rumah!" lanjutnya lagi.
"Ya Allah, Mas ... sadar! Kamu ngerti Agama gak, sih? Kamu paham arti kata suami tidak, sih? Uang yang selama ini kamu kasih sama aku itu bisa di hitung pakai jari, itu pun tidak cukup untuk makan kita sehari. Aku benar-benar gak habis pikir dengan jalan pikiranmu?!" tariakku geram.
Mas Yudha memang punya keahlian dalam bidang multimedia dan elektronik. Kadang-kadang ia dapat panggilan untuk servis. Entah itu parabola, leptop atau televisi. Bahkan edit Vidio. Tapi ia hanya menunggu jika ada panggilan saja.
Itupun uangnya ia kantongi sendiri, jika aku tahu dan minta. Barulah ia menyodorkannya padaku. Jika dapat 200ribu, Ia hanya akan memberiku sekitar lima puluh ribu saja, bahkan tidak sampai dari itu.
Jelas pekerjaan itu tidak bisa di jadikan harapan. Karena tidak setiap hari elektronik orang rusak dan tidak setiap hari pula orang memintanya untuk mengedit Vidio. Apa lagi jaman modern ini, banyak yang sudah paham dengan applikasi pendukung untuk mengedit Vidio sendiri.
Brakk ...
Mas Yudha menggebrak meja kayu ini dengan keras. Membuat Alia yang duduk di sebelahku menjadi terkejut.
"Kamu ini jadi istri bawel banget, sih! Tiap hari kerjaannya cuma bisa menuntut! Duit ... duit ... duit, saja yang kamu bahas. Apa tidak ada pembahasan lain, hah! Bikin suami gak betah di rumah saja!" sungutnya lantang.
Lalu pergi begitu saja keluar rumah. Entah pergi ke mana lagi? Selalu seperti itu, setiap marah ia akan pergi dan pulang sampai larut malam.
Kuelus dadaku lagi, menenangkan debaran jantung yang meronta-ronta. Sesak dada ini seakan mencekik leherku. Empat tahun kami menikah, batas kesabaranku selalu ia uji.
