Pustaka
Bahasa Indonesia

Balada Ming Yuan

117.0K · Tamat
Zhang Ayu
83
Bab
8.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Ming Yuan gadis 15 tahun yang dikirim ke Istana sebagai Selir. Karena memberontak, Ming Yuan akhirnya dihukum dan takdir membuatnya bertemu Zhuge Yue. Tak disangka, Zhuge Yue membawa Ming Yuan sekaligus memperkenalkannya sebagai istri. Kaisar yang marah menghukum mereka dengan mengirimnya ke Pagoda angker, yakni Pagoda Angle di danau Angle. Zhuge Yue bersama pengawal pribadinya memboyong Ming Yuan ke Pagoda Angle. Akan tetapi, tidak ada yang tahu kalau rupanya Zhuge Yue tidak menjadikan Ming Yuan sebagai istri, melainkan seorang murid. Berkat Zhuge Yue, Ming Yuan mengetahui fakta besar kalau ternyata seluruh keluarganya telah dibantai! Guna membalaskan dendam, Zhuge Yue membantu Ming Yuan menjadi ahli bela diri yang mematikan tapi bayarannya gadis itu harus turut menjadi pion balas dendam Zhuge Yue. Dua tahun berlalu, mereka akhirnya dipersilahkan kembali ke Ibu kota. Namun sekembalinya mereka, kasus pembunuhan terus menerus terjadi hingga mereka menjadi satu-satunya yang diincar Jenderal Song sebagai pelaku. Lantas, bagaimana jadinya jika tindakan mereka terbongkar?

FantasiRomansa

Air Mata Bercampur Darah.

Musim dingin, ujung hutan bambu.

Ming Yuan mengedarkan pandangan. Selain gerombolan bambu tinggi menjulang di hadapannya, ia hanya bisa melihat sekelompok orang berpakaian zirah tembaga yang mengacungkan golok panjang dan sebilah tombak.

Pandangan Ming Yuan turun ke bawah. Mayat-mayat berceceran seperti daun kering di musim gugur. Tembaga di dada mereka bercampur darah. Anyir luar biasa menusuk.

Lalu, gadis itu melihat ke bawah. Di atas pangkuannya, seseorang yang paling berarti baginya telah memejamkan mata.

Ming Yuan menjerit, "Zhuge Yue!"

Di suasana yang sunyi mencekam ini, suara Ming Yuan laksana lolongan serigala kelaparan. Saat yang sama, tangisannya memecah, membanjiri pipinya dan pipi pria di atas pangkuannya itu.

"Zhuge Yue jangan mati!!!" Ming Yuan menangis tersedu-sedu. "Jangan mati, Zhuge Yue, jangan tinggalkan aku!"

Tangisan Ming Yuan semakin kencang. Tangan Zhuge Yue bergerak. Tangan penuh luka dan darah itu terangkat. Lantas, dengan lembut tangan itu menyapu pipi tirus Ming Yuan.

"Ming Er." Pelan nyaris tak terdengar panggilan Zhuge Yue.

Ming Yuan lekas menyambut tangan Zhuge Yue. Ia genggam erat, seakan menunjukkan betapa ia sangat khawatir kehilangan pria itu.

"Jangan tinggalkan aku, Zhuge Yue, aku tak punya siapapun lagi."

Zhuge Yue tersenyum. Kemudian ia mengarahkan pandangannya yang mulai redup kepada pasukan berzirah tembaga.

Melihat kegarangan wajah mereka, energi Zhuge Yue bagai tercharge secara penuh dalam waktu singkat.

Pedang yang sebelumnya sudah tergeletak, kini ia ambil alih dan ia gunakan untuk menekan mereka mundur.

"Zhuge Yue!!!"

Keadaan Zhuge Yue sangat parah. Ming Yuan mengkhawatirkan pria itu. Tak mau kalah, Ming Yuan turut mengambil pedangnya. Lalu, ia membantu Zhuge Yue memukul lawan mundur.

Selain Zhuge Yue, keadaan Ming Yuan juga sudah sangat lemah. Jika saja dua tahun lalu Zhuge Yue tidak mengajarkannya ilmu bela diri, mungkin ia telah mati dua atau tiga shichen yang lalu.

Tangggg

Pada akhirnya, Ming Yuan tak sanggup mengarahkan pedangnya ke lawan kembali. Pedang miliknya terlempar jauh ke dasar danau, dan hal itu membuat setidaknya 10 Prajurit mengepung dirinya dari segala sisi.

"Ming Yuan!" Zhuge Yue berteriak panik.

Zhuge Yue hendak menyelamatkan Ming Yuan, tetapi seseorang yang memiliki keahlian bela diri tak kalah jauh darinya, tiba-tiba datang memberi tendangan hingga pria malang itu terdorong mundur sampai kaki kanannya menyentuh ujung tebing.

Srakkk

Serpihan tebing koyak. Mereka berjatuhan ke dasar danau dan tidak meninggalkan suara, yang berarti jarak ujung tebing dengan danau sangatlah tinggi.

Zhuge Yue menoleh. Mundur sedikit saja, nyawanya bisa melayang. Tapi ia tak bisa maju karena prajurit berzirah tembaga di hadapannya itu telah mengepung, tak memberinya celah melawan atau mengepung.

Di antara celah kaki mereka, Zhuge Yue melihat tubuh Ming Yuan tergeletak dengan tangan berlumur darah. Zhuge Yue tidak terima. Pria itu tanpa berpikir bergerak maju, sambil menebaskan pedang tapi … sebuah anak panah melesat kencang menebus dadanya.

