Bab 2
"Kamu?" Tanya pria itu geram. Wajah penuh peringatannya mengisyaratkan bahwa aku harusnya tak macam-macam di acaranya.
Aku ingin menangis, apalagi menyadari ketiga orang lainnya di sekitar Dahlan mulai melotot galak. Namun yang keluar dari mulutku adalah serangkaian tawa yang aku sendiri tak tahu dari mana asalnya. Dan sialnya terdengar menyedihkan.
"Drama sekali pertanyaan mu, suami" Entah kekuatan dari mana sampai detik ini aku mampu menahan amarah yang telah lama berkobar.
"Sayang, siapa wanita ini. Kenapa dia bicara begitu" wanita hamil 7 bulan itu merengek, suara manja nan merdunya sangat enak di dengar, seharusnya.
"Nona, jangan buat keributan disini" suara dalam dan tatapan peringatan dari pria tua di sebelah Dahlan tak membuatku mundur. Bros antik di saku jasnya berkilau di bawah cahaya lampu, sepertinya emas murni.
"Saya istri sah Dahlan sejak 3 tahun lalu" aku terus menatap mata Dahlan yang kini berlari jauh. Buku jarinya memutih dalam kepalan sempurna. Tidakkah dia ingat mulutnya juga pernah berkata manis padaku dulu.
"Pergi, sebelum..." Ayah mertua Dahlan bersuara dari sela-sela giginya, namun istri Dahlan ternyata hampir pingsan mendengar pernyataan ku. Tubuhnya meluruh ke lantai seperti tak lagi memiliki daya, tatapan matanya terus kepadaku dengan lelehan air mata yang tak terbendung. Hingga semua orang menjadi panik dan bertanya-tanya. Jujur aku iba sekaligus sakit hati pada wanita hamil itu.
"Aku mohon Jef, semua bisa dibicarakan baik-baik" si pria tua berusaha bernego, sementara Dahlan terlihat sibuk menenangkan istrinya. Ibu mertuanya pun semakin panik dengan meneriaki semua orang, tak terkecuali ke arahku. Bukannya aku tak memprediksi kemungkinan seperti ini.
Semua orang memandang penasaran sekaligus tak enak. Seseorang yang sepertinya bagian keluarga istri muda Dahlan mempersilahkan untuk menikmati hidangan yang telah disediakan. Sementara Dahlan dibantu beberapa orang lainnya membawa istrinya ke tempat yang lebih privasi.
Kini kami berada disebuah kamar dimana istri Dahlan telah mendapat pertolongan pertama. Air mata terus meluruh pada pipi cabinya. Di kanan kirinya ada keluarga yang menemani, sementara aku hanya berdiri di temani pria bertongkat jati. Tak ku sadari sejak kapan tongkat itu kembali di pegang Jefry.
Dahlan memandangku dengan cara yang sedikit unik, tatapan penyesalan bercampur emosi, hingga urat di lehernya mulai mencuat. Rasa kecewa di hati ini semakin mendera, teganya Dahlan padaku. Jadi penantian ku selama ini tidak ada artinya sama sekali. Tiga tahun dia tak pernah pulang hanya kabar kalau dia sibuk, cuma hasil bagi modal yang sangat memalukan menurutku, mengingat besarnya uangku akan berkembang banyak meski cuma di depositkan.
Jefry menarik ujung bibirnya, tanda pria itu puas dengan kondisi yang dialami Dahlan dan keluarganya. Sebenarnya aku jadi penasaran, kesalahan apa yang diperbuat Dahlan terhadap Jefry, atau keluarga mertua Dahlan mungkin.
"Bagaimana sweety?" Aku menoleh menatap kedalam mata Jefry yang dipenuhi kilat kemenangan. Sweety, panggilan apa itu.
"Kenapa tidak menggugatnya cerai saja" suara si ibu mertua Dahlan mengisi ruang senyap ini. Dingin AC tak meredam hawa ruangan yang semakin naik.
