Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2. Tamparan Menyakitkan

Pagi cerah itu menjadi kelam saat Rebecca membuka mata. Matanya membulat sempurna, pun sempat mengerjap-ngerjap ketika berusaha menampik ilusi mimpi yang membuat jantungnya ingin copot.

Tetapi percuma! Kehangatan yang berbaur dari kulit yang saling menempel menegaskan semuanya bukanlah sebuah ilusi mimpi, melainkan sebuah kenyataan. Tidak sama sekali bermimpi.

Rebecca terlonjak kaget! Tangannya segera menyingkirkan lengan kokoh yang memeluknya. Tidak peduli seberapa besar rasa penasarannya, dia harus menyingkir dari sosok yang bertelanjang di dalam satu selimut yang sama dengannya.

Cepat-cepat Rebecca memungut pakaian miliknya di atas lantai untuk kemudian menutupi tubuhnya yang lengket dan terasa pegal. Benaknya yang terguncang oleh keterkejutan itu mulai terisi oleh rangkaian-rangkaian erotis kemarin malam.

Raut wajah Rebecca menegang terkejut di kala menyadari pria di sampingnya bukan calon suaminya, melainkan pria asing yang menawan–yang masih tertidur lelap. Debar jantung Rebecca nyaris berhenti berdetak. Rasa takut dan panik menyelimuti dirinya.

Napas Rebecca memberat dan sesak. Seperti bumi berhenti pada porosnya, tubuh Rebecca hampir ambruk. Apa yang terjadi? Jelas-jelas kemarin malam Rebecca melihat calon suaminya. Mereka saling menyentuh, saling bercumbu, tapi ... siapa pria yang tertidur itu?

Rebecca menarik napas dalam-dalam. Dia berusaha menenangkan diri yang gemetar ketakutan. Rebecca ingat bagaimana dia berakhir di kamar itu. Bahwa orang kepercayaannya yang membawanya.

Perlahan-lahan Rebecca menyadari akan spontanitas perubahan kondisi yang menyiksa kemarin malam. Sehingga tertarik satu kesimpulan jika perubahan tubuhnya bersinggungan dengan makanan atau minuman yang ditelan kemarin malam.

Menjelang hari pernikahan yang sudah di depan mata, tidak mungkin Rebecca rusak hari bahagia itu dengan tindakan konyol. Bercinta dengan pria tak dia kenal, benar-benar sudah gila!

Rebecca tidak akan mencoreng harga diri maupun nama baiknya sendiri. Wanita cantik itu terlahir dari keluarga cukup terpandang di Manchester. Ayahnya memiliki perusahaan manufaktur di bidang industri makanan, sementara Elvis–calon suaminya seorang dokter bedah yang terlahir dari keluarga pemilik rumah sakit di Manchester.

Mungkinkah ada seseorang yang busuk hati terhadap kesempurnaan hidup Rebecca?

‘April? April yang melakukan ini?’ batin Rebecca menjerit.

Untuk apa? Kenapa April mencelakai Rebecca yang merupakan sosok berbaik hati terhadap dirinya? Dan untuk apa April melakukan kejahatan padahal Rebecca tidak pernah berbuat kasar pada dirinya? Napas Rebecca tersengal-sengal, dadanya terasa semakin sesak dan kedua kakinya gemetaran akibat nyeri dan shock yang campur aduk.

Namun Rebecca tidak mau berlarut dalam guncangan shock itu. Dia memutuskan kabur sebelum pria itu terbangun. Lebih baik menganggap kesialan itu sebagai one night stand dan melupakannya.

Sayangnya, keputusan itu diambil pada detik yang salah. Ketika Rebecca membuka pintu langkahnya membeku oleh kehadiran dua sosok pria yang melayangkan tatapan tajam layaknya ingin membunuh.

Mereka adalah Nelson Colvin–ayah kandungnya yang berdiri dengan wajah memerah marah. Bukan hanya beliau, Elvis–calon suami Rebecca juga turut ikut menangkap basah dirinya di kamar itu.

Tidak usah ditanya lagi dari mana mereka mengetahui keberadaan dua pria itu. Adanya April yang berekspresi datar di belakang Elvis sudah menjawab semuanya.

Kesialan pagi yang ironi! Rebecca tidak diizinkan bernapas tenang sedetik saja sampai-sampai tubuhnya yang pegal menjadi kesemutan. Dia tidak diberi jeda untuk menemukan solusi dari kesalahan fatal itu.

Meski diserang rasa takut yang luar biasa, dia masih bisa berpikir sedikit jernih untuk segera keluar dan menutup rapat-rapat pintu itu. Tetapi Rebecca tidak bisa menyembunyikan kissmark di lehernya hasil gigitan pria asing yang ada di dalam kamar itu.

Plak!

