10. Mimpi Buruk
10. Mimpi Buruk
"Mbak! Ada apa? Apa yang terjadi?" Melly bertanya panik menghampiri Mentari yang terduduk lemas dengan wajah memucat. Air mata sudah mengalir begitu deras. Ponsel di tangannya masih menempel di telinga. Tari berusaha menguatkan diri mendengar penuturan seseorang di seberang sana. Ia hanya bisa menganggukkan kepala meskipun ia tahu lawan bicaranya tak akan melihatnya.
Setelah beberapa menit terlibat percakapan akhirnya Tari menutup panggilan. Ditariknya napas berat. Ia harus kuat, ia harus kuat. Bisiknya meyakinkan diri sendiri.
Ingatan pada kejadian beberapa hari lalu seketika berkelebat. Andra pernah mengatakan ia harus menjadi wanita yang kuat untuk anak-anak mereka. Apakah kalimat itu adalah pertanda jika peristiwa ini akan terjadi? Tubuhnya meremang seketika. Ia tak mau sesuatu yang buruk terjadi pada suaminya. Tidak. Ia tak akan bisa menjalani hari-harinya tanpa pria itu.
Inikah jawaban atas kekhawatiran suaminya saat ia berniat mengundurkan diri dari pekerjaannya? Pria itu khawatir ia tak akan mampu memenuhi kebutuhan anak dan istrinya? Ya Andra pernah mengatakannya.
Tari seketika tergugu kenapa semuanya berubah begitu mengerikan. Kebahagiaan yang ia lalui bersama Andra tiba-tiba saja musnah.
"Mbak Tari, ada apa? Semuanya baik-baik saja kan?" ulang Melly dengan penuh kekhawatiran.
Tari mengangkat pandangannya sayu, "Mas Andra kecelakaan, Mel. Polisi tadi menghubungiku menggunakan ponsel Mas Andra. Kenapa semuanya jadi seperti ini?"
Melly menutup mulutnya terkejut. Dipeluknya tubuh Tari dan membantu wanita itu berdiri. Setelah berhasil mendudukkan wanita itu di kursinya Melly segera menyodorkan air mineral yang segera ia ambil dari dalam laci meja kerjanya.
"Minum dulu Mbak, biar tenang." Melly memandang prihatin wanita yang seketika meneguk minuman yang ia berikan. Miris, bagaimana mungkin wanita ini dipaksa melayani nafsu bejat atasannya justru bersamaan dengan suaminya yang mengalami kecelakan. Benar-benar cobaan berat.
"Sekarang Mas Andra di mana? Gimana keadaannya?" setelah melihat Tari cukup tenang Melly kembali melontarkan pertanyaan.
"Ada di rumah sakit. Tadi aku mau ke sana sekarang. Mas Andra kritis, Mel. Dia masih nggak sadar. Aku takut dia kenapa-napa."
"Mbak Tari tenang ya. Aku hubungi sopir untuk ngantar Mbak ke rumah sakit." Kalimat Melly mendapat gelengan Tari.
"Mbak pasti akan lama kalau masih mau pesan taksi. Aku hubungi sopir aja ya. Tunggu sebentar." Melly meraih gagang telepon di mejanya. Beberapa detik kemudian panggilan tersambung. Setelah melakukan percakapan singkat iapun menutup panggilannya.
"Kita turun sekarang, Mbak. Mobilnya sudah siap kok. Aku akan ikut anterin Mbak Tari ke rumah sakit."
"Nggak usah, Mel. Kamu masih harus kerja." Tari berucap dengan mata yang masih meneteskan air mata.
"Sekarang sudah jam pulang, Mbak. Ayo aku temani, Mbak Tari." Melly meraih tangan Tari membantu wanita itu berdiri. Tak lupa tas Tari ia bawa serta.
Perjalanan yang mereka lalui terasa begitu lambat. Tangan Tari tak berhenti bergetar. Tak lupa dihubunginya mertuanya, mengabarkan hal mengejutkan itu.
Ratmi, asisten rumah tangga di rumahnya pun sudah ia beri tahu. Ia hanya berpesan agar menjaga anak-anak karena ia belum tahu nantinya akan pulang ke rumah atau tidak.
Begitu kaki Tari turun dari mobil yang membawanya, ia segera berlari memasuki area Instalasi Rawat Darurat sesuai petunjuk yang ia dapatkan beberapa saat yang lalu.
Dua orang petugas berseragam polisi menyambutnya. Dan membawanya menuju ruangan berdinding kaca. Suaminya telah dipindahkan ke ruangan itu. Di sana, di dalam ruangan itu terlihat wajah tak berdaya suaminya terbaring lemah menutup mata. Beberapa alat tampak menempel di beberapa bagian tubuh pria itu.
Setelah mendapatkan izin dari salah satu dokter di sana ia memasuki ruangan kaca itu. Namun tak lama setelahnya ia sudah diminta untuk menemui dokter yang menangani suaminya.
Dari penjelasan yang ia dapat. Tari mendapatkan gambaran jika suaminya mengalami benturan yang cukup keras di beberapa bagian. Dan yang cukup fatal di bagian kepala. Pembedahan harus segera dilakukan menunggu izin dari keluarga pasien dan tentu saja ia menyetujuinya. Apapun akan ia lakukan demi bisa menyelamatkan suaminya. Pria yang menjadi sandaran hidupnya.
Setelah berkonsultasi dengan dokter yang menangani Andra, masalah tidak seketika selesai. Tari masih harus berhadapan dengan dua orang petugas kepolisian. Banyak hal yang mereka sampaikan hingga Tari merasa kepalanya sudah nyaris tak muat menampung semua penjelasan dua pria berseragam itu.
Andranya mengalami kecelakaan tunggal. Mobil yang ia kendarai menabrak sebuah pohon besar dipinggir jalan. Apakah pria itu mengantuk saat berkendara Tari pun tak tahu.
"Mel, kamu pulang aja ya. Sudah malam." Tari berkata setelah akhirnya ia hanya berdua saja di kursi tak jauh dari ruang Intensive Care Unit atau ICU tempat Andra dirawat.
Ia tak mungkin merepotkan orang lain untuk membantunya. Lagi pula Melly sudah banyak membantunya sedari tadi. Mulai mengurus administrasi rumah sakit hingga membelikan roti untuk mengganjal perutnya meskipun hanya ia gigit beberapa kali saja.
Ya, hingga detik ini ia masih belum menikmati makan malamnya. Jangankan makan malam. Makan siang saja belum ia nikmati. Semua itu akibat ulah Surya. Mengingat hal itu dada Tari seketika berdenyut sakit.
Saat Andra berjuang di antara hidup dan mati ia justru tak mampu melepaskan diri dari kungkungan pria lain. Bagaimana ia menghadapi Andra jika pria itu bangun nanti. Apakah dia akan menerima dirinya setelah ada orang lain yang telah menyentuhnya?
"Mbak Tari masih belum ada yang menemani. Setidaknya aku akan menunggu sampai mertua Mbak datang. Mbak nggak usah sungkan sama aku. Aku akan bantu sebisaku," ujar Melly menenangkan.
"Makasih banyak ya, Mel. Entah bagaimana jika kamu nggak ada." Lelehan air mata kembali menuruni pipi Tari.
"Nggak usah ngomong gitu, Mbak. Aku hanya melakukan yang aku mampu. Yang terpenting sekarang adalah Mbak Tari dan Mas Andra. Mbak Tari harus kuat menghadapi ini semua. Mas Andra dan anak-anak yang membutuhkan Mbak."
"Tolong jangan katakan apapun pada Pak Surya jika kebetulan dia bertanya sesuatu kepadamu ya, Mel." Melly mengernyitkan alisnya namun detik berikutnya ia mengangguk. Ia tak perlu bertanya lebih banyak lagi pada wanita malang ini.
Tiga puluh menit kemudian mertua Tari, Farhan dan Aryani tiba. Tak ketinggalan adik Andra, Rihan pun ikut menemani. Mereka berhambur memeluk Tari untuk saling memberikan kekuatan. Dan tak lama kemudian Melly pun berpamitan.
"Kamu pulang saja. Besok pagi-pagi kembali lagi ke sini. Operasinya kan masih jam sembilan." Farhan, ayah mertua Tari memberikan perintah untuk menantunya. Begitu tiba di rumah sakit beberapa saat yang lalu satu hal yang ia tangkap.
Wajah menantunya terlihat benar-benar kacau. Apakah hal itu karena Andra? Bahkan wajah yang biasanya terlihat cerah itu tampak memucat. Bekas keunguan juga tampak di kedua pipi wanita itu bahkan matanya sempat menangkap ruam kemerahan dileher menantunya itu. Yang benar-benar membuatnya khawatir, ia juga sekilas melihat robekan pada pundak blus yang Tari kenakan meskipun tertutup blazer. Saat wanita itu bergerak sobekan itu terlihat meskipun tak terlalu jelas.
"Saya di sini saja, Yah. Takut sewaktu-waktu Mas Andra bangun saya nggak ada."
Farhan menarik napas berat. Ia tahu apa yang dirasakan menantunya itu.
"Kamu butuh istirahat. Anak-anak juga butuh kamu. Kasihan mereka pasti menunggu kepulangan kamu dan Andra. Beri mereka penjelasan yang tidak membuat mereka terlalu kepikiran. Katakan jika ayahnya akan segera sembuh."
"Tapi, Yah." Tari menyela namun remasan pelan Aryani mengurungkan niatnya untuk membantah.
"Ayah kamu betul. Kamu perlu istirahat. Andra akan baik-baik saja. Lagi pula kita tidak bisa menjaganya di dalam sana kan. Kamu nggak usah khawatir nanti ayah yang akan tinggal di sini bersama Rihan. Setidaknya jika ada sesuatu mereka bisa menghubungi kita di rumah. Kita semua butuh istirahat. Jadi kita harus bergantian. Jangan sampai kita tumbang satu persatu." Mau tak mau Tari pun mengangguk pasrah.
Ia dan ibu mertuanya akan pulang ke rumahnya. Sedangkan ayah dan Rihan. Akan tetap berada di rumah sakit.
"Baiklah kalau begitu, Bu. Saya akan memesan taksi."
"Rihan akan mengantar kalian pulang. Tidak usah memesan taksi."
"Apa nggak capek setelah menyetir ke sini tadi?"
"Nggak apa-apa, Mbak. Tadi aku gantian nyetirnya sama ayah. Aku yang akan antar Mbak dan Ibu pulang."
Tepat saat Tari berjalan menyusuri lorong rumah sakit hendak pulang ke rumahnya, dari kejauhan tampak seseorang berjalan mendekati mereka. Seketika gemetar hebat Tari rasakan. Kenapa pria itu bisa ada di tempat ini? Dari mana ia tahu kalau suaminya sedang di rawat di rumah sakit ini?
###
