Bab 2 Ilusi Panas
*****
(Selasa sore; beberapa jam setelah digelarnya rapat pemegang saham)
Daphne menggeliat merasakan sapuan lidah Beau di bawah sana, ia menggigit telapak tangannya. Satu tangan terulur meremas rambut pirang sang mantan, menuntunnya untuk berbuat lebih.
"Oh Beau!"
Beau menuruti kode dari Daphne. Permainan mulutnya kian berani hingga membuat Daphne menjerit pasrah. Ia terpejam dengan kepala bersandar pada sofa. Rasanya benar-benar luar biasa! Daphne jadi teringat akan pertemuan awal mereka. Satu pertemuan yang menuntunnya ke dalam sebuah petualangan cinta nan membara.
-----
Daphne Westwood hanyalah seorang mahasiswi biasa di Universitas Cambridge, berbekal beasiswa dan tinggal di asrama. Gelar bergengsi dari pihak ibu tak mampu mengangkat namanya ketika strata status sang ayah dipandang rendah oleh society. Jadi, Daphne hanya mengandalkan otaknya yang cerdas. Kemalangan hidupnya mulai membaik berkat tekad nekatnya menerobos kamar asrama. Di sanalah ia bertemu dengan Beau, yang kelak akan berperan besar dalam perubahan hidup seorang Daphne.
-Pergi! Pulanglah dua jam lagi! Aku sedang bercinta dengan Beau Prince!-
Daphne mengumpat ketika ia mendapati tulisan besar terpampang di depan pintu kamar asrama. Apa-apaan teman satu asramanya itu? Ia telah mengalami hari yang buruk dengan dosen sialan yang membuatnya terjebak dua jam di perpustakaan dan Harper melarangnya masuk? Daphne hanya ingin mandi lalu tidur sejenak sebelum shift kerjanya dimulai.
Masa bodoh! Tanpa berpikir dua kali, gadis berambut keriting itu membuka pintu, menerobos masuk, mengabaikan peringatan yang terpampang. Namun, tubuhnya membeku di ambang pintu. Di sana, di atas ranjang nan sempit, pinggul Beau menghentak cepat tubuh Harper.
Astaga! Mereka benar-benar melakukannya!
Beau dan Harper sempat berhenti, hanya sekian detik, untuk sekedar memandang sengit Daphne lalu kembali melanjutkan permainan. Ini membuat Daphne kikuk, akhirnya Daphne memutuskan keluar dan menunggu mereka selesai di koridor asrama.
Selang satu jam kemudian, Beau Prince keluar. Ia berjalan melewatinya begitu saja tanpa sapaan. Daphne memandang tajam kepergian Beau. Rasanya ia ingin menyumpah-serapahi pria itu, tapi Daphne masih mengingat tentang manner yang keluarganya ajarkan sedari kecil. Hey! Dia keturunan bangsawan Inggris dari pihak ibu, jadi ia harus menjaga sikap.
Mendesah lelah, Daphne akhirnya berjalan gontai memasuki kamar asrama. Harper menyambutnya dengan senyum memuakan. Tubuh telanjangnya masih terbungkus selimut.
"Dia luar biasa, Daphne! Kau harus merasakan his big thing!" Ucap Harper padanya dengan menekankan kata big thing.
Daphne mengacuhkan perkataan Harper, ia lempar barang-barangnya ke ranjang lalu mengambil handuk yang ia hanger di handle almari baju. Guyuran shower akan terasa menyegarkan di hari yang panas ini. Ia melangkah masuk, benar-benar mengabaikan celotehan Harper tentang ukuran thing-nya Beau Prince yang memuaskan.
Langkah Daphne terhenti di wastafel depan. Daphne mendapatkan catatan itu di sana, tepat di atas wastafel. Secarik kertas dengan sebutir permen buah di atasnya.
-Maaf, membuatmu tidak nyaman, Lady Westwood. Saya hanya bisa memberimu permen ini. Mereka bilang, sesuatu yang manis mampu membangkitkan kembali mood anda. Salam hangat dari saya, Beau Prince-
Daphne terkekeh. Pria yang aneh! Ia meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah. Daphne lebih tertarik dengan sebutir permen buah. Ia pun merobek bungkusnya lalu memasukan isinya ke dalam mulut. Sensasi apel manis seketika memenuhi rongga mulut, membuat Daphne mengembangkan senyum. Sungguh ajaib! Mantra Beau Prince telah berhasil mempengaruhi moodnya.
Daphne pun meneruskan langkah memasuki sekat shower sembari mendendangkan lagu legendaris The Beatles berjudul Yesterday. "Aku rasa Beau Prince merupakan keturunan terakhir dari penyihir Inggris!"
-----
"Beau sayang, kita pindah ke kamar yuk!" Daphne mengajak. Memori pertemuan pertama mereka membangkitkan hasrat dalam dirinya.
Beau mendongak. Ia mendapati Daphne yang menatapnya sayu. Kabut gairah menyelimuti binar matanya. Mengingatkannya akan mata cantik Beast yang menatapnya pasrah saat ia bergerak kasar.
"Sial!"
Beau menaikan kembali celana Daphne lalu menyeka mulut. "Maaf sayang, tidak untuk malam ini. Rapat panjang telah membuatku kacau. Aku hanya ingin tidur. Bangunkan aku saat Velma sudah pulang."
*****
(Rabu pagi)
Beau mencumbu Daphne di dapur, berusaha fokus pada bibir sang kekasih. Bibir yang dulu membuatnya gila dan ketagihan. Sekarang pun masih kan?
Setahun belakangan, sejak Beau mencantumkan nama Daphne dalam sertifikat kepemilikan apartemen, wanita itu bersikap sangat agresif, tidak lagi menolaknya. Bahkan Daphne sudah sering mengundangnya ke atas ranjang. Berbagi malam-malam panas bersama. Ia telah berhasil mendapatkan kembali hati sang mantan istri. Semua tidak lepas dari peran Aya Prince, sang istri kontrak.
Empat tahun lalu, Beau Prince menawarkan sebuah pernikahan sandiwara pada Aya. Tujuannya, agar Daphne cemburu dan mereka berakhir rujuk. Beau masih mencintai Daphne, ia sempat terpuruk ketika Daphne menggugat cerai dirinya dan membawa pergi Velma, putri mereka satu-satunya. Kehancuran pernikahan Beau dan Daphne ditengarai karena bangkrutnya PrincePages. Daphne sudah terbiasa hidup mewah dan mudah. Wanita itu memilih pergi dan mencari penopang lain untuk menjembatani kebutuhannya dan sang putri. Hanya berselang tiga bulan setelah perceraian mereka, Daphne dan Charles Noran mewarnai setiap laman pemberitaan.
Beau melepaskan ciuman mereka. Entah kenapa ia merasakan sesuatu yang beda dalam ciuman mereka. "Aku akan membangunkan Velma."
Daphne mengangguk, ia membiarkan Beau berjalan keluar menuju kamar sang putri. Perasaannya membuncah, sepertinya ia kembali jatuh cinta kepada sang mantan.
"Kapan kau akan melamarku kembali, Beau?"
Wanita berkulit gelap itu kembali dengan pancake kedua setelah meniriskan pancake pertama. Alisnya berkerut saat menyadari pantat roti itu sedikit menghitam. Tidak mengapa, ia bisa memakannya. Salahnya juga yang tergoda dengan bibir sang kekasih di saat adonan sudah memasuki wajan.
"Kapan kau akan menceraikan Aya, Beau?" Merasa tidak mendapati jawaban dari Beau, Daphne melayangkan kembali pertanyaan kedua.
Beau Prince yang mendengar jelas dua pertanyaan dari Daphne menghentikan langkah tepat di belokan menuju kamar Velma. Hatinya gusar. Entah kenapa dua pertanyaan yang dulu begitu mudah terjawab, hari ini terasa menyakitkan didengar.
"Apa yang terjadi padaku?" Gumamnya lirih.
Pandangannya tertunduk, menatap tajam lantai kayu tempatnya berpijak. Ia mendesah berat, menyadari bayangan Beast kembali merayu benaknya.
"Kau mengajakku bercinta di lantai?"
Beau mengecup leher Beast, menuntunnya untuk turun dari ranjang. Ia merebahkan tubuh telanjang Beast di atas karpet bulu sebelum menindihnya dengan tubuhnya.
"Beau, aku seharusnya menulis untukmu, bukan bercinta denganmu."
Bayangan mereka bercinta di lantai mengacaukan pikiran Beau seperti terakhir kalinya ketika ia berada di tengah rapat. Gairahnya tersulut, rasa ingin mereguk nikmatnya tubuh sang novelis kembali tak tertahankan. Beau harus melampiaskan hasratnya. Ia sempat tertegun sejenak sebelum memutar tubuhnya untuk melangkah kembali ke dapur. Daphne adalah pilihan satu-satunya sekarang!
Telinganya seolah berdengung sepanjang kakinya melangkah, memperdengarkan desahan-desahan sensual seorang wanita yang seharusnya tidak ia nodai. "Beast," lenguh Beau. Ia telah terjebak sempurna dalam lautan gairah. Kesadarannya dipertaruhkan, batas antara realita dan fantasi liarnya memudar.
Beau melihatnya di sana. Duduk bersedekap di tengah ruang dapur dimana tepat di belakangnya ada Daphne yang sedang sibuk menata sarapan.
"Oh, kau sudah kembali, Beau?"
Pertanyaan Daphne bagaikan angin lalu, Beau lebih tertarik dengan sosok menggoda seorang Beast yang terbalut gaun panjang transparan yang bahkan tidak mampu menyembunyikan setiap lekuk menggoda pada tubuh sang novelis. Beast menyilangkan kaki, menyembunyikan satu titik tubuh yang menjadi pusat pandangan Beau Prince.
"Apa yang kau inginkan, Mr. Prince?"
Kedua tangan Beau terkepal melihat halusinasinya bertanya seduktif kepadanya. Giginya bergemeletuk dan rahangnya mengeras. Sorot tajam Beast membuat pertahanannya runtuh.
"Daphne?" Panggilnya dengan suara rendah. Ia berusaha keras mengabaikan bayangan Beast dengan memusatkan pandangan ke arah Daphne.
"Ya?" Daphne membeku ketika berpaling. Ia melihat Beau berdiri di ambang pintu dalam keadaan yang mampu membuat darahnya berdesir.
"Bercintalah denganku!"
*****