Tangan besar Nelson yang menampar perih di pipi kiri Rebecca lebih dulu menyapa dibandingkan kata-kata. Kemarahan pria paruh baya itu tidak lagi bisa terkendali melihat apa yang ada di depan matanya.

“Di mana otakmu, Rebecca?! Kau diam-diam keluar untuk melakukan hal menjijikkan seperti ini?” Nelson memekik arogan tanpa peduli pada Rebecca yang berkaca-kaca menatapnya.

“Dad ...”

“Don’t call me daddy! Aku malu memiliki putri sepertimu!”

Omong kosong apa itu?

Rebecca tak berkedip menatap ayah kandungnya yang begitu tega bersikap kasar kepada dirinya. Meskipun belakangan waktu hubungan mereka merenggang akibat hadirnya ibu dan saudara tiri, Rebecca menilai Nelson tak pantas menghakimi dia tanpa mendengar penjelasan lewat mulutnya.

Sosok ayahnya benar-benar tak memberikan kesempatan. Dia bertitah tegas menyuruh Rebecca segera pulang sambil membuang muka, seolah-olah menatap Rebecca secara intens begitu sangat menjijikkan.

Kehadiran Elvis yang masih menatap dingin ke arahnya membujuk Rebecca untuk mendekati. Rebecca percaya jika calon suaminya itu akan mendengar bagaimana dia berakhir di kamar itu.

Sama seperti sebelumnya, harapan itu pupus! Tangan Rebecca ditepis kasar saat ingin menggapai pergelangan tangan Elvis.

Plak!

“Jika ingin menutupi kebohongan, tutupi dengan benar!” seru Elvis dengan geraman penuh kemarahan.

Wanita putus asa itu menitihkan air mata oleh perkataan calon suaminya. “Don’t get me wrong, Honey. Aku bisa menjelaskan semuanya,” jelasnya melirih pilu.

Elvis mengangguk, namun bibirnya menyeringai sinis seperti meremehkan ucapan Rebecca. Manik mata pria itu memancarkan jelas rasa kecewa dan amarah yang sudah tak lagi terkendali. “Kalau begitu jelaskan bekas merah-merah di lehermu itu apa?” tuntutnya.

Secara spontan Rebecca menyentuh lehernya. Dia panik dan terkejut ketika tidak menyadari jejak-jejak erotis gigitan pria asing yang tak dikenalnya di sana. Ini memang sudah benar-benar gila! Rebecca tidak menyangka kalau semua ini akan terjadi pada hidupnya.

“Siapa yang ada di dalam?” Elvis kembali menuntut penjelasan.

“Tidak ada siapapun.” Rebecca membantah cepat.

“Kau berselingkuh?” Elvis menuduh keji.

“No!” Rebecca menggeleng cepat, dengan wajah panik.

“Kau bosan denganku selama tiga tahun kita menjalin hubungan?” Elvis mencecar Rebecca.

“No! Never! I always love you, Elvis,” bantah Rebecca mengiba-iba.

“Shut the fuck up! Kau tidak akan merusak kepercayaanku jika kau mencintaiku!” begitu emosionalnya Elvis melontarkan rasa kecewa. Nadanya menekan dan mengintimidasi sampai-sampai dia kembali berucap, “Aku tidak mau menikahi pengkhianat kotor sepertimu!”

Rebecca tertegun terkejut. Dia meragukan telinganya atas pernyataan kejam itu. Akal sehatnya meneriaki batin yang tak percaya pada Elvis. Mulut yang selalu berkata-kata manis itu mencetuskan penghinaan dengan sadarnya?

“M-maksudmu ... kau tidak mau menikahiku?” terbata-bata Rebecca memastikan pernyataan Elvis.

“Kau masih bertanya? Jelas saja aku tidak sudi menikah denganmu!” seru Elvis dengan nada keras.

“Elvis, kau benar-benar salah paham.” Rebecca mencecar panik, sementara tangannya yang gemetaran sudah mencengkram pergelangan tangan Elvis. “Kau mencintaiku, Elvis! Dan aku mencintaimu. Pernikahan ini ... pernikahan ini mimpi kita!” Rebecca begitu mengiba pada Elvis.

Ironisnya, pernyataan Rebecca dibalas oleh perlakuan kasar dari Elvis. Pria itu penuh emosional menepis tangan Rebecca. Belum cukup sampai di situ, Elvis dengan sadarnya menodorong Rebecca hingga punggungnya terbentur sakit ke dinding lorong kamar.

Mata Rebecca terpejam. Tulung punggungnya seperti mau patah akibat benturan keras itu. Ditambah nyeri dan perih di dekat selangkangan membuat Rebecca ambruk terduduk ke lantai.

“Kau adalah wanita paling munafik dan paling egois yang pernah aku temui, Rebecca! Kau selalu melarangku untuk menyentuhmu seutuhnya! Mulutmu selalu bilang padaku ‘akan lebih kita melakukan setelah menikah nanti’! Kau memberikan bibirmu padaku, tapi dengan selingkuhanmu itu kau berikan seluruh tubuhmu!”

