Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Cemburu?

Jenara langsung kembali ke kelasnya dengan kepala yang terus ia gelengkan dengan keras.

“Aku pasti sudah gila, ya aku pasti sudah gila, mana bisa aku melakukan itu tadi, bagaimana bisa kau bodoh Jenara, bagaimana bisa?” Jenara merutuki akan kebodohannya yang benar- benar sangat fatal.

“Jenara!” pekik Mora dengan kesal kala sahabatnya itu terus berjalan tanpa menghiraukan panggilannya.

“Mora, dari mana kau datang?” tanya Jenara yang tidak menyadari akan panggilan Mora sejak tadi.

“Awww sakit,” ringis Jenara kala Mora menarik telinganya.

“Kau sungguh tidak punya telinga? Aku memanggilmu dari lorong ujung hingga ke sini, kau bahkan tidak menoleh atau berhenti,” omelnya seraya melepas telinga Jenara.

“Ya maaf, aku sedang fokus,” ujar Jenara seraya mengusap telinganya.

Mora mendelik kesal dengan Jenara membuat Jenara langsung memeluknya.

“Iya iya maaf sayangku, besok enggak diulangi lagi,” Mora berdecih mendengar ucapan Jenara.

“Kau dari mana saja? Aku mencarimu sejak tadi,” kata Mora dengan kesal.

“Oh tadi dipanggil pak Edward ke ruangannya, biasalah untuk ditanyai perihal universitas,” kata Jenara menjelaskan meski ia kembali teringat akan perihal hisap ASI tadi.

Mora manggut- manggut menggandeng lengan Jenara sembari berjalan ke kelas.

“Nanti malam kita keluar yuk, jalan- jalan atau nonton,” ajak Mora membuat Jenara mengangguk dan teringat satu hal.

“Kau tahu, tadi aku dengar bu Deli mengajak pak Edward pergi nonton bareng, tapi sayangnya pak Edward menolak karena ada acara keluarga,” kata Jenara memberitahu.

“Hah? Serius? Gila sih bu Deli,” Jenara langsung membungkam mulut Mora.

“Kecilkan suaramu sebelum bu Deli membunuhmu,” Mora hanya mengangguk membuat Jenara melepas tangannya.

“Tapi siapa sih yang enggak jatuh cinta sama pak Edward, aku aja yang sebagai siswinya tergila- gila apalagi bu Deli, secara pak Edward guru paling muda paling tampan, paling kaya, paling perfect dan paling seksi di sekolah. Orang gila mana yang enggak tahu itu, orang buta aja cuma ngeraba tubuhnya udah pasti milih pak Edward, secara kalau aku disuruh milih dengan mata tertutup dengan meraba tubuhnya tentu aku bisa mengenali jika itu pak Edward,” Jenara hanya manggut- manggut mendengar pujian Mora yang selalu terlontar setiap kali mereka membahas pak Edward.

“Kenapa otakmu begitu lancar begitu kita membahas tentang pak Edward, lalu kemana otak lancarmu itu ketika pelajaran matematika sedang berlangsung?” Mora hanya menyunggingkan senyum manisnya dan berkata, “Sepertinya hilang sebagian.”

Jenara hanya mengangguk setuju dengan ucapan Mora.

Jenara menelan salivanya dengan malu kala mengingat apa yang terjadi di ruangan pak Edward tadi.

Ia benar- benar tidak punya muka lagi untuk bertemu dengan pak Edward nanti.

***

Pelajaran ketiga dimulai, di mana sialnya sekarang waktunya biologi dan itu tepat pak Edward yang mengajar.

“Kau kenapa? Habis maling apa? Kenapa wajahmu tampak sangat gelisah seperti itu?” tanya Mora dengan penasaran.

Olea yang mendengar hal itu sontak langsung menatap wajah Jenara, “Kau kepergok ngapain, hah? Panas dingin gitu.”

Jenara mendesis kala mereka berdua begitu berisik sekali.

“Diam, atau aku akan menjahit bibir kalian, bukannya tenang aku malah semakin cemas,” Mora dan Olea saling melemparkan tatapannya.

“Gara- gara mau maju presentasi ya?” tanya Mora mendekte.

Jenara menggelengkan kepalanya, “Oh aku tahu, karena Steven pasti.” Jenara berdecak kala Olea selalu membahas Steven.

“Enggak ada apapun, kalian diam saja, aku akan atasi ini sendiri,” Mora mengedikkan bahunya kala ditatap oleh Olea.

Tidak lama beberapa siswa masuk berbondong- bondong ke dalam kelas.

Jenara menelan salivanya kala melihat pak Edward memasuki kelasnya. Ia menundukkan kepalanya, menyibukkan diri menatap bukunya.

“Selamat siang semua,” sapa pak Edward seraya menyalakan monitornya.

“Siang pak,” pak Edward langsung menyalakan laptopnya, membuka materi untuk pelajaran hari ini.

“Bagaimana dengan presentasinya? Sudah siap?” tanya pak Edward yang langsung ingat dengan tugas yang ia berikan.

“Sudah pak,” jawab mereka serempak membuat pak Edward mengangguk mantap dengan senang.

Sekilas ia menangkap Jenara yang menundukkan kepalanya, terbesit ide usil dalam pikirannya.

“Kelompoknya Jenara sudah siap?” tanya pak Edward tiba- tiba membuat semua mata langsung tertuju pada Jenara.

Jenara mengangkat kepalanya, menatap teman- temannya lalu pak Edward sekilas.

“Sudah pak,” jawabnya dengan sedikit gelagapan.

Pak Edward mengangguk dan mempersiapkan Jenara untuk segera maju bersama dengan kelompoknya.

Pak Edward lalu memilih duduk di bangku Jenara, untuk mengamati presentasinya.

Ada rasa ingin tertawa dan juga senang melihat Jenara maju ke depan, Edward bisa merasakan bagaimana canggungnya dan malunya Jenara saat ini untuk bertemu dengannya.

Sementara Jenara dan kelompoknya presentasi, Edward melihat- lihat meja Jenara.

Tanpa sengaja ia membuka buku tulis pink yang ia yakini milik Jenara.

Steven.

Nama itu tertulis dengan kaligrafi yang amat sangat bagus sekali dengan hiasan doodle di sampingnya.

Edward langsung menutup buku Jenara, menangkap coretan bolpoin nama Steven di atas meja lagi.

Ada banyak sekali nama Steven di meja Jenara.

Entah kenapa mendadak Edward kesal saat ini.

“Sudah pak,” kata Mora membuat Edward hanya mengangguk dan beranjak dari bangku Jenara.

Jenara dengan cepat kembali ke bangkunya dengan helaan napas yang lega.

“Tolong catat beberapa materi yang sudah saya rangkum, kemungkinan akan keluar saat ujian nanti,” perintah pak Edward seraya mengganti slide materinya.

Semua langsung membuka bukunya untuk mulai mencatat.

Jenara membuka mulutnya menganga tak percaya kala bukunya dirobek.

“Kau yang merobek bukuku?” tanya Jenara pada Mora.

Mora menoleh, menatap buku tulis Jenara bagian belakang.

“Kalau yang nulis namanya Steven di sana aku, tapi kalau yang ngerobek bukan aku,” kata Mora dengan jujur.

“Dan bukan aku juga,” kata Olea dengan cepat sebelum dia mendapatkan tuduhan dari Jenara.

Jenara mencoba mengingat lagi, jika tadi sepertinya bukunya masih utuh, ia juga masih melihat nama Steven di lembaran terakhir bukunya, lalu siapa yang merobeknya?

Jenara perlahan mengangkat kepalanya, menatap pak Edward.

Pak Edward menaikkan sebelah alisnya kala Jenara menatapnya dengan penuh selidik membuat Jenara langsung menundukkan kepalanya bersiap untuk menulis materi yang pak Edward perintahkan.

“Menurutmu mungkin enggak sih pak Edward yang nyobek kertasnya? Secara dia yang duduk di sini tadi,” tanya Jenara pada Mora.

“Kau sudah gila? Mana mungkin pak Edward melakukan hal konyol seperti itu? Apa hubungannya denganmu? Gabut banget guru nyobekin kertasnya murid,” Jenara menatap datar dan dingin Mora.

Mora langsung memeluk Jenara kala menyadari akan kesalahannya yang bersuara keras.

“Iya- iya maaf, aku salah. Mungkin hantu sekolah yang menyobeknya, tapi jika kau menuduh pak Edward, aku membantahnya dengan keras,” kata Mora yang mana ia selalu menjadi fangirl garis keras untuk pak Edward.

Jenara berdecak dan memilih untuk menulis dan mengabaikan hal barusan.

Sedangkan pak Edward keluar kelas untuk membuang kertas yang ia robek barusan.

“Dasar kekanak- kanakkan, apa sekarang masih zaman menulis nama seseorang yang disuka di lembaran terakhir buku tulis? Sungguh menggelikan,” kata Edward yang mana ia kembali ke dalam kelas dengan tatapan penuh selidik pada Jenara.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel