Pustaka
Bahasa Indonesia

BUKIT ORANG BUNIAN

120.0K · Tamat
ZAGGREZZ
97
Bab
776
View
9.0
Rating

Ringkasan

Dibalik rerimbunan pohon yang terlarang dijamah manusia itu, dibalik gelap dan liarnya hutan bukit barisan, mereka mendirikan pancang pancang daerah kekuasaan mereka. Suatu kelompok yang sudah terikat perjanjian sejak dahulu kala untuk tidak saling mengusik dengan dunia manusia dan tinggal di daerah masing masing. Sampai akhirnya perjanjian itu dirusak oleh tangan tangan serakah manusia yang membuat keseimbangan luhur itu runtuh.dan bencana besar akan terjadi di hadapan mata orang orang yang tidak pernah puas menghancurkan alam.

SupernaturalFantasipembunuhanpetarungDewasa

BAB I

Langkah kecil kedua anak itu meninggalkan jejak diatas tanah lembab yang baru saja diguyur hujan lebat tadi pagi. Udara segar dan gemericik air dari irigasi sawah mengalun dengan sesekali suara serangga yang bersembunyi dibalik dedaunan. Dibawah naungan kokoh bukit barisan, penduduk desa Rangkiang beranjak pulang dari sawah dan aktivitas mereka hari ini.

“besok kita nyari belalangnya ke sawah sebelah aja. Lebih banyak” ujar Guntara sambil melihat hasil tangkapannya yang tidak terlalu banyak.

“segini udah cukup harusnya. Bisa buat makan malam ini” ujar Abbas masih dengan senyumannya yang seingat Guntara tidak pernah lepas dari wajahnya.

“nanti mau diapain belalangnya dek?” tanya Abbas sambil menengok ke belakang.

“goreng!” ujar Mina, adik perempuan Abbas yang selalu ia gendong kemanapun ia pergi.

Ketiganya menyusuri sawah dan jalan kampung yang hanya berupa kerikil yang disebar di atas tanah merah. Satu demi persatu petani berpapasan dengan mereka yang kemudian segera mereka sapa dengan senyuman ramah.

“pulang bu?” sapa Abbas.

“iya, darimana ini udah mau sore?” ujar Bu Puja, salah satu warga kampung itu.

“ini abis nyari belalang” kata Guntara sambil mengangkat toples bekas astor yang  ia lubangi atasnya dan menjadi tempat menaruh belalang belalang hasil buruan mereka.

“wah banyak juga, kalian kalo mau cari serangga atau langkitang, itu di sawah ibu banyak” ujar Bu Puja.

“oh boleh bu, besok sore coba liat kesana deh!” ujar Abbas bersemangat.

Setelah mengucapkan salam perpisahan, Guntara dan Abbas melanjutkan perjalanan hingga sampai ke sebuah simpang yang memisahkan arah rumah keduanya. Guntara lalu memberikan belalang hasil tangkapannya pada Abbas.

“nih, besok kalo masih nyisa, abang minta yaa” ujar Guntara pada Mina sambil mencubit pipinya dan tertawa.

Bagi Guntara, menangkap belalang ini hanyalah sebagai hiburan dan mengisi kegiatan bersama sahabatnya. Namun tidak demikian dengan Abbas, ia menangkap belalang belalang ini untuk lauk makannya nanti malam..

Abbas bernasib kurang beruntung, dalam keluarganya, satu satunya yang menyayanginya dahulu adalah ibu kandungnya. Sayang, ibunya meninggal saat melahirkan Mina beberapa tahun lalu.

Sementara ayah Abbas, Pak Buyung, dikenal sebagai pribadi keras dan pelit walaupun sebenarnya ia cukup mampu. Ia tidak segan segan main tangan kepada anak anaknya jika emosinya sudah tersulut. Ia juga jarang pulang ke rumah untuk sekedar memberi nafkah kepada dua anaknya, dan kabar yang tersebar, ia sudah menikah lagi dengan seorang wanita di kampung lain walaupun secara siri. Kini Abbas dan Mina tinggal dirumah dengan Nek Pampang, adik dari nenek kandung Abbas yang ekonominya pun juga sulit.

“makasih ya, besok kalau panas kayak tadi gausah nemenin aku gapapa kok. Nanti kulitmu hitam” ujar Abbas pada Guntara.

“hangus hangus sedikit gapapa lah, biar keliatan gagah” jawab sahabatnya itu asal.

Abbas hanya tertawa melihat kulit Guntara yang putih itu selalu menjadi merah padam setiap terkena panas.

Setelah berpamitan, Guntara langsung mengarah ke rumahnya. Sementara Abbas,  sebelum pulang, ia akan mampir ke Surau Pamatang, sebuah Surau kecil berdinding kayu dengan dua buah makam tepat di sampingnya. Makam tua ini hanya terdiri dari sebuah nisan batu dan tumpukan bata merah yang sudah ditumbuhi lumut dan tanaman di sekelilingnya. Namun bagian tanahnya masih bersih seakan ada orang yang merawatnya secara rutin.

Makam ini oleh warga sekitar disebut dengan Pusaro Badantam, konon yang dimakamkan disana adalah tokoh kampung yang semasa hidupnya dikenal sebagai pemuka agama. Atas dasar itu juga, banyak warga yang mengkeramatkan makam ini, salah satunya dengan cara menaruh uang logam hingga uang kertas di bawah nisannya yang sudah tidak terbaca lagi nama dan tahun kematiannya.

Uang uang ini biasanya diberikan oleh orang yang mempunyai hajat atau bagian dari nazar. Orang dewasa dan yang mengetahui keramatnya makam ini tentu tidak berani mengusik uang uang yang berserakan disana. Namun bagi Abbas, uang uang receh disana adalah uang jajan tambahan yang bisa ia manfaatkan untuk membantu neneknya.

Orang kampung tau Abbas sering memunguti uang uang receh ini namun mereka juga tidak bisa melarangnya karena memang keadaan Abbas yang mengkhawatirkan.

Pusaro Badantam sendiri jika diartikan berarti “makam yang berdentum”, penamaan ini bukan tanpa alasan, menurut kepercayaan yang berkembang dan beberapa saksi mata, makam ini akan mengeluarkan bunyi seperti ada yang berdentum atau memukul mukul dari bawah saat bencana besar akan melanda kampung.

Bunyi dari makam ini menjadi indikator bagi masyarakat untuk bersiaga karena pertanda dari Pusaro Badantam ini biasanya hanya berjarak hitungan hari dari bencana itu sendiri.

Abbas berjalan mendekati makam itu dan melihat beberapa pecahan uang logam 5 dan 10 rupiah yang berceceran didekat nisan Pusaro Badantam. Ia memungutinya satu persatu dan menyimpannya ke dalam saku. Neneknya sudah berkali kali melarangnya, namun ia tidak punya pilihan lain.

“pamisi pamisi..” ujarnya sambil memunguti uang receh itu.

Sementara itu Guntara tiba di rumahnya dengan peluh yang sudah mengering dan beberapa tanaman berduri yang menempel di ujung kain celananya. Wajahnya juga terlihat merah padam, tanda ia baru saja berjemur di bawah terik matahari. Ibunya yang sedang memasak di rumah terheran melihat anaknya itu.

“darimana sih bang?.. kotor gitu” tegur ibu Guntara sambil mencuci piring.

“nyari belalang bu, sama Abbas” jawabnya singkat.

“nyari belalang lagi?.. Abbas gaada lauk lagi nak?..” tanya ibu khawatir.

“iya bu..” jawab Guntara sambil melepaskan pakaiannya dan mengambil handuk hendak mandi.

“nak, kamu gak ajakin Abbas sama Mina ke rumah aja buat makan? Ibu ga tega denger mereka makan belalang terus..” tanya ibunya lagi.

“udah bu, merekanya yang ga mau. Segan katanya”

“hm.. yaudah, besok kalo kamu main sama dia lagi, bilangin ibu ya. Ibu bungkusin lauk buat dia sama Mina makan. Mina masih kecil gitu kasihan makanannya ga dijaga..” ujar ibu.

“iya bu. Besok rencanaya aku mau bantuin dia nyari langkitang di sawah”

“hati hati main di sawahnya.. ntar ada lintah atau apa gigit kakimu” nasehat ibu.

“iya.. Tina mana bu?” tanya Guntara saat sadar adiknya tidak ada di ruang tengah.

“Itu di dalam kamar, tadi sih tidur. Jangan digangguin. Mending kamu mandi dulu sana” cegah ibu.

“iyadehh iya..” ujar Guntara malas.

Berkebalikan dengan Abbas, Guntara berada di keluarga terpandang dan berkecukupan di Dusun Rangkiang. Ayahnya, Bagindo Sati merupakan salah satu orang kaya raya dan dermawan di dusun ini. Meskipun demikian, keluarganya tidak membatasi pergaulan Guntara, termasuk pergaulannya dengan Abbas. Keluarganya juga tidak melarang Guntara ketika ia bermain dengan Abbas di alam dan membantunya mencari bahan makanan. Bahkan Ibu Guntara sesekali mengajak Abbas singgah untuk makan di rumahnya, namun Abbas selalu menolak dengan halus karena merasa tidak enak.

Satu hal yang membuat Ibu Guntara membiarkan anaknya bersahabat dengan Abbas karena ia tau Abbas adalah anak yang jujur dan tidak pernah berbuat aneh aneh. Ditengah kekurangannya, Abbas tidak pernah mau merepotkan atau merugikan orang lain. Untuk sekedar mengambil buah matang di pohon pinggir jalan saja ia enggan padahal perutnya sudah melilit menahan lapar yang amat sangat.

Beruntung beberapa orang sering memberikannya makanan dengan berbagai alasan, seperti ada sisa panen, lebihan yang lupa terangkut, dan lain lain. Mereka tau Abbas tidak suka dikasihani sehingga mereka selalu menyiapkan alasan sebelum memberikan sesuatu secara cuma cuma pada Abbas.

Namun uang uang di Pusaro Badantam adalah cerita yang berbeda, Abbas pertama kali melakukannya justru karena disuruh oleh Datuk Pagaralam, orang yang paling dihormati di desa itu yang merasa sayang jika uang uang itu dibiarkan padahal ada orang orang yang lebih membutuhkan.

***

“Abbas, waang tu nak?..” (Abbas, itu kamu nak?..) ujar Nek Pampang dengan langkah lambat berjalan ke dapur rumah sambil berpegangan ke dinding kayu disampingnya. Pencahayaan rumah itu begitu kurang, hanya ada beberapa lampu minyak yang ditempel di tengah tengah ruang.

“Iyo nek, sadang masak” (Iya nek, lagi masak) jawab Abbas sambil mendekati sang nenek dan memapah tangannya.