Bab IX
Aku menyantap nasi goreng di kantin kampus karena bayi besar itu telah merampok sarapan pagiku. Tidak mungkin aku mengikuti perintahnya mengambil makanan di dapur rumah mewahnya untuk mengganti bekalku, meski sedikit rasa di hatiku menginginkannya. Bukan tanpa alasan, naluri kemiskinanku seolah menggeliat ingin mencicipi sarapan mewah orang kaya.
Namun, segera kutepis keinginan memalukan itu, dan aku terpaksa merogoh kocek lebih untuk sarapanku pagi ini. Padahal niat hati ingin menghemat, tapi apa daya aku tak mampu melawan keinginan tuan besar.
Belum lagi ponselku yang dihancurkannya seenak dengkul itu, entah bagaimana nanti caraku memebeli baru di saat kondisi keuangan sedang sekarat begini.
Kusudahi sarapanku saat kulirik jam tangan sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, dosen pembimbing yang aku tunggu-tunggu pasti sudah datang, dan aku harus bergerak cepat sebelum ia kembali menghilang tanpa jejak dan mengakibatkan skripsiku berkarat.
Saat melangkahkan kaki menuju ruangan sang dosen, tak sengaja mataku melihat sesosok mahkluk yang amat sangat kukenali rupa wajah serta raut tak bersahabatnya. Bukan, bukan Tuan Max yang kumaksud, melainkan tangan kanannya yaitu Jo. Sedang apa laki-laki itu di sini?
Dia sudah melangkah jauh melewati lobi saat bibirku memanggil namanya. Kakiku berusaha untuk mengejar, tapi suara panggilan dari Bu Diana menghentikan langkahku.
"Iya, Bu," sahutku meringis.
"Mau ke mana kamu? Janji jam sepuluh, dan ini sudah lewat lima belas menit tapi kamu masih berkeliaran di sini. Mau wisuda tahun depan kamu?" omelnya pedas.
Aku tak mampu menjawab dan hanya menunduk dalam, sungguh malang nasibku memiliki dosen super cerewet dengan kesalahan siswinya tapi tetap santai saat ia yang bersalah.
Padahal, sudah lebih dari lima kali aku dikhianati saat memiliki janji temu dengannya, bahkan aku sampai rela menyambangi rumahnya yang menggerus dompet karena ongkos ke sana ke mari, tapi lihat saat aku yang terlambat sedikit saja, ucapannya sudah seperti ibu tiri yang memarahi Cinderella.
"Maaf, Bu, sekarang bisakah--"
"Tidak bisa, saya ada kelas pagi ini. Salah kamu datang menemui saya terlambat," tukasnya judes seraya melenggang pergi meninggalkan aku yang menganga tak percaya.
Kuhentak kaki dengan kesal, entah kenapa hari ini seperti kesialan bagiku. Dari sarapanku yang dirampas seenaknya, lalu ponsel satu-satunya kini hancur tak bersisa karena ulah manusia menyebalkan itu, dan kini ... dosen tak berperasan itu membatalkan jadwal bimbingan begitu saja. Oh, ya. Jangan lupakan tentang Leo yang menambah pusing kepalaku.
Kuputuskan untuk kembali ke rumah, membantu ibu berjualan. Semoga saja rezeki hari ini lancar, agar hutang kami segera terbayarkan.
Sebagai mahasiswi keguruan, bukannya aku tidak pernah atau berminat melamar ke sekolah-sekolah. Hanya saja, dulu aku pernah mendapat tragedi tak mengenakkan yang membuatku sedikit trauma dan merasa perlu menenangkan diri sejenak.
Saat itu aku mengajar di sebuah sekolah dasar, membimbing seorang anak yang belum bisa membaca karena kemalasannya. Seiring berjalannya waktu, sang anak itu sudah mulai lancar membaca sehingga orang tuanya begitu berterimakasih padaku. Papa anak itu sering memberiku hadiah berupa makanan atau oleh-oleh saat ia pulang dari luar kota. Sungguh, aku sudah menolak sekuat tenaga, tapi orang itu tetap memaksa. Sampai suatu hari sang istri datang dan melabrakku habis-habisan, mengataiku pelakor dan wanita murahan. Lalu, karena kekayaan yang dia punya, akhirnya wanita itu bisa mendepakku dari sekolah itu selamanya. Sungguh miris jika kuingat-ingat.
"Kok sudah pulang, Nak?" Ibu bertanya dengan alis bertaut heran.
Aku tersenyum masam seraya memeluk Ibu yang semakin kebingungan.
"Kenapa toh kamu ini?"
