Mencari Tahu
Adzan subuh berkumandang membuatku terbangun dari tidur nyenyak. Sejenak aku menggeliat meregangkan otot-otot tubuh yang kaku.
Kulirik bayi mungilku ternyata dia masih tidur dengan wajah tenangnya. Lekas menuju ke kamar mandi mengguyur tubuh dengan air yang dingin dan mengambil wudhu setelahnya.
Setelah dua raka'at aku tunaikan, kumengangkat tangan di hadapan penciptaku. Aku berdoa kepadanya agar diberikan petunjuk untuk keberlangsungan rumah tanggaku.
Meminta kepadaNya agar dibukakan apa yang selama ini tertutup, dijelaskan apa yang selama ini masih samar. Aku yang lemah agar diberikan kekuatan. Ikhlaskan hatiku jika aku berat.
Puas telah mencurahkan isi hati kepada Yang Maha Pendengar, aku lanjutkan aktifitas pagiku.
****
Entah energi darimana aku dapatkan, dengan penuh semangat aku mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa merasa berat.
Kumasak makanan kesukaan ibu mertua, sayur lodeh, perkedel jagung, dan ikan goreng. Setelahnya kubersihkan bekas peralatan masak yang telah kupakai.
Saluruh rumah kubersihkan dan lantaipun terlihat sudah berkilau. Anggap saja ini baktiku di rumah ini untuk yang terakhir kalinya. Entah darimana pikiran semacam itu muncul.
"Pagi, Bu ... sarapan udah siap di meja makan," kataku dengan tersenyum ramah.
Dan ibu mertua yang kuajak bicara cuma bengong sambil menatap heran. Tapi tak lama setelah itu dia menggerutu," Cucian yang kemarin jangan lupa dicuci juga,"
Kutanggapi ucapannya dengan senyum lebar .
"Dasar mantu edan, diajak ngomong malah senyam-senyum sendiri," gerutunya.
Tak tahu kenapa suasana hatiku tiba-tiba ceria. Tak ingin menanggapi setiap ucapan pedas mertuaku itu. Mungkin ini energi positif yang aku dapatkan setalah puas mencurahkan isi hatiku pada Rabbku.
****
Kulihat Raka yang sudah bangun dan bermain ditemani ayahnya. Kuhampiri dia yang sedang belajar mengoceh.
[ Pagi anak ganteng ... mandi yuk setelah itu kita jalan-jalan sambil beli bubur ] kuberbicara pada bayiku dengan tersenyum.
Mas Raka memperhatikan aku tanpa berkedip. Mungkin saja dia heran dengan perubahan sikapku yang awalnya dingin.
" Kenapa melihat seperti itu, Mas?" tanyaku yang lama-lama jengah ditatap olehnya.
" Eh gak apa-apa pagi ini kamu terlihat manis sekali," ucapnya sambil tersenyum.
Aku tersenyum miris mendengar pujiannya. Jika dulu rayuannya mampu meluluhkan hatiku. Kini entah kenapa hatiku sama sekali tak tersentuh.
"Sarapan dan kopi buatmu sudah aku siapkan di meja makan," ucapku tanpa menghiraukan ucapannya barusan.
Akupun berlalu untuk memandikan bayiku. Setelah mamakaikan bayiku lengkap dengan minyak telon dan bedak bayi, kuajak dia berjalan ke depan gang untuk mencari bubur ayam kesukaanku.
Sampai di depan gang ternyata aku melihat Vanya di jalan depan sedang membeli bubur ayam juga. Setelah itu dia masuk ke dalam kos'an yang kutahu itu kos'an milik Bu Edi.
Sekarang aku jadi tahu dimana Vanya kos. Ternyata memang benar dekat dengan rumah kami. Entah apa alasannya memilih untuk tinggal dekat sini. Kalau ngekos kan dia bisa memilih yang lebih dekat dengan kerjaannya.
Kupesan bubur ayam 1 untuk sarapanku saja. Entah kenapa hari ini aku menginginkannya.
Setelah mendapatkan apa yang aku inginkan, aku berbalik pulang. Saat hendak masuk ke dalam rumah, sempat berpapasan dengan Irda.
"Dasar pemborosan pagi-pagi udah jajan," ucapnya hampir tak terdengar.
"Kenapa dek, kamu ngomong sesuatu?" ucapku pura-pura tak mendengarnya berbicara.
" Ah enggak itu ... istri tetangga boros banget suka jajan diluar," katanya mengalihkan pembicaraan.
" Biarin aja dek, duit suaminya yang dipakai bukan duit kamu," ucapku ketus lalu masuk ke dalam.
Dan Irda pun berjalan sambil menghentakkan kaki. Sepertinya terlihat kesal. Ah ... masa bodohlah.
****
Aku ambil sendok dan memakan bubur ayam yang ada dihadapanku dengan lahapnya. Tak kupedulikan mertua yang melirik sinis sambil mengomel.
"Gini kalau punya menantu pelit, beli apa-apa sendiri. Gak ingat mertua dan ipar," sindirnya.