Fitnah kejam dari Elvis itu bukan hanya menembus jantung Rebecca, melainkan nyawa Rebecca tercabut kasar sampai seluruh tubuhnya bergetar kesakitan. Namun di balik rasa sakit itu Rebecca tidak mau menyerah. Dia berusaha menepis rasa untuk bisa lembut menggenggam tangan Elvis.

“Apa yang harus aku lakukan agar kau mau mendengarkan dan percaya padaku?” suara serak Rebecca begitu ironis mengiba-iba.

“Aku jijik dan benci padamu, Rebecca. Jangan muncul di hadapanku. Kita selesai! Tidak akan ada pernikahan apalagi cinta diantara kita!”

Kekejaman Elvis dalam menginjak-injak harga diri Rebecca tidak hanya lewat mulutnya saja. Lagi! Dia menepis kasar tangan Rebecca sampai tubuh rapuh itu terdorong sakit ke belakang.

Air mata Rebecca berlinang deras membasahi pipinya di kala Elvis pergi meninggalkannya, tanpa mau mendengarkan penjelasannya. Pun begitu juga dengan Nelson yang pergi meninggalkan Rebecca. Nelson yang begitu marah memutuskan untuk pergi menjauh.

***

Ketika matanya terbuka, Glenn Romanov mendapati diri yang bangun kesiangan. Anehnya konglomerat menawan itu tidak terkejut. Dia masih betah berbaring di ranjang kusut yang menjadi saksi biksu di mana hampir semalaman dia menguras energi.

Ya, Dia adalah pria menawan yang menghabiskan malam nikmat dengan wanita asing yang tak ia kenali. Padahal kemarin malam Glenn hanya ingin beristirahat dengan tenang. Dia sudah lelah melalui serangkaian jadwal bisnis yang padat pada hari pertama di Manchester.

Ekspektasinya teralihkan oleh realita. Pria lajang berusia 32 tahun itu dengan sederhananya terhasut oleh nafsu. Suara manis yang merendah, bibir basah yang begitu nikmat, kulit putih bersih yang menawan, serta asset vital yang meresahkan.

Glenn tersenyum kecil memikirkan malam penuh perangkap manis yang membuatnya kecanduan. Padahal dia adalah pria dingin yang anti terlibat dalam sebuah kontroversi terhadap wanita.

“Dia sudah pergi,” Glenn bergumam saat terduduk dan menyadari wanita yang ‘digagahi’ olehnya sudah angkat kaki.

Wajah menawan itu menunjukkan kesuraman yang menegakkan bulu-bulu halus di tubuh. Sementara bayangan erotis–manis itu telah terhapus oleh penilaian Glenn terhadap wanita itu yang dinilainya adalah wanita penghibur.

Glenn merasa tak bisa menyalahkan wanita yang hampir sepanjang malam digagahi olehnya itu. Baginya sudah sangat pantas wanita itu pergi sebelum dia terbangun. Karena sepuas-puasnya Glenn pada tubuh itu, dia tetap wanita penghibur.

Glenn memutuskan untuk beranjak dari ranjang dan membersihkan tubuhnya. Jiwanya diserang oleh perasaan aneh ketika melihat bekas cakaran kuku-kuku di lengan kanan.

Sialan! Tidak seharusnya ada jejak yang membuat Glenn teringat.

Segera mungkin Glenn menyudahi pembersihan tubuhnya. Pun cepat-cepat dia menutupi tubuh gagahnya itu dengan setelan formal berjas.

“Selamat pagi, Tuan Glenn.”

Glenn menoleh pada sekretaris yang datang menghampiri ke kamarnya. “Kau sudah lama bekerja untukku. Tapi kenapa kau lupa tentang peraturan yang aku buat?” dia memprotes.

Eric–sekretarisnya tampak kebingungan mencerna ucapan Glenn. “Maksud Anda?”

“Wanita kemarin malam kau yang menyiapkannya, kan? Kau sangat tahu jika aku ini tidak suka hal-hal seperti itu.”

Dahi Eric berkerut dalam diserang oleh pernyataan yang membingungkan. “Wanita? Maksud Anda apa, Tuan Glenn? Saya tidak akan berani melakukan kesalahan seperti itu.”

Keadaan hening sejenak oleh Glenn yang berpikir keras. Jika sekretarisnya tidak menyiapkan wanita kemarin untuknya, bagaimana bisa wanita itu masuk ke kamarnya?

Di tengah dia sedang berpikir keras, matanya teralihkan oleh benda berkilau di lantai. Glenn berjalan mendekati lalu meraihnya. Jemarinya sudah memegang satu anting milik wanita kemarin malam yang terjatuh.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel