2. Melihatmu Lagi
2. Melihatmu Lagi
"Kamu beneran nggak mau ikut?" ulang Surya untuk ke sekian kalinya. Ia masih berharap istrinya lebih memilih dirinya dari pada orang tuanya. Hari ini adalah hari kepindahannya ke Surabaya setelah beberapa hari yang lalu ia hanya sekadar berkunjung ke kota itu.
"Maaf, Mas. Ayah dan ibu saat ini lebih membutuhkan aku. Aku khawatir jika tiba-tiba saja kesehatan mereka menurun." Airin menunduk merasa bersalah pada suaminya. Berat saat ia mengambil keputusan ini. Memilih ikut suaminya ataukah tetap di Jakarta demi merawat orang tuanya.
"Kamu tidak khawatir jika terjadi sesuatu kepadaku?" Egois memang tapi Surya ingin ia lebih diutamakan.
"Maaf, Mas. Saat ini ayah dan ibu lebih membutuhkan aku dari pada Mas Surya." Surya mendesah. Setidaknya ia telah meminta istrinya ikut dengannya meskipun wanita itu menolak.
Meskipun pernikahan mereka terasa hambar namun bukan berarti Surya dengan begitu mudah mengabaikan istri cantiknya itu. Ia bukanlah pria yang begitu mudah mencari pengalihan di saat rumah tangganya sedang tidak sehat. Meskipun godaan itu acap kali mendatanginya. Saat ini ia cukup kuat untuk menjaga dirinya, entah nanti di masa mendatang. Apakah ia mampu melakukannya saat ia berjauhan dengan sang istri.
Siang itu akhirnya Surya bertolak ke Surabaya dengan diantarkan sopirnya. Istrinya tidak ikut mengantarkannya meskipun hanya di bandara. Hal yang sudah biasa, dan Surya tak perlu meributkan hal itu lagi.
Semua barang-barangnya sebelumnya telah ia kirim ke Surabaya terlebih dahulu. Jadi saat ini ia tak perlu begitu repot dengan kopor juga semua barang yang akan ia butuhkan nanti.
Menjelang sore pria itu tiba di hotel. Setelah membersihkan diri ia pun menikmati makan siangnya yang sudah cukup terlambat. Kali ini ia tak akan langsung bekerja. Waktu yang tersisa ia gunakan untuk duduk menikmati secangkir kopi di sebuah kursi di samping kolam renang hotel. Udara sore hari yang tak seterik siang tadi cukup membuatnya nyaman. Ditambah sebuah pohon yang cukup rindang menaungi sisi kiri kolam renang membuat siapapun betah berlama-lama di sana.
Tinggal seteguk kopi dalam cangkirnya. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Istrinyalah yang menghubungi. Pasti menanyakan pukul berapa ia tiba.
Sudah sangat terlambat. Beberapa jam lalu Surya menghubunginya namun tak ada respons sama sekali. Akhirnya ia hanya meninggalkan pesan.
Segera saja Surya menjawab panggilan di ponselnya. Dan tak lama kemudian mengakhiri panggilan. Saat itulah secara tak sengaja, matanya menangkap bayangan seseorang yang berjalan keluar pintu lobi. Letak kolam renang memang tidak terlalu jauh dari lobi. Setelah menyeberangi area resto terbuka maka akan tiba dikolam renang.
Surya seketika menegakkan tubuhnya dari kursi. Matanya menyipit. Memindai apakah matanya benar-benar tepat mengenali sosok yang ia lihat dari kejauhan itu.
Tanpa menunggu ia pun segera bangkit berjalan menuju lobi. Mengabaikan beberapa orang yang menyapanya dan merasa keheranan pada langkahnya yang terburu-buru. Dilihatnya sosok itu membuka mobil yang berhenti di depan lobi.
Surya pun berlari mengejar, khawatir jika ia tak bisa melihat sosok itu lagi. Namun belum sampai ia menyeberangi lobi hotel yang luas itu, sosok itu telah pergi meninggalkan hotel dengan menaiki mobil yang kebetulan berhenti di drop zone hotel. Membuatnya yang sudah berlari hingga ke pintu lobi bernapas naik turun. Ia begitu yakin dengan apa yang dilihatnya baru saja. Meskipun belasan tahun tak pernah melihat sosok itu, entah mengapa ia begitu yakin. Dialah orangnya.
"Ada apa, Pak Surya? Adakah yang bisa dibantu?" Surya tersentak. Ditolehkannya kepalanya ke belakang. Tampak dua orang petugas keamanan mengikutinya dengan raut khawatir juga keheranan.
Surya menarik napas berat. Sepertinya ia telah bersikap berlebihan. Dengan mengulas senyum ia berkata, "Tidak ada apa-apa, Pak. Silakan lanjutkan pekerjaan kalian." Kedua pria itu saling pandang. Lalu menunduk dan berpamitan. Jika sang bos besar memberi titah tentu tak akan ada yang berani berulah. Kedua pria itu pun berpamitan kembali ke tempat mereka masing-masing meninggalkan Surya yang masih enggan beranjak dari depan pintu lobi.
Kini, bolehkah ia berharap kembali bertemu sosok yang ia lihat tadi?
***
"Pak Surya, semuanya sudah siap. Silakan." Suara Melly sekretaris Surya membuyarkan lamunannya pagi ini. Setelah kejadian kemarin, Surya tak sekalipun bisa mengalihkan pikirannya dari sosok yang ia lihat di depan lobi itu. Bahkan ia nyaris tak mampu memejamkan mata semalam.
"Di mana ruangannya, Mel?" tanya Surya. Pagi ini adalah hari pertamanya resmi menjadi General Manager di The Stars, hotel yang ia pimpin. Beberapa manajer serta staff hotel akan ikut menghadiri koordinasi dan perkenalannya sebagai pemimpin baru di hotel ini, kecuali mereka yang sedang bertugas saat ini.
"Di ruang meeting seperti biasanya, Pak." Surya mengangguk lalu bangkit dari kursi mengikuti Melly menuju salah satu ruang rapat di hotel itu.
Saat membuka ruangan, tampak beberapa orang sudah siap menyambut Surya. Pria itu memberikan sambutan singkat dan melakukan perkenalan lalu dilanjutkan Melly yang juga memperkenalkan beberapa Manajer dan juga staff hotel satu persatu.
Saat itulah Surya seketika merasakan seolah dirinya terseret arus masa lalu. Di sana, di depan sana. Berjarak tak lebih dari sepuluh langkah di depannya terlihat gadis periang nan manja yang tiga belas tahun lalu pernah ia tinggalkan begitu saja.
Kini wajah belia gadis itu telah sedikit berubah menjadi sosok wanita dewasa yang terlihat begitu anggun namun bersahaja. Wajah manjanya telah terganti dengan raut lembut yang begitu mempesona.
Seketika saja Surya tak mampu mengedipkan mata. Tak berani, lebih tepatnya. Ia takut jika ia mengedipkan mata maka sosok di depan sana akan lenyap atau juga ternyata otaknya sedang berhalusinasi akibat semalaman tak bisa menikmati tidur nyenyaknya.
"Pak." Suara Melly tertangkap telinga Surya. Wanita itu berusaha menegur sang atasan yang tampak tertegun tak melanjutkan perkenalannya.
Mengabaikan suara Melly, Surya melangkah mantap ke depan menuju sosok yang telah membuatnya terpaku itu. Tentu saja hal itu membuat bisikan keheranan bagi semua orang yang melihatnya. Namun Surya tak menggubrisnya. Sosok di depan sana begitu berharga untuk dilewatkan meskipun sedetik saja.
"Tari? Mentari? Bagaimana kabarmu?" sapaan itu terlontar begitu Surya telah berdiri tepat di depan wanita yang pagi itu mengenakan setelan kerja yang terlihat pas ditubuhnya yang tak terlalu tinggi.
Wanita bernama Mentari itu seketika membelalak kaget. Ia yang sedari tadi berkutat dengan ponselnya dan sesekali berbincang dengan rekan kerja di sebelahnya---tanpa memedulikan sambutan atasan barunya di depan sana---seketika mendongak.
Dan begitu melihat siapa orang yang telah berdiri di hadapannya, kekagetannya pun seketika bertambah. Matanya membelalak. Mulutnya tergagap saat hendak berucap. "Ma..., Mas. Eh," wanita itu menoleh ke sebelahnya lalu sekilas mengedarkan pandangan ke sekeliling. Semua orang melihatnya kini. Ia semakin kebingungan. Namun otaknya setika bekerja dengan cepat.
"Eh, iya. Maaf. Iya saya Mentari, Pak." Wanita itu, Mentari atau semua orang memanggilnya Tari menjawab dengan gugup.
"Bagaimana kabarmu, Tari?" ulang Surya.
"Saya baik, Pak. Terima kasih," Ia masih begitu kaget dengan apa yang ia dapatkan saat ini. Bagaimana mungkin dunia bisa sesempit ini? Dari semua tempat di muka bumi ini, kenapa ia justru bertemu kembali dengan pria ini di sini? Di hotel tempat ia bekerja sebagai salah satu staff akunting. Dan yang lebih membuatnya tak habis pikir, pria ini ternyata adalah bos barunya.
###
