Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

MASA LALU HISYAM

Bab 10

MASA LALU HISYAM

"Aldi! Apa yang kamu lakukan?" bentak Hisyam.

Aldi dan wanita dipangkuannya pun tampak terkejut saat pintu tiba-tiba terbuka dan mendapat teriakan dari sang big bos.

"Pa—pa!" ujar Aldi gugup. Dia segera berdiri.

Sekar pun segera berdiri dan merapikan pakaiannya. Dia tak kalah terkejut. Setelah sekian lama, ini pertama kalinya mereka berada pada jarak sedekat ini. Sekar tak berani menatap wajah ayahnya. Dia memilih menunduk menyembunyikan wajahnya.

"Menjijikkan! Bisa-bisanya kamu berbuat mesum di kantorku!" ujar Hisyam kecewa.

"Maaf, Pa!" ujar Aldi menundukkan kepala.

"Keluar kamu!" perintah Hisyam tanpa memandang Sekar.

Dengan tergesa, Sekar segera berlari meninggalkan ruangan tersebut.

Hisyam memegang dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri.

"Agus!" ujar Hisyam.

Sigap, Agus menyerahkan sebutir obat. Setelah meminumnya, Hisyam sudah sedikit lebih tenang dan rasa nyeri itu berangsur menghilang.

"Ternyata begini, kelakuan kamu di kantor?" ujar Hisyam kecewa.

"Maaf, Pa! Tadi itu, saya khilaf!"

Hisyam tersenyum mengejek.

"Khilaf? Sudah berapa kali khilafnya?" ejek Hisyam.

Aldi tak mampu menjawab.

"Kalau sampai Nasha tahu, dia tidak akan memaafkan kamu!" lanjut Hisyam.

"Ampun, Pa! Aku mohon, jangan ceritakan masalah ini kepada Nasha!" ujar Aldi sembari berlutut di depan kursi roda Hisyam.

"Aku janji tidak akan mengulanginya lagi!" lanjut Aldi.

“Apa kamu yakin?” tanya Hisyam sanksi.

“Iya, Pa. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi,” uajr Aldi bersungguh-sungguh.

Hisyam memejamkan matanya.

Kejadian tadi, mengingatkannya pada kesalahannya di masa lampau.

********

"Selamat pagi, Pak!" sapa Winda, sekretaris Hisyam. Saat itu, perusahaan yang dirintis Hisyam sudah mulai berkembang. Dengan penuh percaya diri, Winda memasuki ruangan atasannya.

Pakaiannya yang minim menampilkan lekuk tubuhnya. Ditambah lagi, dia mengenakan atasan yang memiliki belahan dada rendah. Hisyam muda tampak terpesona dengan penampilan sekretarisnya.

"Selamat pagi, Winda! Mana berkasnya?" ujar Hisyam.

"Ini, Pak!" ujar Winda setelah tiba disamping kursi atasannya. Dengan sedikit membungkuk, Winda membuka berkas-berkas tersebut di hadapan Hisyam hingga menampakkan sedikit gundukan kenyal. Hisyam yang tanpa sengaja melihatnya, berusaha menetralkan perasaannya.

"Sudah, ini saja?" tanya Hisyam usai membubuhkan tanda tangan.

"Iya, Pak!" sahut Winda.

"Ya sudah! Setelah ini, kamu siapkan berkas untuk meeting dengan Pak Dendi, ya!" perintah Hisyam.

"Baik, Pak!" sahut Winda, lalu berniat hendak meninggalkan ruangan Hisyam. Namun, baru satu langkah, tubuh Winda tiba-tiba oleng dan dengan sigap Hisyam menangkapnya.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Hisyam khawatir.

"Kayaknya kaki saya terkilir, Pak!" sahut Winda.

"Ya sudah, ayo saya tuntun! Kamu duduk dulu di sofa itu!"

Dengan dibantu Hisyam, Winda melangkah tertatih ke sofa tersebut. Saat Hisyam hendak mendudukkan Winda di sofa tersebut, mereka terjatuh bersamaan. Untuk sesaat, mata mereka bersiborok. Pandangan Hisyam beralih ke bibir merah Winda yang tampak menggoda. Tanpa sadar, Hisyam sudah melumatnya. Tak mendapat penolakan, Hisyam melanjutkan aksinya. Cukup lama mereka saling bertukar saliva.

Sejak saat itu, hubungan mereka semakin dekat. Winda yang merasa mendapat angin segar, tak melepaskan mangsanya. Dengan gencar, dia terus menggoda Hisyam, hingga terjadilah hubungan terlarang itu. Berulang kali mereka melakukannya, entah itu di kantor, kontrakan Winda, maupun di hotel saat mereka sedang ada proyek di luar kota, hingga akhirnya Winda hamil.

"Sayang, aku hamil. Kapan kamu akan menikahi aku?" tanya Winda usai mereka melakukannya.

"Kamu sabar dulu, ya! Tolong, beri aku waktu! Aku harus bicarakan masalah ini dengan Irma dulu!" sahut Hisyam.

"Tapi sampai kapan? Aku tidak mau menunggu lama. Perutku semakin lama pasti akan semakin membesar," sahut Winda.

"Beri aku waktu tiga bulan!" ujar Hisyam.

"Tidak! Itu terlalu lama! Satu bulan!" sahut Winda.

Hisyam mengusap wajahnya kasar. Winda terus mendesaknya untuk segera menikahinya. Akhirnya, dia memutuskan untuk menikahinya secara siri dahulu.

Beberapa bulan berjalan lancar. Hisyam mampu membagi waktu dan menjalankan perannya dengan baik. Nasha, putri Winda dari hasil pernikahan sebelumnya pun, tampak lengket dengannya.

Namun, serapat apapun kita menyimpan kebohongan, pasti akan tercium juga. Kecurangan yang dilakukan Hisyam terbongkar saat mereka tak sengaja bertemu di kebun binatang dan mengakibatkan perceraiannya dengan Irma.

*******

"Baik, aku akan memaafkan kamu, tapi dengan syarat!" ujar Hisyam.

"Baik, Pa! Aku akan melakukan apapun syarat dari Papa!"

"Jauhi wanita itu dan pecat dia!"

"Tapi, Pa …."

"Kamu pecat dia atau saya yang pecat kamu jadi menantu!" bentak Hisyam.

"Ba—baik, Pa! Saya … akan segera memecatnya!" ujar Aldi gugup.

"Tolong, beri saya waktu satu bulan untuk mencari penggantinya! Saya tidak mungkin langsung memecatnya begitu saja!" lanjut Aldi.

"Baik, saya tunggu itikad baik kamu! Saya dengar, perusahaan sedang ada masalah. Benar?" tanya Hisyam.

"Iya, Pa! Ada beberapa rekanan yang menghentikan kontrak kerja sama."

"Kenapa?"

"Mereka … tidak setuju dengan beberapa kebijakan yang saya lakukan."

"Lalu, apa yang kamu lakukan untuk mengatasinya?"

"Saya sedang gencar mencari rekanan baru, Pa!"

"Berhasil?" tanya Hisyam.

Aldi mengangguk.

"Papa gak usah khawatir. Saya bisa mengatasinya," sahut Aldi mantap.

"Baik, saya percaya sama kamu. Tapi ingat, jangan macam-macam kalau tidak mau saya pecat! Jangan kira, saya tidak bisa memecat kamu!" ancam Hisyam.

"Iya, Pa! Saya akan menjaga kepercayaan Papa!"

“Satu lagi, saya akan tetap mengawasi kamu. Jadi, jangan macam-macam!” ancam Hisyam.

Aldi menganggukkan kepalanya.

"Agus, ayo kita pulang!" ujar Hisyam.

"Iya, Pak!"

Hisyam segera meninggalkan ruangan Aldi. Aldi terhenyak. Dia benar-benar frustasi.

"Itu tadi … mertua kamu?" tanya Sekar setelah Hisyam meninggalkan ruangan.

Aldi mendongak. Dia menatap kekasih hatinya dengan sendu. Perlahan, Sekar mendekati Aldi, lalu memeluknya.

"Dimarahin, ya?" tanya Sekar.

"Papa minta aku mecat kamu!" sahut Aldi.

Sekar menghela napas panjang.

"Gak masalah sih! Toh, sebentar lagi kita menikah!" sahut Sekar.

"Tapi aku gak bisa jauh dari kamu."

"Gak masalah, sih, asalkan hatimu hanya buat aku," sahut Sekar.

"Kamu tahu, Sayang? Hanya ada kamu di hatiku. Hanya kamu!" ujar Aldi.

Sekar tersenyum.

"Aku tahu! Makanya aku gak keberatan, kamu memecatku dan menggantikan dengan orang lain!"

"Oke, deh! Kamu selesaikan pekerjaanmu sampai akhir bulan ini sambil kamu carikan kandidat yang cocok!" ujar Aldi.

"Sip! Akan aku carikan beberapa nama! Nanti, kamu tinggal memilih!"

******

"Kita mau kemana lagi, Pak?" tanya Agus.

"Saya mau makan rawon. Ada rekomendasi?"

"Ada, Pak! Rumah makan Nusantara di Jalan Anggrek dua. Disana makanannya enak sekali," sahut Agus.

"Oke, kita kesana!"

"Baik, Pak!"

Supri melajukan mobilnya ke rumah makan tersebut. Sesampainya disana, Hisyam mengajak kedua anak buahnya untuk makan bersama.

Hisyam sangat menikmati makanannya. Rasanya mengingatkannya kepada seseorang di masa lalu.

"Bagaimana, Pak?" tanya Agus.

"Kamu benar. Rasanya sangat lezat," sahut Hisyam.

"Saya sering kesini, Pak! Makanan disini rasanya tak pernah berubah karena bumbunya dibuat langsung sama pemiliknya," ujar Agus.

"Benarkah? Apa rumah makan ini sudah berdiri lama? Kok, saya gak tahu."

"Setahu saya sih, sudah. Mungkin karena bapak biasanya makan di restoran mewah, jarang ditempat sederhana seperti ini," ujar Agus.

"Benar juga! Kamu tahu sendiri bagaimana sifat Ibu! Dia gak bakalan mau makan di tempat seperti ini!" sahut Hisyam. Agus mengangguk mengiyakan ucapan majikannya.

"Sebenarnya, rumah makan sederhana seperti ini pun terkadang rasanya tidak kalah dengan restoran mewah. Salah satunya disini. Selain rasanya yang enak, harganya juga tidak mahal. Makanya selalu ramai." Agus memberi penjelasan.

"Saya rasa kamu benar! Bisa jadi langganan, nih!" sahut Hisyam sembari terkekeh.

"Pemiliknya rumah makan ini juga sangat ramah. Beliau sering menyapa para pelanggan."

"Benarkah? Apakah dia ada disini sekarang? Saya penasaran pengen ketemu," ujar Hisyam.

Agus tampak celingukan.

"Sepertinya beliau sedang sibuk! Kalau kondisi ramai seperti ini, beliau tidak ragu ikut membantu!" ujar Agus sembari menunjuk seorang wanita yang sedang melayani pembeli.

Hisyam mengikuti arah yang ditunjuk Agus. Dia terkesiap kaget.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel