Pustaka
Bahasa Indonesia

BENIH DARI CEO

50.0K · Tamat
Ayu Wandira
34
Bab
519
View
9.0
Rating

Ringkasan

Synopsis Masa lalu yang kelam, kondisi dalam keadaan hamil di luar nikah membuat Sophia memilih meninggalkan Jakarta, pelabuhan terakhirnya adalah Belanda. Ia hanya ingin hidup sendiri dan ketenangan sampai HPL tiba. Hingga pada akhirnya Sophia memulai hidup yang baru di Belanda. Kesialan datang ketika ia tiba di Amsterdam diawali saat tidur dengan seorang pria bernama Malvyn Milan. Lalu Leon Sebastian mantannya kembali datang memilih membatalkan pernikahannya seminggu sebelum digelar. Kepergiannya ke Belanda bukan membuat hidupnya tenang, justru menjadi runyam. Kenyamanan yang ia pikirkan sirna. Satu-persatu orang masalah muncul. Sophia juga harus berhadapan langsung dengan calon istri Leon. Sementara Leon meminta dirinya untuk kembali kepadanya atas anak yang telah dikandungnya. Sedangkan Malvyn pria sinting itu mengejar-ngejarnya tidak pernah lelah. “Kamu lihat pintu itu, pintu itu selalu terbuka buat kamu. Pintu apapun itu selama ada aku di dalamnya kamu bebas untuk masuk.” “Ingat, saya tetap bersama kamu, sampai anak itu dilahirkan.” Leon.

RomansaMetropolitanBillionaireDokterLove after MarriageCinta Pada Pandangan PertamaPernikahanKeluarga

BAB 1

HAPPY READING

***

Ini sore pertama di tiga belas derajat celcius bulan November di Amsterdam. Sophia menatap lurus ke depan, ia melangkah menuju Screaming Beans, coffe shop yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Dia masuk ke dalam café. Ia mengobservasi ruangan, interiornya gelap karena full terbuat dari kayu, namun membuat ruangannya menambah kesan elegant. Café nya memang terbilang simple, ia melihat ke arah table yang sudah terisi oleh tamu.

Café di rekomendasikan oleh Mila sahabatnya, karena sangat terkenal dengan kopinya yang berkualitas. Saat ini ia butuh secangkir espreso hangat untuk membuat pikirannya rileks. Rubi melangkah menuju kasir, memesan espreso, ia juga memesan red velvet cake yang berada di estalase kaca.

Beberapa menit menunggu setelah pembayaran, Sophia membawa tray itu ke table di dekat jendela. Ia hanya ingin menikmati secangkir kopi dan cake, sambil menikmati kota Amsterdam. Sophia menatap bangunan-bangunan tua di balik jendela kaca. Katanya bangunan tua itu sudah berumur lebih dari 300 tahun yang lalu. Ia akui kalau rumah-rumah di Amsterdam sangat sempit, dengan alasan untuk menghemat pajak. Apapun sejarahnya tentang kota ini, ia tetap menyukai Amsterdam lebih dari apapun.

Sophia menyesap kopinya secara perlahan, rasanya sangat nikmat bisa menikmati hidup seperti ini. Memang benar kata orang kalau kafein ini mampu meningkatkan dopamine di otak. Sophia menyantap cake ke dalam mulutnya, rasanya manis dan lembut.

Pandangan Sophia ke depan, ia memandang pria asing menatapnya dari kejauhan. Pria itu tersenyum kepadanya. Sophia tidak tahu apakah ia harus membalas senyuman itu atau tidak, ia memperhatikan struktur wajah pria itu. Dia memiliki rahang yang tegas, rambut yang tersisir rapi dan alis yang tebal. Tidak hanya itu dia memiliki postur tubuh yang tinggi. Mengingatkannya pada Leon mantan kekasihnya. Entah kenapa, ia membalas senyuman pria itu dari kejauhan.

Jantung Sophia berdegup kencang, pria itu malah berdiri lalu membawa tray melangkah mendekatinya. Kini pria itu berada di hadapannya. Sophia dapat mencium aroma parfum classic tobacco brand Tom Ford, persis yang dipakai oleh Leon mantan kekasihnya. Lagi-lagi tentang Leon, yang sulit ia lupakan, mungkin karena kebawaan janin yang ada di dalam perutnya. Pria itu memiliki kesan modern dan penuh percaya diri.