Aku balas sindiran mertuaku itu dengan senyuman sambil mengacungkan jempolku ke arahnya. Melihat reaksiku dia melengos lalu melanjutkan sarapannya.
Padahal aku selama ini jarang jajan demi untuk menghemat pengeluaran. Kalau pun aku ingin membeli sesuatu, bakso misalnya, aku juga selalu membawakannya untuk orang rumah.
Justru mereka yang selalu menyembunyikan makanan di kamar mereka. Takut kalau aku habiskan mungkin.
Mas Ikhsan yang sedang sarapan pun sempat melihatku heran. Biasanya aku memang tak pernah membeli sesuatu tanpa membelikan yang lainnya juga. Tapi kali ini aku merasa cukup membahagiakan diriku sendiri.
Melihatku makan dengan tanpa ada beban. Lahap seperti orang kelaparan dia pun bersuara, "Kamu lagi ngidam atau kelaparan, Nai?"
"Jangan bilang kamu hamil lagi?" tanya suamiku sambil dahinya mengernyit membutuhkan jawaban.
" Aku butuh energi, mas. Untuk menghadapi kenyataan,"jawabku
"Lagipula aku tak berencana memiliki anak lagi bersamamu," lanjutku.
"Dasar ... makin ngaco aja pikiranmu," ketusnya sambil berdiri.
" Mending aku berangkat kerja sekarang." Suamiku berdiri sambil menyodorkan tangannya untuk kucium.
Kuterima uluran tangan suamiku. Walau bagaimanapun juga dia masih suamiku.
****
Jenuh di dalam rumah, aku membawa bayiku keluar. Di depan teras kulihat Ibu mertuaku sedang bercanda dengan Bagas anak adik iparku. Terlihat dia begitu menyayangi cucunya itu
Dalam hati ada perasaan iri. Kenapa mertuaku tidak bisa menyanyangi Raka seperti Dia menyayangi Bagas. Kalaupun tidak menyukaiku setidaknya tidak dengan anakku.
Ah ... sudahlah bukankah Raka masih punya Nenek yang teramat sayang padanya, Ibuku. Kucoba menghibur hati sendiri agar tidak terlalu kecewa.
****
Hari udah hampir maghrib, tapi belum ada tanda-tanda Mas Ikhsan akan pulang. Mendung sudah semakin gelap, angin kecang mulai datang. Dan akhirnya hujanpun turun dengan derasnya.
Hujan tak juga berhenti, jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Apakah hari ini ada lembur. Tapi selama ini tak pernah diadakan lembur di tempat Mas Ikhsan bekerja.
Apa yang terjadi dengan Mas Ikhsan? Apa saat ini dia sedang bersama Vanya? Berbagai pertanyaan melintas dalam benakku. Seketika gelisah melanda.
Petir terdengar menggelegar di luar sana. Hujan deras belum juga berhenti. Raka sudah tertidur dengan pulasnya. Sebaiknya aku memastikan dimana suamiku sekarang.
Aku menghampiri Bapak mertua yang sedang duduk santai di depan teras rumah sambil memandang hujan.
"Pak, bisa minta tolong titip Raka sebentar?" tanyaku.
" Iya, Nduk ..., " ucapnya menggantung. Sebelum sempat dia bertanya lagi, aku sudah menyambar payung dan berlari keluar rumah.
Kencangnya angin membuat payungku tak bisa melindungiku dari air hujan. Bajuku kini bahkan sudah basah. Namun kondisi saat ini tak menyurutkanku untuk tetap melangkah.
Kupercepat jalanku menerjang hujan dan angin kencang. Aku ingin ke kos'an Vanya hanya untuk meredam rasa gelisahku. Agar aku tak terus menerus curiga pada suamiku.
Di depan gang sudah terlihat jalan lebar di depanku, tinggal belok sedikit aku akan bisa melihat kos-kosan dimana Vanya tinggal.
Dan sekarang aku sudah bisa melihat pintu kos itu tertutup namun ada celah. Berarti pintunya tak tertutup rapat. Suasana sekitar lengang. Dan ... tak salah lagi itu sepeda Mas Ikhsan parkir di depannya. Lalu dimanakah suamiku? Apa sekarang dia ada di dalam kamar kos itu?
Kupercepat langkahku menuju kamar milik Vanya. Dada semakin berdegup kencang. Apakah mungkin ada mereka berdua di dalam? Jika iya , apa yang mereka sedang lakukan saat ini.
Semakin dekat kulihat ada sepatu milik suamiku di depan pintu. Dan jas hujannya ditaruh di kursi plastik begitu saja. Hatiku semakin panas. Kucoba mendengarkan percakapan di dalamnya. Tapi suara hujan ini lebih deras.
Dadaku panas, tubuhku sudah bergetar di depan pintu. Aku harus siap melihat apa yang ada didepanku nanti. Aku mencoba tegar. Seketika kubuka pintu itu semakin lebar. Dan pemandangan di depan mata membuatku lemas seketika.
Ya Allah ... kuatkan aku ...