"Itu terlalu mudah, nyonya" kataku, padahal sebenarnya adalah cerai dari Dahlan tak akan pernah disetujui orangtua kami, terutama ayahku yang kolot itu. Ngomong-ngomong, Aku lelah ingin duduk, namun sofa satu-satunya kamar ini telah dihuni ayah mertua Dahlan yang nampak murka.
"Pantas, menantuku lebih memilih putriku, kalian berdua serasi sebagai pasangan selingkuh" owh, perkataan itu apa ditujukan untuk Jefry juga. Jadi, wanita tua itu salah paham kepada kami.
Setelah berdecak, aku tak bisa menahan tawa miris meladeni kemarahannya yang terdengar begitu lucu. Sementara Jefry terlihat aneh kali ini.
Pandangan memuja itu seketika meredup berganti jadi sebuah kemarahan tertahan. Otak kecilku tentu menyadari, Ah, Jef... Kau memiliki hubungan dengan wanita tua itu. Aku menggeleng tak percaya, aku dikelilingi orang-orang gila.
"Serius Jef, kamu menyukainya?" Aku berbisik tanpa sedikitpun menoleh padanya. Tatapanku masih kepada Dahlan yang terus melotot padaku. Bagaimana aku butuh pengalihan dari rasa sakit ini. Jujur aku sebenarnya ingin menyerah. Tak sanggup meneruskan serangan yang sudah ku mulai sendiri. Apalagi melihat betapa Dahlan membenciku.
"Apa sweety...." Jefrey kembali dalam mode menyebalkan tapi berbahaya bagi siapa saja yang memandangnya.
"Aku mendengarmu menyebut nama wanita tua itu, suaminya pasti mengeluarkan biaya mahal untuk perawatan dan botok. Sayangnya, kamu yang menikmati" Dan bagaimana aku tidak curiga gerak-gerik keduanya sejak kami berbincang tadi.
"Sweety" suara rendah itu membuatku meremang. Padahal sejak awal aku tak pernah peduli motif Jefry. Kenapa tiba-tiba aku merasa telah menyalakan api pada sekam alias pada pria berbahaya itu dengan provokasi.
"Ohho, Sorry Jef, " aku berbisik dan kembali meningkatkan volume suaraku saat tujuanku adalah suamiku. "By the way... Dahlan...Aku ingin saat ini juga urusan kita selesai. Tanda tangani semua yang sudah ku persiapkan." Ku lirik pria muda asisten Jefry, yang paham isyarat ku. Aku juga melirik raut cemburu si nyonya tua selingkuhan Jerfy yang adalah ibu mertua Dahlan. Cih, menjijikan bukan mereka ini. Aku jadi tak sudi ditempeli Jefry. Hingga ketika kau menggeser tubuhku, raut bertanya Jefry terbit di ujung alisnya atas tindakanku. Namun pria bertongkat itu malah turut menggeser tubuhnya kembali menempel padaku.
"Rahela, kamu keterlaluan" Dahlan mendesiskan namaku. Aku keterlaluan katanya, bagaimana dengan dirinya.
"Bagaimana ini Jef, aku keterlaluan katanya" Jefry terkekeh dan memeluk bahuku.
"Ah, sweety... Suamimu ternyata tidak seru. Aku heran, kamu bisa menunggunya selama itu. Pria pecundang tidak cocok denganmu"
"Tolong, jangan ikut campur urusan keluarga kami" mata Dahlan tertuju pada Jefry.
"Ayo bicara" Dahlan bergegas ke luar kamar dan mengisyaratkan agar aku mengikuti langkahnya.
Di lorong antar kamar hotel ini, Dahlan berhenti. Terang dia menungguku, punggungnya menegang sempurna. Aku tak tahu, dimana moralitasnya terhadapku yang jelas-jelas dia nikahi 3 tahun lalu. Kalau tak menginginkanku kenapa tak jujur saja.
"Rahela, apa tujuanmu datang kesini? Kamu bisa menghubungiku dan bicara baik-baik" aku diam, merasakan tusukan jarum di ubun-ubun. Tak sekalipun dia mengangkat panggilanku. Tak ada medsos yang terhubung dengan namanya, karena ternyata beberapa akunnya menggunakan nama beken yang aku tak tau.
"Kamu pikir, bagaimana caranya aku bicara baik-baik denganmu?"
"Kamu bisa bicara lewat ayah dan ibu?"
"Oh, jadi benar ya, mereka bisa menghubungimu dan aku tidak? Lalu apa tujuanmu Dahlan, bertindak demikian? Kenapa tak kau cerai saja aku sejak awal?"
"Aku tidak bisa?" Dahlan menggeleng, ada jejak ketidakkberdayaan dalam tatapannya.
"Kenapa tidak bisa?" Pria berhidung mancung itu hanya terdiam.
"Berarti, kau memang suka dengan cara seperti ini?" Aku berbalik, dan seketika berhenti saat mendengar Dahlan memanggil.
"Rahela, kita belum selesai, ayo temui ayah"
Tak ku sangka pengawal setia Jefry menanti diriku di ujung lorong ini. Terimakasih Jef, meskipun itu tidak perlu. "Baik" jawabku pada Dahlan tanpa merasa perlu membalikkan badan.
Hening saat aku kembali memasuki kamar peristirahatan istri Dahlan. Raut puas terlukis jelas di wajah Jefry. Entah apa yang mereka bicarakan hingga orang lain disini bermuka masam.
"Kau mau berapa untuk meninggalkan suamiku" wanita hamil itu, menaikkan dagunya, jejak air mata tak bisa disamarkan. Pasti dia sama terluka mengetahui pria yang menikahinya telah beristri.
"Ah... Klasik sekali. Bukankah aku yang seharusnya bilang begitu, tuan putri. By the way, kamu mau menghargai suamimu berapa ratus juta, atau berapa M?" Aku terkekeh tak berdaya memandangi bumil yang melotot itu. Sungguh aku tak ingin menyakiti sesama wanita.
"Ini ulah anda kan Tuan Jefry Tjong? Dahlan yang datang setelah aku bersuara. Aku marah, kenapa Dahlan merasa tak perlu menjelaskan sejak awal. Aku juga cantik, aku menarik, tapi Dahlan tak pernah membuatku mendapat kesempatan menjadi seorang istri. Aku kalah telak karena bukan wanita yang dicintainya sejak awal. Jadi, tidak ada yang bisa ku lakukan selain meneruskan rasa sakit ini. Hanya demi ayahku, dan bujukan ibu mertuaku aku terus bertahan menunggu dan sia-sia. Namun sekarang aku ingin juga Dahlan merasakan apa yang sudah kurasakan.
Sorot mata Dahlan mengancam Jefry. Walau Jefry hanya tersenyum sebelah mata, nampak tak peduli. Pria itu hanya fokus pada Singgih Wijaya dan istrinya. Aku tentu saja semakin mempercayai dugaan tak berdasar di otakku. Jadi aku berbisik pada Jefry.
"Haruskan aku tebak apa motif mu ada disini Jef?" Tak peduli sejauh apa kalimat ini justru semakin memprovokasi Jefry. Tak ku hiraukan juga Dahlan, rasanya benciku semakin menjadi dengan melihatnya.
"Sweety..." Nada memperingatkan Jefry terdengar main-main di telinga. Entah bagaimana aku jadi terbiasa dengan panggilan menjijikan itu.
"Kalau aku berhasil menebak dengan tepat, beri aku imbalan, bagaimana" dendam ini akan ku teruskan, sampai rasa sakit ku terbayarkan.
"Oke" putusnya membuatku bertanya-tanya. Aneh sekali, tak ada nada khawatir kedoknya terbuka, siapa Jefry bagi keluarga mertua Dahlan ini.
"Kamu disini untuk nyonya Wijaya, kan?" Aku tersenyum jahat mungkin mirip senyum pemeran antagonis di sinetron adzab.
"Berhenti Nona!" Ibu mertua Dahlan yang entah siapa namanya, meneriaki ku. Wajahnya ketakutan sekaligus marah. Tapi kenapa rasanya puas melihat wajah Dahlan yang semakin pias. Meski aku tahu sudah keterlaluan dengan membawa masalah perselingkuhan mertuanya.
"Pergi kalian, jangan ganggu keluargaku"
