
Ringkasan
Élise, seorang wanita yang dihantui oleh hilangnya mantan cintanya, Thomas, yang tewas dalam sebuah perjalanan dengan perahu, memulai pencarian kebenaran yang mengguncang segala yang selama ini ia yakini. Apa yang ia temukan jauh melampaui kecurigaannya: sebuah jaringan kriminal yang menjalar yang terlibat dalam perdagangan-perdagangan mengerikan, dipimpin oleh orang-orang yang selama ini ia percaya. Dibantu oleh Samuel, seorang pria yang merasa bersalah atas kematian Thomas dan yang kesetiaannya kemudian berubah menjadi cinta yang tulus, serta Clara, seorang sekutu yang cerdas dan bertekad, Élise menghadapi kebohongan, manipulasi, dan pengkhianatan demi menghancurkan kerajaan korupsi tersebut. Dalam perjuangan tanpa henti untuk menegakkan keadilan, Élise menemukan tidak hanya kebenaran, tetapi juga kekuatan baru, harapan, dan cinta yang tidak pernah ia duga. Kisah ini merupakan sebuah eksplorasi tentang ketangguhan, pencarian jati diri, dan pembaruan dalam menghadapi kegelapan.
Bab 1: Kebangkitan Bintang
Rivemarine, sebuah kota pesisir kecil di selatan yang disapu angin asin, tampak selalu terlelap saat senja tiba. Jalan-jalan berbatu dan fasad putih rumah-rumah menyala dengan warna keemasan, cerminan matahari terbenam yang perlahan menghilang di ufuk. Bagi Élise SUNSHINE, ketenangan yang tampak itu hanyalah sebuah tirai yang menyembunyikan kenangan pahit.
Sudah satu tahun sejak dunianya hancur. Satu tahun sejak Thomas JORDANS, tunangannya, hilang di lautan pada malam yang menentukan itu, ketika kapal tempatnya bekerja tenggelam karena alasan yang tak terjelaskan. Setiap kali matahari terbit, Élise berharap menemukan jawaban atau setidaknya sedikit ketenangan, namun keduanya tak pernah datang.
Malam itu, Élise berdiri di dermaga kayu tua, dengan tangan terbenam dalam saku mantel ringannya. Angin dingin mengibaskan rambut coklatnya, dan matanya yang menatap ke ufuk tampak mencari sosok yang tak akan pernah kembali.
Ia mengeluarkan sebuah liontin dari sakunya, sebuah bintang kecil perak yang dipeluknya begitu erat hingga sendi-sendi tangannya memutih. Thomas telah memberikannya liontin itu sehari sebelum kepergiannya. Dengan senyum jahil, Thomas berkata: “Di manapun aku berada, Élise, selama kamu mengenakan bintang ini, aku akan tetap bersamamu.”
“Mbohong,” bisiknya, suaranya terbawa oleh deru ombak. Sebuah air mata mengalir di pipinya, yang segera ia usap, seakan ingin menyimpan rasa sakit itu untuk dirinya sendiri.
Ketika larut dalam pikirannya, langkah kaki mendekat menariknya dari lamunannya. Seorang pria sedang mendekat. Élise mengangkat pandangnya dan melihat seorang asing, tinggi dan kurus, mengenakan mantel hitam usang yang berjalan santai menuju tepi dermaga. Dia tampak larut dalam pikirannya, namun ketika matanya bertemu dengan pandangan Élise, sekejap kilasan pengenalan tampak melintas di matanya.
Keesokan paginya, Élise mencoba memecah kebosanan dengan pergi ke kafenya yang favorit, Le Marin Bleu. Tempat itu sederhana, dengan dinding kayu terang dan meja-meja yang dilapisi taplak kotak-kotak. Pemiliknya, seorang pria tua bernama Victor, menyambutnya dengan senyum hangat saat ia masuk.
> — Teh melati biasa, bukan? > tanya Victor sambil mengusap tangannya pada celemek. > — Ya, terima kasih, jawab Élise dengan senyuman tipis.
Ia pun duduk di meja favoritnya di dekat jendela yang menghadap ke pelabuhan. Ia senang mengamati kapal-kapal yang masuk dan keluar, meskipun setiap pemandangan itu selalu mengingatkannya pada Thomas. Namun, hari itu, sesuatu yang lain menarik perhatiannya.
Di atas kursi sebelah terdapat sebuah buku catatan. Sampul kulitnya sudah usang, seolah telah sering disentuh berkali-kali. Penasaran, Élise mengambilnya dan membukanya secara acak pada salah satu halaman. Apa yang ia temukan membuatnya terdiam.
Halaman-halaman itu dipenuhi ilustrasi rinci, catatan tulisan tangan, dan sebuah peta kasar. Namun, yang paling membuatnya terkejut adalah sebuah sketsa terperinci dari kapal tempat Thomas menghilang. Di bagian bawah halaman, sebuah kalimat menarik pandangannya: “Kapal itu tidak pernah tenggelam secara kebetulan.”
Jantungnya berdegup kencang. Siapa yang menulis ini? Apakah ini sebuah kebetulan atau sebuah pertanda?
Saat ia membolak-balik halaman, Élise menemukan detail misterius lainnya: deretan angka, anotasi di pinggir halaman, dan frasa-frasa kriptik seperti “Mereka tahu segalanya.” atau “Jangan percayai siapapun.”
Tak lama kemudian, seorang pelayan wanita mendekat sambil membawa tehnya dan memperhatikan ekspresi gelisah Élise.
> — Apakah semuanya baik-baik saja, Élise? > tanyanya sambil meletakkan cangkir.
> — Buku catatan ini… Apakah ditinggalkan di sini? > tanya Élise, tak mampu menyembunyikan kegelisahannya.
Pelayan itu mengangkat bahu. > — Kurasa iya. Mungkin seorang pelanggan lupa meninggalkannya pagi ini.
Élise pun mengucapkan terima kasih dan menutup buku catatan itu, pikiran bergejolak. Haruskah ia mencari tahu lebih lanjut atau mengembalikannya kepada pemilik? Dan jika buku catatan itu benar-benar menyimpan jawaban tentang kecelakaan tersebut? Ia tidak pernah percaya pada versi resmi — sebuah badai sederhana yang tiba-tiba menyerang kapal.
Saat meninggalkan kafe dengan buku catatan tersemat erat dalam dirinya, sebuah siluet yang familiar muncul dalam pandangannya. Pria dari dermaga itu. Jantungnya berdegup kencang sejenak. Apakah itu kebetulan belaka atau takdir yang mempertemukan mereka kembali?
Tanpa pikir panjang, ia berlari mendekatinya.
> — Anda, tunggu! > panggil Élise.
Pria itu berbalik, terkejut, dan mengernyitkan dahinya saat mengenali dirinya.
> — Anda masih di sini. Apa yang Anda inginkan?
> — Buku catatan ini, jawab Élise sambil menunjukkannya. Itu milik Anda, bukan?
Pria itu terdiam sejenak, matanya terpaku pada buku catatan seolah menyimpan rahasia yang harus dilindunginya.
> — Di mana Anda menemukannya? > tanyanya akhirnya, suaranya mengandung sedikit kegugupan.
> — Itu tak penting, jawab Élise dengan nada menantang. Yang ingin aku ketahui adalah apa arti catatan-catatan ini. Sketsa ini, kalimat ini… Mengapa buku catatan ini berbicara tentang kapal Thomas?
> — Anda seharusnya melupakan apa yang telah Anda lihat, kata pria itu sambil mengulurkan tangan untuk mengambil buku catatan.
Namun, Élise mundur, masih menggenggam erat buku catatan itu.
> — Tidak sebelum Anda menjelaskan apa yang Anda ketahui. Jika Anda terlibat dalam apa yang terjadi pada Thomas, Anda akan memberitahuku, entah Anda mau atau tidak.
Pria itu menghela napas, tampak kesal namun juga pasrah.
> — Baiklah. Mari kita bertemu malam ini, di sini juga. Aku akan memberitahumu apa yang bisa aku ungkap. Tapi ketahuilah, beberapa kebenaran itu berbahaya.
Élise mengangguk dengan tegas. Ia siap menghadapi kebenaran apapun, meskipun sesuram apapun, demi memahami apa yang sebenarnya terjadi pada Thomas.
Saat Élise dalam perjalanan kembali ke apartemennya, dengan buku catatan terpeluk erat, gambar samar-samar Thomas memenuhi pikirannya. Ia masih teringat malam ketika segalanya berubah. Malam itu hujan turun dengan deras, hujan tipis yang membuat kaca jendela berembun. Thomas datang, jaketnya basah kuyup, namun senyum cerahnya menerangi seluruh ruangan.
> “Aku telah menerima misi terakhir, Élise. Aku akan pergi besok, tapi itu hanya sebentar. Aku akan kembali sebelum kau menyadarinya.”
Ia tidak menyukai kabar itu, namun ia mengetahui betapa besar kecintaan Thomas terhadap laut dan perjalanan. > “Laut adalah wilayahku,” sering kata Thomas, seperti janji rahasia yang ia buat kepada ombak.
Senyum, suaranya, bahkan aroma lautnya, masih terasa menggantung di udara. Namun, hari ini yang ia miliki hanyalah buku catatan dan misteri yang tersembunyi di dalamnya.
Malam itu, Élise hampir tidak tidur. Ia kembali membuka buku catatan itu di bawah cahaya lembut lampu mejanya. Ia mencatat setiap detail yang tampak penting: koordinat samar yang tertulis di sudut halaman, gambar benda-benda yang tidak dikenalnya, dan kalimat terkenalnya yang terulang bagai litani: > “Mereka tahu segalanya.”
Ia ingin percaya bahwa ada makna di balik semua itu. Namun, perasaan yang lebih gelap mulai tumbuh dalam dirinya. Bagaimana jika buku catatan ini justru menambah penderitaannya? Bagaimana jika, daripada memberikan jawaban, ia hanya menyulut pertanyaan-pertanyaan baru yang tak terhingga?
Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan. Jika ia tidak menelusuri petunjuk ini, ia tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Élise kembali ke dermaga, sesuai dengan janji bersama Samuel. Angin laut berdesir sambil bermain dengan syalnya saat ia menunggu, buku catatan tersembunyi di bawah mantelnya. Ia ragu apakah Samuel akan datang; mungkin saja ia telah berubah pikiran.
Namun, Samuel tiba, langkah kakinya yang berat bergema di atas papan-papan dermaga. Ia tampak lebih tegang daripada pertemuan pertama mereka.
> — Anda sudah di sini, kata Samuel dengan sederhana.
> — Aku tidak bisa pergi tanpa memahami, jawab Élise sambil menyilangkan tangan.
Samuel mendesah dan melirik sekeliling, seolah memastikan bahwa mereka berdua sendirian. — Dengarkan, buku catatan ini… Sebaiknya Anda tidak pernah membacanya. Isinya penuh dengan hal-hal yang berbahaya, hal-hal yang tidak dapat Anda pahami.
— Maka jelaskanlah padaku, balas Elise, menantang tatapannya. Aku telah kehilangan Thomas, dan jika buku catatan ini dapat membantuku memahami alasannya, aku siap mengambil risikonya.
Samuel ragu, namun akhirnya mengangguk setuju. — Baiklah, aku akan menceritakan apa yang aku ketahui. Tapi ketahuilah satu hal: apa yang akan kamu temukan bisa mengubah segalanya.
Mereka pun duduk di sebuah bangku yang agak terpencil. Samuel tampak gugup, terus-menerus melirik ke belakang lewat pundaknya.
— Kapal tempat Thomas bekerja, yang bernama Lune de mer, bukanlah sekadar kapal nelayan biasa, ujarnya memulai. Kapal itu mengangkut sesuatu… sesuatu yang sangat berharga bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan besar.
— Apa, tepatnya? tanya Elise, dengan tangan yang bergetar.
— Aku tidak yakin. Tapi buku catatan ini memuat petunjuk-petunjuk. Peranku adalah mencatat segala yang kupelajari atas nama… katakanlah, pihak-pihak yang berkepentingan. Namun, semuanya berjalan tidak seperti seharusnya.
Elise terperangah. Selama ini ia selalu percaya bahwa Thomas hanyalah korban kecelakaan semata. Tapi kini, semua seolah menunjuk pada adanya konspirasi yang jauh lebih besar.
— Dan Thomas? Apa yang sebenarnya ia lakukan di kapal itu? Bukankah dia tidak terlibat?
Samuel menundukkan mata, seolah ragu untuk menjawab. — Aku tidak bisa memberimu jawaban dengan pasti, akunya. Namun, ada kemungkinan bahwa dia telah melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat.
Elise merasakan campuran kemarahan, ketakutan, dan tekad yang mendidih dalam dirinya. Jika benar bahwa Thomas menjadi korban konspirasi, maka ia akan melakukan apa pun untuk mengungkap kebenaran.
— Baiklah, katanya sambil bangkit. Jika buku catatan ini bisa membantuku memahami apa yang terjadi, maka aku akan terus mencari, dengan atau tanpa bantuanmu.
Samuel memandangnya sesaat, kemudian ia pun bangkit. — Kamu lebih berani daripada yang kuperkirakan, ujarnya dengan senyum tipis. Tapi hati-hatilah, Elise. Mereka yang mencari jawaban tidak selalu menemukan apa yang mereka harapkan.
Dengan kata-kata itu, ia pergi, meninggalkan Elise sendirian di dermaga dengan buku catatan still terpegang erat. Namun kali ini, ia tidak merasa kesepian. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia memiliki tujuan, sebuah arah yang harus diikuti.
Dan meskipun bintang-bintang tampak tersesat, Elise yakin bahwa suatu hari nanti ia akan menemukan cahayanya.
