3. Menyesal tak guna
Aku menarik napas dengan begitu panjang dan dalam sambil terus berpikir apa yang harus aku lakukan sekarang. Apa aku harus diam dalam kebodohan mengikuti keinginan dari suamiku? Aku bingung karena aku tidak punya tempat untuk mengadu. Aku pun tidak mungkin menceritakan semuanya pada ibu juga ayah mertuaku karena jika itu terjadi, maka semua alat yang ada di tubuh Ibu saat ini sudah di pastikan tidak terpasang lagi.
"Astagfirullah Robbi." Aku mengusap wajahku dan menyeka air mata yang terus-menerus mengalir itu, dengan segenap jiwa dan raga aku bangkit dan memutuskan untuk tidak pulang dan akan tidur di rumah sakit bersama Ibu.
******
"Mengapa belum juga kamu tanda tangani, Ana?" Terdengar suara Mas Salman yang berteriak.
Aku pun mengerjapkan mata dan membuka mataku yang masih sembab. Semalaman, ya, hampir semalaman aku menangis dalam sujudku pada sang Ilahi, terakhir aku menangis di samping ibuku yang masih terbaring lemah. Ibu, hanya ibu yang membuatku harus bertahan dengan perjanjian batil yang diminta oleh suamiku.
"Apa kamu sudah siap ibumu sekarat karena semua alat yang membuatnya masih hidup di lepas, Ana?" Mas Salman menatapku dengan senyum penuh ejekan. "Tepat jam 08.00, kamu sudah menghabiskan waktu 12 jam untuk berpikir, Ana. Jadi, pastikan kamu sudah siap untuk kehilangan ibumu, 12 jam dari sekarang."
Aku menatap Mas Salman tak percaya. Bagaimana mungkin pria baik hati berstatus suamiku itu tega mengancamku seperti itu. Perih, sesak dan bingung menjadi satu karena tak mungkin aku bisa mencari jalan lain untuk pengobatan Ibu yang tak sedikit jumlahnya hanya dalam waktu 12 jam lagi.
"Kamu kejam, Mas! Kamu kejam!" Aku memukul tubuh Mas Salman, tak tahan dengan sikapnya yang tak punya hati itu.
"Sssttttt ... hentikan, Ana!" Mas Salman menyimpan jarinya di bibirku. "Karena marahmu hanya membuang-buang waktu untuk ibumu bernapas, hihihi." Mas Salman semakin membuatku murka pada tawa seringainya.
Aku memejamkan mata dengan bibir bergetar, aku berdoa agar apa yang putuskan sudah benar. "Baik, Mas. Aku akan tutup mulut asal kamu menjamin semua pengobatan Ibu." Lelehan bening dari mataku pun terus mengalir dan tak bisa di hentikan lagi. "Aku akan tanda tangan surat perjanjian itu."
Semalaman aku bermunajat pada sang Kholiq untuk jalan keluar dari ujian yang aku hadapi. Nyatanya, Allah menginginkan aku untuk menjadi wanita yang lebih kuat lagi dengan mengikuti keinginan Mas Salman. Aku tak punya pilihan karena aku tak punya saudara yang bisa membantuku. Aku pun tidak mungkin meminta bantuan Mas Azzam. Walau pun dia selalu ada untukku, tapi jika harus memintanya menangggung biaya pengobatan Ibu, itu tidak mungkin. Karena aku tidak tahu kapan aku bisa membayarnya pada Mas Azzam nanti.
Mas Salman tersenyum menyeringai puas. "Cepat tanda tangan! Aku ada meeting pagi ini dan aku tidak ingin membuang-buang waktuku hanya untuk mengurusmu." Mas Salman kembali melemparkan dokumen perjanjian itu ke hadapanku. "Cepat, Ana!"
Aku pun tak ingin banyak bicara dan banyak berpikir lagi selain pasrah. Aku membubuhkan namaku di atas dokumen perjanjian batil itu dengan pasti. "Sudah," ucapku langsung memberikan dokumen itu pada Mas Salman. "Ingat ya Mas, jika sampai kamu tidak menjamin pengobatan Ibu, maka-"
"Kamu tidak perlu mengancam ku seperti itu, Ana! Aku bukan orang bodoh," ucapnya hendak pergi meninggalkanku.
Aku menatap benci Mas Salman dengan begitu jijik karena bahkan dirinya tak merasa berdosa pada sang Ilahi lalu bagaimana mungkin dia bisa merasa bersalah padaku. "Apa kamu tidak merasa berdosa, Mas? Itu dosa besar, Mas!"
Mas Salman menghentikan langkahnya dan menoleh padaku. "Ck, sudahlah, An! Aku tak mau membahas ini sekarang, kamu sudah tanda tangan ini dan kamu bebas melakukan apapun termasuk jika kamu mau mencari pria lain."
"Sadarlah, Mas! Itu dosa besar dan dilarang agama, Mas."
Mas Salman langsung menatapku dengan sorot mata merah tajam. " Diam, Ana! Tahu apa kamu tentang dosa, hah? Kamu hanya cukup menutup mulut dan hubungan kita akan tetap baik-baik saja."
Begitu entengnya dia mengatakan bahwa hubungan kita akan baik-baik saja tanpa mempedulikan bagaimana perasaanku sebagai istrinya. "Aku bahkan lebih terhina dari seorang gay," ucapku dengan sedikit lantang karena sesak di dadaku yang sudah tak tertahankan. "Hentikan hubungan haram kalian, Mas!"
Plakk!!
"Tutup mulutmu, Ana! Atau aku akan berbuat yang lebih kejam dari ini padamu!"
Lelehan bening itu kembali mengalir deras dari mataku tatkala suamiku telah berani menamparku hanya karena membela pasangan laknatnya. Mas Salman pergi meninggalkan aku tanpa punya rasa iba sedikit pun. Mas Salman begitu bahagia setelah aku menandatangani surat perjanjian batil itu. Aku masih mematung meraba pipiku yang perih walau hatiku lebih perih.
Setelah beberapa aku merenung. Aku segera beranjak untuk pulang dulu ke rumah. Walau bagaimanapun ibu mertuaku pasti tahu aku tidak pulang ke rumah. Sebab, hampir setiap waktu ibu mertuaku bertanya tentang keadaan di rumahku pada irt yang dipercayainya.
Ya, mungkin salah satu alasan aku untuk mau bertahan adalah karena keluarga suamiku begitu menyayangiku. Aku sungguh merasa kasihan pada mereka yang ternyata telah tertipu oleh perilaku Soleh dari Mas Salman. Mungkin jika aku tak terlalu merasa kecewa karena bisa saja aku mencari pria pengganti Mas Salman. Akan tetapi, bagaimana dengan keluarganya? Tentu mereka akan sangat terpukul ketika mereka tahu kelakuan Mas Salman yang menyimpang.
Apa yang aku khawatirkan ternyata tak meleset. Ibu mertuaku sudah berada di rumah dalam keadaan yang sangat cemas padaku. Aku pun lupa memberi kabar padanya agar dia tak terlalu mengkhawatirkan ku.
"An, Kamu dari mana? Kamu nggak pulang semalam Ibu khawatir," kata ibu mertuaku lalu memelukku dengan erat.
"Maaf, Bu. Ana lupa memberi kabar Ibu kalau Ana tidur di rumah sakit." ucapku pada ibu mertuaku.
"Tidur di rumah sakit?" tanyanya sedikit heran. "Apa ada sesuatu pada ibumu, An?" tanyanya lagi khawatir.
Aku begitu bahagia karena ternyata walaupun Mas Salman seperti sudah mencampakkan'ku, tapi ibu mertuaku begitu menyayangiku. "Tidak, Bu. Ana hanya merasa sedikit rindu jadi Ana tidur bersama Ibu," ucapku berbohong karena tak ingin membuat ibu mertuaku semakin khawatir.
"Alhamdulillah, ibu khawatir jika terjadi sesuatu sama kamu juga ibu kamu." Ibu mertuaku kembali memelukku. "Kamu pasti belum mandi kan? Mandilah dulu nanti kita makan! Ibu sudah bawa makanan dari rumah kebetulan Akilah ada tugas pagi jadi katanya tak bisa sarapan bareng ibu. Kamu temenin ibu sarapan ya," pintanya dengan lembut seperti bagaimana Mas Salman berbicara denganku awal kita bertemu.
Aku pun segera membersihkan diri mencoba melupakan apa yang terjadi dalam kehidupanku yang pahit. Bahkan aku sampai melupakan pria yang biasanya selalu bebankan dengan curhatan curhatan hidupku. Namun, mungkin untuk hal ini aku tak bisa memberitahukannya karena perjanjian ku dengan Mas Salman.
Setelah mandi aku pun mengambil handphone yang sudah dari malam aku lupakan. Dan benar saja pesan dan panggilan telepon dari Mas Azzam sudah beberapa kali aku lewatkan. Aku pun membalas pesan Mas Azzam jika aku baik-baik saja. Pesan dari Mas Azzam tentu saja hanya bertanya bagaimana keadaanku dan Ibu hari ini.
Entahlah, perasaan menyesal pun kini merasuki hati dan pikiranku. Menyesal karena harus menikah dengan Mas Salman padahal Mas Azzam lah yang selama ini memberiku semangat dalam menghadapi ujian dari Ibu yang masih terbaring lemah. Mas Azzam juga lah yang lebih perhatian padaku ketimbang Mas Salman yang katanya sangat sibuk dengan pekerjaannya.
"Maaf, Mas. Untuk kali ini aku tidak bisa membagi masalahku denganmu." Aku meremas handphoneku dengan sesal yang tiada guna.
