Bab 3 : Deklarasi Palsu
Pagi harinya, Kota Jakarta terasa seperti parodi yang dikelilingi macet, panas, dan penuh kebisingan.
Namun, bagi Yena, kekacauan di luar lebih tenang daripada kegaduhan di dalam kepalanya.
Dia sudah menunggu Hao di sebuah kedai kopi kecil dekat kampus, jauh dari keramaian. Yena duduk gelisah, mengaduk es kopi susu yang sudah jadi air, sementara Hao, dengan rambutnya yang agak gondrong dikuncir asal, duduk di seberangnya, tenang membaca buku setebal batu.
"Buku ekonomi lagi?" Yena mendengus.
Hao, tanpa mengalihkan pandangan dari baris kalimat tentang defisit fiskal, menjawab pelan, "Mencoba memahami kenapa hidup harus sesulit ini. Mungkin ada rumusnya."
"Rumus? Rumus hidup cuma satu, Hao: Don’t date Scott." Yena menarik napas kasar. "Oke. Rencana. Kamu yakin ini ide yang bagus? Kamu tahu aku nggak bisa akting, kan? Aku takutnya malah aku tinju mukanya Scott."
Hao menutup bukunya. Matanya yang dingin dan gelap menatap Yena. "Kamu nggak perlu akting. Cukup jadi dirimu yang liar dan berisik, lalu kaitkan itu dengan aku yang pendiam. Kontras itu yang akan membuat mereka percaya."
"Kontras sih kontras. Tapi kita kan nggak cocok sama sekali." Yena menyandarkan punggungnya di kursi. "Aku suka balap, kamu suka melukis. Aku suka berantem, kamu suka berdamai. Aku nongkrong di bengkel, kamu di perpustakaan. Ini gila."
"Tujuan kita bukan kecocokan, Yena. Tujuan kita adalah balas dendam. Untuk menghancurkan ego Scott dan membuat Luna gentar. Ingat, Yena. Mereka nggak cuma mengkhianati kita, mereka merusak lingkar pertemanan empat orang yang sudah kita jaga."
Hao mengambil jeda, suaranya mengandung nada kekecewaan yang dalam. "Kemarin malam, setelah Scott mengumumkan itu, aku hanya menaruh kalung Luna. Aku nggak bicara. Aku nggak teriak. Aku cuma pergi. Sampai sekarang, Luna belum menghubungiku. Itu artinya mereka merasa di atas angin."
"Dan kita akan menarik mereka turun," potong Yena, tatapannya menyala. Dia mengambil ponselnya, membuka chat Scott, dan mengetik dengan cepat.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Hao.
"Mengakhiri dengan cara yang benar, sebelum kita memulai drama kita. Aku nggak mau Scott berpikir aku masih pacarnya pas aku pegangan tangan sama kamu," jelas Yena.
Yena: Scott, ini Yena. Kita selesai. Beneran selesai. Jangan hubungi aku lagi. Aku doakan kau bahagia dengan Luna, dan semoga kali ini kau nggak perlu cari 'mainan' baru di belakang Luna.
Yena menekan kirim, lalu melempar ponselnya ke meja seolah itu adalah bom. "Done. Tiga tahun. Berakhir dengan pesan singkat."
Hao tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya. "Selamat datang di dunia yang sudah rusak, Yena."
Mereka tahu di mana harus menemukan Scott dan Luna: rooftop kampus. Itu adalah tempat Scott selalu mengklaim sebagai 'istana' pribadinya, tempat dia dan Luna mungkin sedang merayakan kebebasan perselingkuhan mereka.
Yena dan Hao tiba di sana. Matahari bersinar terik, tetapi Yena mengenakan jaket kulitnya, sementara Hao tetap dengan hoodie hitamnya.
Dari kejauhan, Scott terlihat sedang merangkul Luna, menunjukkan sesuatu di layar ponselnya. Luna, si malaikat yang kini menjadi ratu drama, tertawa kecil, bersandar manja di dada Scott. Pemandangan itu menjijikkan.
"Oke, Hao, siap?" Yena berbisik, tetapi tidak menunggu jawaban. "Kita lakukan seperti yang kita rencanakan. Aku harus mengacaukan scene ini."
Yena berjalan lebih dulu, langkahnya cepat dan agresif. Tumit sepatu botnya berdentum keras, seperti drum yang menyerukan perang.
"WAAAAH! Lihat deh siapa yang lagi mesra-mesraan!" teriak Yena, suaranya melengking. "Nggak tahu malu, ya? Padahal baru kemarin pestanya kacau balau!"
Scott dan Luna menoleh kaget. Ekspresi Scott yang santai langsung berubah menjadi kesal.
"Yena, kamu lagi?" Scott mendengus, memutar matanya. "Ngapain lagi sih? Udah dibilang, kita udah selesai. Stop drama."
Luna hanya diam, menyusut sedikit di pelukan Scott, matanya yang besar memancarkan rasa bersalah saat melihat Hao.
Hao berjalan lebih pelan, membiarkan Yena menyerap semua perhatian. Dia berdiri di samping Yena, tidak terlalu dekat, tetapi posisinya cukup untuk menunjukkan aliansi.
"Aku nggak drama, Scott," kata Yena, tangannya terlipat di depan dada. Rambut pendeknya yang berantakan membuatnya terlihat semakin marah. "Aku cuma datang mau ngucapin selamat. Selamat ya, Scott, Luna. Kalian ternyata hebat banget ngurus hubungan rahasia di belakang kami."
Scott tertawa keras, tawa arogansi khasnya. "Oh, jadi kalian berdua datang mau nangis-nangis bareng? Mau bilang kita jahat? Come on, Yena. Kita udah dewasa. Cinta itu datang dan pergi."
"Cinta datang dan pergi, tapi persahabatan itu suci, Scott. Dan kamu buang itu semua demi cewek yang udah aku anggap adik sendiri," Yena mencibir. "Tapi tenang, Scott. Nggak perlu merasa hebat-hebat amat."
Yena lalu melakukan hal yang sama sekali tidak disangka Scott. Dia melangkah mundur, meraih tangan Hao.
Dingin. Tangan Hao terasa dingin, tetapi cengkeramannya kokoh. Kontak fisik itu mengirimkan kejutan listrik dingin ke lengan Yena, mengingatkannya bahwa ini adalah pertunjukan.
Yena menyeringai puas, melihat kerutan di dahi Scott.
"Tadi kamu bilang kita nangis-nangis? Nggak usah khawatir," kata Yena, nada suaranya berubah menjadi lebih tenang, lebih percaya diri.
Hao, yang sedari tadi diam, tiba-tiba memecah keheningan. Matanya yang dingin menatap Luna.
"Kita di sini bukan untuk nangis, Luna," kata Hao, suaranya tenang dan mantap, menusuk langsung ke Luna. "Kita di sini untuk bilang: kalian nggak spesial."
Scott tertawa, sedikit tegang. "Nggak spesial gimana maksudnya?"
Yena melangkah maju lagi, menyeret Hao sedikit agar dia ikut bergerak. Yena mengangkat tangan mereka yang saling bergandengan.
"Kamu bangga banget ngumumin perselingkuhan satu tahunmu kan, Scott?" Yena mengangkat dagunya, tatapannya menantang. "Seolah kamupahlawan yang berhasil menaklukkan dua cewek sekaligus?"
Yena melihat wajah Scott mulai memerah. Egonya mulai tergores.
"Kami juga selingkuh, Scott," lanjut Yena, dengan suara yang lantang dan jelas.
Hao melanjutkan kalimat dengan tenang,"Kami juga sudah setahun. Tepat di bawah hidung kalian berdua."
Jlebb.
Scott membeku.
Ekspresi arogan nya luntur seketika, digantikan oleh rasa terkejut murni dan penghinaan yang menyakitkan. Dia menatap tangan Yena dan Hao, lalu ke mata Hao. Hao hanya membalas tatapannya dengan dingin, tanpa penyesalan.
"S-setahun?" Scott tergagap, suaranya tidak lagi seksi, tetapi serak karena kemarahan. "Kalian…Kamu sama Hao?"
"Tentu," potong Yena cepat. Dia memutar tangannya agar Hao lebih menggenggamnya. "Kenapa, Scott? Kaget? Kamu pikir cuma kamu yang bisa main dua kaki? Selama kamu sibuk one-night stand sana-sini dan akhirnya nyangkut sama pacar orang, aku juga sibuk nyari kenyamanan."
Yena tahu dia berbohong tentang mencari kenyamanan. Dia hanya mencari balas dendam. Tapi kebohongan ini terasa begitu benar.
Scott menoleh ke Hao, marah, tidak percaya, terluka. "Hao! Kamu sahabat aku! Kamu suka Yena? Sejak kapan? Dasar gila!"
"Sejak lama, Scott," jawab Hao, akhirnya membuka suara, suaranya rendah dan jujur. "Sejak aku tahu kamu cuma mau Yena jadi istri masa depan, tapi kamu malah noda-nodain orang lain. Kamu terlalu sibuk menjaga Yena tetap 'suci' sampai kamu lupa dia juga butuh perhatian. Dan Luna..." Hao menatap Luna.