Darah segar muncrat. Zhuge Yue melirik ke bawah. Dan pandangan pria itu menjadi buram. Saat yang sama rombongan anak panah memberondong tubuhnya. Zhuge Yue tak kuasa. Tubuhnya terhuyung ke belakang lalu …

"Zhuge Yue!!!"

Pria itu pada akhirnya melewati ujung tebing. Tubuhnya jatuh melintasi udara menuju permukaan danau yang dingin bagai es.

Pasukan berzirah tembaga berdiri di setiap tapi, mereka seolah tak ingin ketinggalan menyaksikan jatuhnya tubuh Zhuge Yue.

Byurrrrr

Kini sudah dipastikan tubuh Zhuge Yue memasuki air danau yang dingin itu. Ming Yuan gegas merangkak, menyingkirkan setiap orang untuk sampai di ujung tebing. Namun, ketika tangannya sedikit lagi sampai, seseorang mendadak menarik kaki Ming Yuan lalu membopongnya seperti membopong karung goni.

"Zhuge Yue! Zhuge Yue!" Ming Yuan berteriak parau. Ia sekaligus memukuli pundak seseorang yang membawanya.

"Zhuge Yue! Jangan tinggalkan aku!"

Ming Yuan dibawa pergi dari sana. Ua berteriak tanpa mau melepas pandangannya dari tempat terakhir ia bersama Zhuge Yue.

"Zhuge Yue!!!"

Seseorang yang membawanya itu mengeluarkan jurus memukul tengkuk. Ming Yuan dalam sekejap tak lagi bergerak maupun tak bersuara.

Lalu, seseorang itu mendudukkan Ming Yuan pada punggung kudanya, diikuti ia sendiri. Kuda dicambuk, kuda berjalan ke depan, tidak lambat juga tidak cepat.

***

Ibu Kota.

Sambil menunggu dekrit Kaisar. Ming Yuan dimasukkan penjara bawah tanah. Untuk menghindari bunuh diri, kedua tangan dan kakinya diikat menggunakan tali. Bahkan di penjara bawah tanah itu, selain dirinya, maka hanya ada kegelapan tak terlukis.

Ming Yuan tak dapat melihat apapun. Ia memilih memejamkan mata seraya berdoa untuk kematiannya sendiri.

Dalam keadaan malang itu, Ming Yuan mengingat masa silam. Masa dimana hari dimulai dengan buruk, baik lalu kembali buruk.

Semua masih terpatri jelas. Seolah di depan mata, seolah baru terjadi kemarin sore, siang atau malam. Dan semua itu dimulai saat …

Musim gugur tahun 770 SM.

Kereta keluarga Yuan tiba di depan istana harem. Gadis muda yang sedang mekar-mekarnya itu diseret keluar lalu didorong pada Kepala Pelayan istana harem.

"Itu Nona muda persembahan kami untuk Kaisar," ucap Kusir.

Kepala Pelayan melempar sekantong koin pada Kusir. "Makmurkan rakyat!"

"Baik." Kusir tersenyum lalu bergegas pergi menjalankan keretanya.

Ming Yuan seketika berlari mengejar. "Paman! Jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan aku!"

Kepala Pelayan menarik tangan Ming Yuan. Dengan tatapan tajam, ia mampir membuat nyali gadis itu menciut.

"Kau beruntung bisa menjadi bagian istana harem. Jangan ceroboh atau nyawamu berakhir sebelia ini." Kecam Kepala Pelayan.

Ming Yuan secara lantang menjawab, "Daripada menjadi gundik Kaisar tua, lebih baik aku mati!"

Plakkkk

Tamparan keras melayang mengenai pipinya. Jejak merah telapak tangan tertinggal di sana. Rasanya luar biasa ngilu sampai air mata Ming Yuan keluar tanpa disadari.

"Jangan bicara sembarangan!"

Cuihhh

Ming Yuan malah meludahi wajah Kepala Pelayan. Itu membuat Kepala Pelayan murka tapi masih pandai mengendalikan kemarahannya.

Kepala Pelayan hanya terpejam, seraya menggertakkan rahang. Setelah matanya mengerjap, ia meminta Prajurit membawa Ming Yuan ke gudang kayu.

"Bawa gundik kecil ini ke gudang kayu! Tanpa izin dariku, seseorang tak bisa menemuinya!"

"Baik!"

Gubrakkkk

Ming Yuan si gadis 15 tahun itu akhirnya dilempar ke gudang kayu, yang gelap gulita bila pintunya ditutup.

Lutut Ming Yuan terbentur. Ia tak bisa bangun. Selama beberapa shichen ia terus terjerembab dengan mata terjaga tajam.

Di pertengahan malam udara semakin dingin. Tubuh Ming Yuan menggigil tapi lebih baik mati kedinginan daripada ia menjadi gundik Kaisar atau seorang Selir.

Angin musim gugur menelisik masuk. Selain menyapu wajah Ming Yuan, sekaligus meninggalkan alunan seruling yang lembut mendayu-dayu dan dalam seolah menyentuh setiap pori-pori Ming Yuan.

Ming Yuan berkedip. Sakit di kedua lutut dan hatinya seakan sirna. Ia merangkak menghampiri pintu. Melalui celah-celah pintu itu, alunan seruling terdengar lebih jelas.

Sudut bibir Ming Yuan terangkat. Ia berusaha menggapai gagang pintu. Ia menariknya ke belakang tapi tidak terbuka. Lalu, ia mengetuk pintu berharap ada yang mendengar.

"Tolong aku!"