“Hai,” sapanya.

Sophia gugup, ia menyelipkan rambutnya ke telinga, “Hai,” sapa Sophia.

“Boleh saya duduk di sini?”

Sophia mengangguk, “Iya, silahkan,” ucap Sophia.

Sophia mengobservasi pria itu, dia mengenakan turtle neck berwarna navy dengan brand Raph Lauren karena terlihat jelas logo ikonis kuda kecil di bagian dadanya, dan celana berwarna putih dengan gesper coklat tua. Dia terlihat seperti model Ralph Lauren, busananya terlihat hangat dan elegan. Lagi-lagi ia teringat Leon, pria itu mirip mantan kekasihnya, dengan cara berbusanapun seleranya sama seperti Leon.

“Terima kasih.”

Sophia mendengar aksen America pada kalimat yang diucapkannya. Sophia memilih meraih cangkir di hadapannya, dan ia menyesapnya secara perlahan. Pria itu mengulurkan tangan kepadanya,

“Saya Malvyn Milan.”

Sophia membalas jabatan tangan itu, “Saya Sophia,” Sophia merasakan pria itu mengenggam tangannya.

“Senang berkenalan dengan anda,” ucap Malvyn.

“Sama-sama.”

Sophia melepaskan tangannya, ia kembali meraih cangkir itu dan menyesapnya secara perlahan.

Malvyn memperhatikan Sophia, wanita itu mengenakan blazer berwarna beige rambutnya panjanng bergelombang, duduk sendiri ditemani secangkir kopi. Ah ya, dia sangat cantik, matanya bening dan bulu matanya lentik. Alisnya terukir sempurna dan hidungnya mancung kecil, semua orang tau kalau dia sangaat cantik. Sangat disayangkan kalau dia hanya duduk sendiri tanpa ditemani oleh siapapun.

“Apa kamu dari Asia?” Tanya Malvin sambil memperhatikan jemari wanita itu, di jemarinya tidak mengenakan cincin apapun, ia yakin kalau dia bukanlah wanita yang belum menikah. Kalau menikah sekalipun, ia tidak masalah bisa dijadikan teman atau sahabat. Wajahnya seperti wajah wanita Asia pada umumnya.

“Iya, saya dari Asia.”

“Negara mana?” Tanya Malvyn lagi penasaran.

“Indonesia,” gumam Sophia.

Malvyn tersenyum, jantungnya bersorak-sorak gembira mendengar kata Indonesia dari bibir wanita itu.

“Saya juga dari Indonesia,” ucap Malvyn tenang.

Alis Sophia terangkat, “Really?”

Malvyn mengangguk ia tersenyum penuh arti, “Iya, benar. Tepatnya dari Jakarta.”

“Saya juga dari Jakarta.

“Wow, sebuah kebetulan ya,” Malvyn tertawa.

“Saya pikir kamu dari Filipina tadi,” ucap Malvyn berbicara bahasa Indonesia.

“Dari mana kamu bisa menanggap saya orang Filipina.”

Malvyn menarik napas, dan ia lalu tersenyum, “Mungkin karena saya memiliki pengalaman berbisnis dengan orang Filipina, karena kecantikan mereka salah satunya. Dan kamu salah satunya.”

“Jadi kamu mengkatagorikan kalau saya cantik?” Sophia tertawa.

“Tentu saja. Apa kamu tidak pernah berpikir kalau kamu itu sangat cantik.”

Sophia tersenyum, “Terima kasih sudah mengatakan saya cantik, namun yang lebih cantik dari saya itu banyak.”

Malvyn memperhatikan Sophia, giginya terlihat sangat rapi dan bersih, ia yakin wanita itu memperhatikan segala aspek kebersihan dan kecantikan diri.

“Kamu tinggal di sini?” Tanya Malvyn penasaran.

“Hemmm, bisa dikatakan baru pindah ke Amsterdam.”

“Di sini ngapain? Kerja?”

“Iya, cari pengalaman. Kebetulan sahabat saya memiliki klinik hewan, jadi saya memutuskan kerja dengannya.”

Alis Malvyn terangkat, “Kamu dokter hewan?”

“Iya, kamu benar. Saya dokter hewan.”

“Wow, saya tidak menyangka kalau kamu seorang dokter. Rasanya tidak sia-sia saya datang ke Screaming Beans berkenalan dengan kamu.”

“Kalau kamu bagaimana?” Sophia balik bertanya.

“Saya sebenarnya dari California. Ke Belanda hanya liburan saja.”

Sophia akhirnya paham kenapa aksen Malvin itu American, karena dia berasal dari California, “Di California tinggal sendiri?”

“Iya, ada beberapa bisnis di sana.”

“Pasti sudah jadi warna Negara saya,” tebak Sophia.

Malvyn tertawa, “Saya punya dua kewarganegaraan. Saya kebetulan lahir di Amerika memudahkan saya mendapatkan residence di sana dan warga Negara sana. Dan sayapun warga Negara Indonesia.”

“Kamu pernah ke Jakarta?”

“Kebetulan saya baru pulang ke Jakarta, menghadiri pernikahan saudara saya. Lalu saya memutuskan untuk ke Belanda, membunuh waktu saya.”

“Sendiri?”

“Iya, sendiri seperti kamu.”

Sophia menarik napas beberapa detik, ia mengalihkan pandangan ke samping, ia menatap orang-orang yang berlalu lalang. Ia menyesap kopinya kembali, sementara Malvyn memperhatikan Sophia.

“Kamu sudah ke mana saja di Amsterdam?” Tanya Malvyn.

“Saya belum ke mana-mana, baru nyobain cone fries di dekat sini.”

“Saya kebetulan dari Jakarta. Kakak ipar saya membawakan saya rendang, tidak banyak hanya sedikit, dan ada oleh-oleh dari Jakarta. Apa kamu mau?”

“Bukannya nggak boleh ya bawa rendang,” Tanya Sophia.

Malvyn tersenyum, “Boleh, tapi dengan aturan yang berlaku, dengan wadah tertutup rapat tidak menimbulkan bau seperti tertutup kaleng.”

“Kemarin saya sempat mau bawa, saya kembali berpikir dan mengurungkan niat saya untuk membawanya.”

“Kamu mau rendang?” Tanya Malvyn.

“Tentu saja.”

Malvyn melirik jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 17.20 menit, “Hotel saya tidak jauh dari sini, ambil rendangnya, terus kamu bawa pulang.”

“Kamu nginap di hotel mana?” Tanya Sophia penasaran.

“Conservatorium,” ucap Malvyn.

Sophia mengigit bibir bawah, ia tahu betul kalau Conservatorium merupakan salah satu hotel bintang lima yang ada di Amsterdam, dan salah satu hotel terbaik di Negara ini. Harga permalamnya terbilang fantastis. Ia tidak bisa membayangkan berapa banyak uang yang dikeluarkan oleh Malvyn untuk menginap di sana, apalagi dalam jangka waktu yang lama. Ia yakin kalau Malvyn bukanlah pria sembarangan, cara berpakaian, dan berbicara.

Sophia mengalihkan pandangannya ke arah jam tangan yang dikenakan Malvyn, jam tangan itu dengan merek Jeager Lecoultre, salah satu merek jam tangan yang dijadikan koleksi para pria kaya raya, jam tangan itu simple dan elegan dengan tali kulit berkualitas.

“Enggak apa-apa kan kamu ke hotel saya?” Tanya Malvyn memastikan lagi.

“Ah, tidak apa-apa,” ucap Sophia, ia menyesap kopinya secara perlahan.

Sophia menarik napas, harusnya ia aware pada dirinya sendiri, dengan tidak untuk bersama orang asing. Apalagi masuk ke dalam kamar hotel, namun ia kembali lagi menatap Malvyn, pria itu dengan tenang menyesap kopinya.

“Kalau sore-sore gini enak ya lihat pemandangan kota.”

“Iya, saya juga suka.”

“Sudah sering ke Amsterdam ya?” Tanya Malvyn.

“Sudah beberapa kali, tapi nggak sering. Kamu pasti sering ke sini ya.”

“Kalau kangen aja, nggak sering juga, sama seperti kamu.”

***