Luna gemetar. Matanya yang besar kini penuh ketakutan. Dia tidak berani membalas tatapan Hao, mantan pacarnya yang kini berdiri di samping rivalnya.
"Luna terlalu sibuk jadi malaikat di depan kamu dan jadi iblis di belakang aku," lanjut Hao. "Kalian berdua terlalu sibuk dengan permainan angel dan playboy kalian, sampai lupa ada kami yang asli. Dan kami? Kami menemukan cara yang lebih baik."
Scott tersentak, tatapannya menyala karena ego yang terluka parah. Bagi Scott, perselingkuhan adalah hak istimewanya. Dibayar dengan mata uang yang sama oleh sahabat karib dan mantan pacar utamanya? Itu adalah penghinaan publik.
"Kalian pikir aku percaya?" tantang Scott. "Kalian berdua? Kamu itu si kutu buku yang kaku, Hao! Dan kamu Yena, bad girl yang terlalu berisik buat dia! Kalian berdua nggak mungkin klop!"
Yena menyeringai, itu bukan senyum bahagia, melainkan senyum puas. Scott sedang mencoba mendapatkan kembali kendali, tetapi Yena dan Hao sudah merobeknya.
"Nggak klop?" Yena menarik tangan Hao, mendekat, dan berbisik ke telinga Hao, cukup keras agar Scott bisa mendengar. "Coba kasih dia bukti, Sayangku."
Hao, untuk sesaat, terlihat panik. Dia bukan Scott. Dia benci pertunjukan. Tetapi dia melihat api di mata Yena, dan dia tahu, jika dia mundur, rencana mereka akan gagal.
Hao melihat sekeliling, lalu memutuskan untuk mengambil langkah berani. Dia melepaskan tangan Yena, dan alih-alih menciumnya seperti yang mungkin Scott harapkan, Hao justru menyentuh rambut Yena yang pendek.
Scott dan Luna tersentak. Itu adalah gestur yang sangat intim.
Hao menoleh ke Scott dan Luna. "Yena, dia punya cara pandang yang keras, tapi dia nggak pernah se-flamboyan kamu, Scott. Dia nggak main hati orang. Dia cuma butuh perlindungan, yang sayangnya, kamu nggak pernah kasih karena terlalu sibuk sama urusan cewe kamu yang lain."
Luna, yang sedari tadi diam, akhirnya membuka suara. Suaranya kecil, gemetar. "Kalian... setahun?"
Scott memotong Luna. "Nggak mungkin! Kalian bohong! Ini cuma akal-akalan buat bikin kita cemburu, kan?"
"Terserah mau percaya atau nggak," kata Yena, mendengus. "Intinya, Scott, kamu itu nggak lagi spesial. Luna, kamu nggak lagi jadi angel face yang polos. Kami juga sudah muak. Sekarang, ini official. Kami sudah selesai sama kalian. Dan kami mulai sama-sama."
Yena dan Hao bertukar pandangan, tatapan itu bukan tentang cinta, tetapi tentang pemahaman yang menyakitkan: mereka adalah dua korban yang kini menjadi kolaborator.
Scott terlihat seperti dihantam truk. Egonya berdarah-darah. Luna, di sisi lain, mulai memandang Yena dan Hao dengan campuran rasa bersalah, penasaran, dan gentar. Luna tahu Hao tidak akan pernah bohong sebesar ini, kecuali dia benar-benar terluka. Dan Luna mulai bertanya-tanya, apakah selama ini dia meremehkan apa yang hilang dari Hao—sehingga Hao berani mencari pelarian pada wanita yang sangat tidak cocok dengannya, seperti Yena.
"Ayo, Hao," kata Yena. Dia tidak lagi menggandeng tangan Hao, tetapi menyenggol bahu Hao, gestur persahabatan baru. "Kita nggak perlu berlama-lama sama orang-orang yang buang waktu kita."
Mereka berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Scott dan Luna yang kini terdiam kaku. Scott masih mencoba memproses bagaimana perselingkuhannya bisa diimbangi dengan pengkhianatan yang lebih menyakitkan dari orang terdekatnya.
Luna menatap punggung Hao yang menjauh. Di matanya, Hao yang pendiam dan Yena yang liar kini terlihat seperti pasangan yang jauh lebih solid, terikat oleh rasa sakit yang sama, daripada dirinya dan Scott, yang hanya terikat oleh nafsu.
