Bab V
Aku memandang wajah sayu itu di depan cermin, sisa-sisa air mata masih membekas di sana. Rambut kusam serta bibir pucat menjadi pemandangan utama.
Kuhela napas sekali lagi, lalu mengambil tas yang tergeletak di sisi ranjang. Pagi ini aku memutuskan untuk kembali ke rumah besar tempatku bekerja beberapa hari ini. Aku mengesampingkan ego dan emosiku kemarin demi untuk tetap bisa bekerja di sana dan berharap gajiku nanti mampu membantu Ayah dan Ibu. Ya, aku tak sanggup melihat wajah muram mereka tanpa melakukan usaha apapun.
Saat melewati ruang tengah, kulihat Ayah sedang duduk termenung sendirian, kuhela napas berat, kali ini fokusku bukan lagi biaya wisuda, melainkan kelangsungan hidup keluarga.
Aku berjalan mendekat, memeluk lengan Ayah yang duduk di sofa panjang. “Ayah jangan sedih, Silva janji akan cari uang buat bayar utang kita,” ucapku lembut, berharap mengurangi kegelisahan hati pria tercintaku ini.
Ayah mengembuskan napas panjang, menoleh ke arahku dengan senyum dipaksakan. “Maafin Ayah,” ucap beliau serak.
Kusapu lembut lengan yang selama ini berusaha keras untuk menghidupi kami sekeluarga. “Seharusnya Silva yang minta maaf, belum bisa jadi anak kebanggaan Ayah.”
Pria tua itu tersenyum lembut. “Kamu anak Ayah yang hebat, nggak manja dan selalu bisa diandalkan.”
Aku mengangguk kecil. “Ya sudah, sekarang Ayah istirahat, Silva berangkat kerja dulu.”
“Kamu hati-hati, selalu waspada sama lelaki yang mendekati kamu,” ujar Ayah menasihati.
“Iya, Ayahku Sayang.”
Setelah berpamitan, aku lekas meninggalkan rumah menuju kediaman Tuan Besar yang kali ini kuharap tak mengingat sikap tak sopanku semalam. Meski sebenarnya dialah yang lebih tak sopan.
Aku memukul kepala saat ingatan tentang ciumannya kembali terlintas, bisa-bisanya aku membayangkan hal itu di saat seperti ini.
Kakiku kini telah berdiri di depan gerbang yang menjulang, menampakkan keangkuhan yang sama dengan sang empunya. Kutarik napas panjang seraya berdoa semoga niatku kali ini berjalan sempurna.
Aku memantapkan langkah memasuki halaman luas ini setelah dipersilakan petugas keamanan, mataku berkeliling mencari-cari sosok yang ingin kutemui.
Nah, itu dia! Pria berwajah datar yang selalu mengikuti ke mana pun Tuan Max pergi.
“Selamat pagi, Jo,” sapaku seramah mungkin.
Pria itu menoleh tanpa ekspresi. “Untuk apa kau datang lagi?” tanyanya datar.
Aku meringis tanpa sadar, dengan jantung berdebar-debar. “Kenapa pertanyaanmu seperti itu?” tanyaku, pura-pura tidak tahu.
Jo mendengkus kasar, lalu menatapku tajam. “Tuan Max hampir membunuhku karena ulah kurang ajarmu!” ucapnya geram.
Aku berjengit kaget. Benarkah seperti itu? Lalu bagaimana nasibku sekarang?
“Aku ... aku ... benar-benar tidak sengaja,” sahutku pelan.
“Terserah, sekarang silakan tinggalkan tempat ini,” usir pria itu.
Mataku membulat sempurna, kepanikan melanda seketika. Pekerjaan ini adalah harapanku satu-satunya, jika dipecat, bagaimana aku harus membayar utang-utang Ayah?
“Jo ... bisakah aku berbicara dengan Tuan Max?” ujarku setengah mohon.
“Tidak! Aku tak mau ambil risiko kau kembali memancing amarahnya.”
“Aku berjanji tidak akan membuat keributan, aku akan meminta maaf padanya,” ucapku sungguh-sungguh.
Belum sempat Jo menjawab, terdengar suara teriakan kasar serta bantingan benda-benda dari arah kamar Tuan Max. Sontak saja pria itu melarikan langkah ke sana, dan tanpa pikir panjang aku mengikutinya.
Kami masuk bersama kepala pelayan yang juga baru tiba di depan kamar Tuan Max.
“Maaf, Tuan, apa kami memiliki kesalahan?” Suara wanita paruh baya itu terdengar ketakutan.
Dengkusan kasar dari pria itu terdengar, matanya seperti kilatan api yang berkobar. “Keluar!” desis pria itu tajam, dadanya naik turun sebab emosi yang belum teredam.
“Tuan—”
“Kau juga keluar, Bangsat!” Hardikan Tuan Max menghentikan ucapan Jo.
Jo menghela napas panjang, sementara sang kepala pelayan mulai mundur perlahan. Tentu saja, saat ini Tuan Max benar-benar terlihat mengerikan.
Kusapu pandangan menjelajah isi ruangan yang berantakan, pecahan kaca beserta guci berserakan di lantai. Lalu, aku merasakan jantungku seakan lepas dari tempatnya ketika Tuan Max berjalan tanpa alas kaki menuju ranjang. Sumpah mati, hal itu bisa membuatnya terluka.
“Tuan, awas!” Spontan aku berlari ke arahnya, menarik lengan kekar itu menuju lantai tanpa pecahan kaca.
Sayangnya, tarikanku terlalu kencang, hingga tubuh besar itu oleng dan malah jatuh menimpaku. Kami jatuh ke lantai dengan tubuh besarnya berada di atasku.
Aku merasakan tubuhnya mendadak kaku, napasnya terdengar memburu. Tak lama, dia menggeram kasar layaknya serigala yang hendak memangsa. Sungguh, bulu kudukku sampai merinding dibuatnya.
“Kau datang lagi,” geramnya emosi.
“Saya ... saya ....”
“Apa lagi maumu, hm?” tanyanya datar.
“Tu-Tuan, bisakah Anda bergeser—”
“Tidak bisa!” tukasnya garang.
Aku sampai meringis mendengarnya, lalu melirik ke arah pintu, berharap pertolongan dari Jo. Tapi, betapa terkejutnya aku saat tak mendapati siapa pun di sana, bahkan pintu itu sudah tertutup rapat.
“Mencari bantuan, hm?” Tuan Max mendengkus mengejek.
“Bukan begitu, hanya saja saya merasa sulit bernapas, badan Anda terlalu berat,” ujarku kesal. Apa dia tak tahu betapa besarnya tubuhnya itu?
Pria itu mengerutkan dahi dalam, lalu setelahnya dia bergeser dari atas tubuhku.
Embusan napas lega keluar begitu saja. Sungguh, berdekatan dengannya bukan hanya membuat napasku sesak, tapi juga jantungku yang dengan gila-gilaannya berdetak.
“Kenapa Tuan hobi sekali marah-marah?” tanyaku pelan, berusaha tak menyinggung perasaannya, tapi sayangnya aku tak berhasil karena wajahnya kini kembali menunjukkan kemarahan hebat.
“Bukan urusanmu!” bentaknya, lalu berusaha berdiri dan kembali menuju ranjang.
Aku segera bangkit dan menarik tangannya, kali ini tak sekuat saat pertama kali. Kutuntun dia menuju kasur tanpa melewati pecahan benda yang berserakan di lantai, lalu mendudukkan pria itu di pinggir ranjang.
“Saya akan membersihkan kamar Tuan,” ucapku pelan.
“Tidak perlu, itu bukan tugasmu!” sahutnya tak suka.
Apa dia tak mau aku menyentuh barang-barang berharga miliknya di sini? Ya, mungkin saja dia menganggap tanganku sehina itu. Aku mendengkus dongkol karena pemikiran itu.
“Kenapa kau datang lagi?” tanya pria itu tajam.
Aku meringis karena lagi-lagi pertanyaan itu yang harus kujawab. “Maaf untuk hal kemarin, Tuan. Tapi, sungguh saya tidak berniat untuk berhenti,” ucapku takut-takut.
“Tidak berhenti? Sudah berapa kali kukatakan jangan pergi tanpa izinku. Tapi, kau mengabaikan itu!” desisnya geram.
“Saya ... saya hanya kesal. Tuan mencium saya tanpa permisi!” ujarku keras, kali ini aku yang mulai kesal sendiri.
Tuan Max mendengkus kasar dengan wajah merah padam, tangannya mengepal erat menandakan emosi yang siap meluap. Tapi, kalimat pria itu selanjutnya membuatku terlonjak kaget, mataku menatap horor ke arahnya.
“Lalu, jika meminta izin apakah aku boleh menciummu? Atau bahkan menidurimu?” tanyanya dengan suara super-duper datar.
*****