Aku melepas pelukan dan mengusap bahu Ibuku penuh sayang. "Mau bantuin Ibu jualan," sahutku cengengesan.
Ibu menatapku curiga. "Bukannya kamu mau ke kampus hari ini?"
"Sudah pulang, Bu," sahutku santai.
"Cepat sekali," gumam Ibu terheran-heran.
"Ngapain lama-lama, Bu, kalau sudah selesai," ucapku seraya mencomot satu gorengan di atas piring.
"Kebiasaan! Cuci tangan dulu sana!" omel Ibu melihat kelakuanku.
"Cuma satu ini aja kok, Bu," rengekku memelas.
"Sekarang satu, nanti satu lagi," omelnya sambil menggoreng tahu di kuali.
"Nggak, Silva udah kenyang. Bapak ke mana, Bu?"
"Ke mebel, tadi ada yang datang nawarin bantuan," sahut Ibu berbinar.
"Bantu apa?" tanyaku penasaran.
"Mau investasi katanya," sahut Ibu penuh senyuman.
"Loh, Bu, hati-hati loh, jangan-jangan ini penipuan. Mana ada sih yang mau investasi ke mebel udah hangus gitu," ucapku penuh curiga.
Sungguh, mebel Ayah bukanlah yang terbesar atau ternama di ibu kota. Hanya usaha kecil-kecilan yang untungnya juga tak seberapa, lalu ada seseorang yang datang ingin berinvestasi saat semuanya sudah hancur tak bersisa? Benar-benar tidak masuk akal.
"Hust, suudzon aja kamu, siapa tahu ini rezeki dari Allah," sahut Ibu menasehati, tapi aku tetap tak percaya.
"Silva mau nyusulin Ayah dulu, takutnya nanti Ayah malah terpedaya." Aku buru-Buru bangkit dan menyalami tangan Ibu yang hanya menggelengkan kepala melihat ulahku.
"Hati-hati kamu," pesannya padaku.
"Ya, Ibu."
Sesampainya di sana, aku mendapati Ayah sedang berbincang dengan seorang pria bertubuh tambun yang memegang map berwarna coklat.
"Ayah," panggilku pelan, tapi tetap membuat keduanya menoleh ke arahku.
"Silva, sudah pulang?" tanya priaku itu penuh senyuman.
"Iya, Yah," sahutku seraya berjalan mendekat.
"Perkenalkan, Pak, ini putri sulung saya. Sil, ini Pak Bima yang mau bantu usaha kita," ucap Ayah sumringah.
Aku menatap pria berkemeja biru itu penuh selidik, tapi bukannya tersinggung, ia malah tertawa seolah aku adalah makhluk yang amat lucu.
"Kenapa Bapak mau membantu kami? Siapa Bapak? Dan bagaimana bisa anda tahu tentang usaha kami?" tanyaku bertubi-tubi.
"Silva," tegur Ayah pelan sambil menarik tangan kiriku.
"Kita harus tahu alasan jelasnya, Yah, jaman sekarang banyak sekali penipuan atas nama investasi," ucapku blak-blakan.
Ayah menghela napas panjang. "Pak Bima sudah menjelaskannya pada Ayah, dia tahu dari temannya yang sering memesan barang pada kita, lalu dia tertarik untuk membantu karena merasa puas dengan hasil barang yang kita buat. Lagipula, beliau mengajukan surat perjanjian yang jelas dan terperinci, Nak," jelas Ayah panjang lebar.
"Mana suratnya? Silva mau lihat," pintaku tak puas.
Pak Bima menyerahkan map yang sedari tadi dipegang olehnya.
Kubaca dengan teliti isi dari surat perjanjian tersebut, di sana tertulis bahwa perusahaan Pak Bima siap memberi dana sebesar lima ratus juta untuk dikelola dengan sistem bagi hasil di kemudian hari.
Sungguh hal yang tidak masuk akal bagiku, jika hidup bisa semudah ini, aku yakin tak akan ada orang yang hidup melarat di dunia ini. Tapi aku juga tak bisa menuduh sembarangan karena surat perjanjian ini benar-benar terperinci dan tak ada satu poin pun yangmerugika kami.
Aku menutup map itu dan menyerahkannya kepada ayah. Mataku meneliti ke segala arah di mana banyak kayu-kayu yang menghitam akibat terbakar minggu lalu. Entahlah, aku sebenarnya masih merasa janggal dengan kejadian itu. Tapi tak ada bukti yang menunjukkan bahwa kebakaran itu dilakukan dengan sengaja, bahkan polisi sudah menyatakan bahwa itu terjadi karena korsleting arus pendek.
