Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Galih baru saja melepaskan kemeja kerjanya, meletakkannya di keranjang baju kotor ketika panggilan telepon masuk ke ponselnya.

Nama Mama dengan emotikon hati tertampil di layar. Galih tersenyum sebelum memulai obrolan via telepon itu dengan sang mama.

“Ya, Bu?” katanya mengawali percakapan itu.

“Ibu punya kabar gembira buat kamu!” suara mamanya terdengar bahagia.

“Ada apa memangnya, Bu? Aku baru pulang dari kantor,” katanya.

“Kamu tahu Elda anaknya tante Ranti yang kuliah di Oxford itu? Dia udah selesai kuliah dan balik ke Indo!” mamanya terdengar bersemangat.

Galih bisa menebak jalan pikiran mamanya. Sudah kali ke sekian mamanya melakukan hal itu. Mamanya sangat senang membawanya pada teman-teman di lingkaran sosialnya untuk dikenalkan dengan anak gadis mereka.

“Ibu mau ngenalin aku sama anaknya tante Ranti? Bukannya mama bilang tante Ranti manipulatif dan suka playing victim ya?”

“Aduh … Ibu yakin dia nggak akan nurunin sifat itu. Soalnya ayahnya orang baik-baik,” sanggah sang mama.

Galih mendesah. “Ya udah, jadi, kapan aku harus ketemu Elda anaknya tante Ranti itu?”

“Gimana kalau besok malam? Di Cafe Djo. Kalian ngobrol santai aja. Kalau udah cocok baru ketemu sama keluarga besarnya,” kata mamanya.

“Oke, Bu. Ibu bisa kirim kontaknya ke aku. Nanti aku hubungi dia. Ya, ya, boleh sekalian fotonya juga supaya aku nggak salah orang,” kata Galih.

Sambungan telepon terputus. Ketukan di pintu membuat Galih harus kembali menahan tubuhnya yang lelah. Dia mengayun langkah gontai untuk membuka pintu. Wajah tampan anak lelakinya menyambut pandangannya.

“Pa. Boleh aku masuk? Aku mau ngobrol,” katanya.

“Okay. Tapi, Papa perlu mandi dulu. Papa capek banget hari ini. Boleh?”

Jason menganggukkan kepalanya. Dia duduk di kursi empuk depan meja komputer papanya. Galih meraih handuk miliknya dan menghilang di balik pintu kamar mandi.

Di bawah guyuran air hangat yang membuat nyaman otot-otot tegang di seluruh tubuhnya, Galih kembali teringat dengan wajah tutor matematika Jason itu. Dari penolakan gadis itu, dia tak mengerti jika semua pesona yang ada pada dirinya bisa membuat perempuan tak nyaman bahkan menjauh. Dia bahkan tak terlihat seperti laki-laki di depan gadis itu.

Usai membersihkan diri dan mengganti bajunya dengan kaus tanpa kerah dengan celana spandeks sepanjang lututnya, Galih duduk di sisi tempat tidur. Menunggu cerita Jason.

“Oke, Boy. Ada cerita apa hari ini?” tanyanya.

“Pa, aku mau nanya. Tapi, janji ya, Papa nggak akan marah?”

Galih mengernyit, tetapi kemudian mengangguk. “Apa? Apa yang perlu Papa jelasin?”

“Pa … apa bener, kalau pegangan tangan sama perempuan itu bisa buat perempuan hamil?”

Galih terbelalak. Dia mengorek telinganya dengan kelingking, memastikan jika pendengarannya tak bermasalah.

“Papa nggak salah denger, kok. Aku tanya, apa bener, kalau pegangan tangan sama perempuan itu bisa bikin mereka hamil?”

Bukannya menjawab, Galih justru balik bertanya pada anak lelakinya itu. “Kamu denger dari mana, Boy? Siapa yang ngasih tau itu sama kamu? Om Evan, ya?”

Jason menggeleng. “Aku denger dari cewek di kelas sebelah. Dia nyuruh aku jauh-jauh dari dia. Galak banget lagi!”

Galih tertawa tetapi menyadari raut wajah anak lelakinya cemberut, dia menghentikan tawanya. “Itu nggak bener, Boy. Dengar, ya. Perempuan itu nggak akan hamil hanya karena pegangan tangan sama kamu, atau mandi di kolam renang yang sama dengan kamu. Semua itu nggak bener. Tapi … ada tapinya, ya. Kamu nggak boleh pegang tangan perempuan sembarangan kalau belum dewasa dan belum siap menikah.”

“Jadi kalau udah dewasa dan udah siap menikah boleh ya, Pa?”

Galih mengangguk pelan meski ragu. Dia khawatir tak bisa memberikan pemahaman pada Jason.

“Aku ngerti sekarang, Pa. Terus Pa, kalau mantap-mantap itu apa, Pa?”

Pertanyaan Jason membuat Galih menutup wajahnya. Jason yang sempat kebingungan dengan ayahnya itu bertanya apakah Galih baik-baik saja.

“Papa cuma kaget sama pertanyaan kamu. Menurutmu, mantap-mantap itu apa, Boy?”

“Ya … sesuatu yang menyenangkan. Kayak main game, pergi jalan-jalan sama Papa atau temen-temen, belajar sama Miss Dea juga.”

Wajah dan telinga Galih memerah ketika Jason menyebut nama Dea. Otak lelakinya lantas membayangkan wajah gadis itu dalam dekapannya.

“Oke. Kayaknya cukup. Kamu bener. Sekarang kamu udah ngerti, Boy. Ingat, kalau kamu suka sama cewek, bilang. Bukan malah mengganggunya atau bahkan ngajakin pacaran. Kamu belum dewasa. Ada masanya untuk ngajak cewek pacaran sampai menikah. Oke?”

Jason mengangguk-angguk. “Thanks ya, Pa! Aku balik ke kamar kalau gitu. Semoga Papa bisa cepet dapet pacar dan menikah,” katanya sebelum berlalu.

Galih terkekeh-kekeh mendengar kalimat Jason. Dia ingin menikah, tetapi tidak siap dengan proses panjang sebelum pernikahan.

“Apa takdirku nggak bisa nemuin seseorang yang akan jadi pengganti Amel lagi?” Dia bertanya pada takdirnya sendiri.

***

Usai pamit pada Jason, Galih melajukan mobilnya menuju Cafe Djo, tempat yang disepakati oleh mamanya dengan tante Ranti untuk bertemu dengan anak gadisnya. Galih memarkir mobil miliknya di luar area parkir Cafe, lalu berjalan menuju Cafe yang ramai dipenuhi pengunjung berusia dewasa muda itu.

Galih menghubungi nomor kontak yang diberikan mamanya. Seorang gadis dengan kaus crop top lengan panjang dipadu celana jeans highwaist itu melambaikan tangan ke arahnya sambil mendekatkan ponsel ke telinganya. Galih balas melambai, lalu memutuskan sambungan telepon ke nomor gadis itu.

Secangkir frappuccino dengan roti panggang dioles selai kacang di atasnya sudah tersedia di meja. Galih mengulurkan tangannya ke arah perempuan itu.

“Galih,” katanya sebelum menarik kursi untuknya sendiri.

Perempuan itu menjabat tangannya, “Elda. Kak Galih pasti sudah tau kalau aku anak tante Ranti, ‘kan?” kata perempuan itu, tanpa basa-basi.

Galih melepaskan topi baseball miliknya di meja. “Ya, aku tahu. Itu alasan aku setuju ketemu di sini,” katanya.

“Tapi maaf, Kak Galih. Jujur aja, ya. Aku kurang suka dengan cara berpakaian Kak Galih. Kaus oblong sama topi itu bukan tipe ideal aku banget untuk jadi suami. Ya meskipun Kak Galih ganteng dan tinggi kayak temen-temen bule aku, tapi kayaknya kita nggak usah lanjutin pertemuan ini, ya? Aku bakalan bilang sama mamaku. Jadi, Kak Galih nggak usah repot-repot lagi dateng ke rumah aku nanti.”

Galih hanya mengulas senyum. “Kebetulan kalau gitu. Aku juga sama sekali nggak ada niat untuk melanjutkan perkenalan ini lebih jauh. Kalau begitu, silakan nikmati malammu. Aku permisi.”

Galih berlalu dari meja cafe Djo tanpa memesan menu apapun selain kekesalan luar biasa. Dia sudah merendahkan diri dengan datang menemui gadis itu.

“Emang bener, ya. Buah jauh nggak jauh dari pohonnya. Nggak anak, nggak ibunya. Sama-sama bikin kesal!”

Galih mengarahkan tinjunya ke setir mobil. Di tengah emosinya yang tidak stabil, bukannya berbalik menuju rumah, Galih justru memutuskan untuk melajukan mobilnya ke sebuah pusat perbelanjaan.

Galih turun dengan tergesa-gesa hingga tak sengaja menabrak kantong belanja seorang perempuan. Kantung berisi kebutuhan rumah tangga itu berserak di lantai.

Galih buru-buru berjongkok untuk membantu perempuan itu. “Maaf, maaf. Saya nggak sengaja.”

“Nggak ‘pa-pa kok, Mas. Saya yang nggak ngeliat tadi. Nggak ‘pa-pa.” Dari suara perempuan itu, Galih menduga jika dia berusia lebih muda darinya.

“Sekali lagi maafin saya,” kata Galih lalu mengulurkan tangannya.

Perempuan itu menyambut uluran tangannya lalu berlalu. Galih menatap punggung perempuan itu sesaat sebelum meneruskan langkahnya menuju salah satu toko yang menjual pakaian pria.

Dia memang sengaja memakai pakaian yang nyaman untuk bertemu dengan Elda. Namun, melihat reaksi Elda yang langsung menolaknya, membuat Galih tak ingin lagi mencoba dekat dengan perempuan manapun yang direkomendasikan oleh ibunya. Tak peduli lulusan universitas luar negeri sekalipun.

“Emang udah bener aku ngejar Miss Dea, bukan malah nerima tawaran ibu untuk kenalan sama cewek-cewek yang cuma bisa ngandelin nama orang tuanya!” tangan Galih mengepal. Dia kesal ketika teringat kejadian tempo hari di rumahnya, ketika Evan dengan terang-terangan mengaku jika dia ada hubungan istimewa dengan Dea. Ditambah lagi, fakta jika dia adik laki-lakinya yang sangat menyebalkan dan haus perhatian!

“Cih! Bisa apa sih Evan? Menang muda doang!” Tak ingin menarik perhatian orang sekitar, Galih akhirnya memilih untuk menelan emosinya sendiri.

Selesai membayar belanjaan di kasir, dia kembali menuju mobil. Bukannya memutar arah menuju rumah, Galih justru melajukan mobilnya menuju Hotel Bulan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel